Jakarta (ANTARA) - Estafet keketuaan The Group of Twenty (G20) yang kini berada dalam genggaman Indonesia diharapkan mampu membawa angin segar bagi kemunculan berbagai hal baik untuk para negara anggota G20, bahkan dunia.

Harapan untuk salah satu hal baik yang semakin riuh disuarakan sejak 4 Maret 2022 melalui penyelenggaraan peluncuran Anti-Corruption Working Group (ACWG) G20 oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah upaya optimalisasi pemberantasan korupsi.

Sebagian besar pihak, baik pemerintah, aparat penegak hukum, kelompok masyarakat sipil, maupun masyarakat secara umum, memandang forum G20 merupakan momentum yang tepat untuk memaksimalkan kehadiran berbagai upaya dalam mengoptimalkan pemberantasan korupsi.

Seperti yang disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, korupsi merupakan musuh dari semua bangsa di dunia. Oleh karena itu, menurutnya, solusi dalam mengoptimalkan pemberantasan korupsi sudah sepatutnya didukung oleh komitmen global dengan berbagai bentuk kerja sama.

Dengan demikian, di sinilah peran G20 dalam memperkuat komitmen di antara negara-negara anggotanya untuk melahirkan sejumlah upaya pemberantasan korupsi yang selanjutnya diharapkan pula mampu membuka jalan bagi negara-negara lain untuk ikut bergabung memberantas kejahatan yang merampas hak rakyat, hak asasi manusia, bahkan melawan kemanusiaan itu.

Secara umum, kondisi geliat pemberantasan korupsi di kalangan negara-negara anggota G20 memang belum dapat dikatakan baik. Mantan Wakil Ketua KPK (2015-2019), Laode Muhammad Syarif, mengatakan, sebagian besar anggota G20 masih menyandang predikat negara dengan tingkat korupsi.

Ia menyampaikan, hanya satu anggota G20 yang menduduki posisi 10 besar negara-negara di dunia dengan indeks persepsi korupsi terbaik yang diukur Transparency International. Negara itu adalah Jerman yang menduduki peringkat kesepuluh dengan nilai indeks persepsi korupsi sebesar 80.

Menurut Syarif, kondisi itu memperlihatkan negara-negara anggota G20 masih memiliki banyak pekerjaan rumah untuk membenahi diri terkait pemberantasan korupsi.

Hal senada disampaikan pula Ketua Anti-Corruption Group (ACWG) Civil 20 (C20), Dadang Trisasongko. Menurut dia, negara-negara G20 harus berkomitmen memperbaiki kinerja pemberantasan korupsi.

Untuk membantu membawa negara-negara anggota G20, bahkan negara lainnya di dunia melepaskan diri dari belenggu korupsi, dia menyampaikan ACWG C20, sebagai wadah organisasi masyarakat sipil dari seluruh dunia untuk terlibat dengan para pemerintah di G20 dalam menghadapi isu terkait dengan permasalahan korupsi, mendorong agenda perampasan aset.

Penguatan perampasan aset
Ia menekankan isu perampasan aset yang merupakan tindakan dari negara untuk mengambil secara paksa hasil kekayaan pelaku korupsi menjadi salah satu prioritas dalam kelompok kerjanya untuk dibawa ke dalam forum G20, terutama melalui diskusi di ACWG G20.

Sejauh ini, dia memandang upaya pemberantasan korupsi tanpa perampasan aset belum dapat memberikan efek jera kepada para koruptor.

Terkait dengan perampasan aset, Syarif mengatakan Indonesia dan negara-negara anggota G20 masih memiliki beragam hambatan untuk mengimplementasikan tindakan tersebut.

Bahkan, menurutnya, realitas dari implementasi perampasan aset merupakan upaya pemberantasan korupsi yang “menyedihkan” karena kerap mengalami kegagalan. Hukum tentang perampasan aset yang belum lengkap, ujar dia, menyebabkan aparat penegak hukum tidak dapat merampas aset-aset tersebut.

Lalu, dalam skala lintas negara saat koruptor menyimpan asetnya di negara lain, dia menilai perampasan aset tersebut masih kerap menghadapi sejumlah hambatan, meskipun ada beberapa kerja sama yang lahir dari antarorganisasi lintas negara.

Ia mengungkapkan hambatan dari perampasan aset adalah landasan hukum, baik di tingkat nasional maupun internasional, yang masih sedikit dan adanya benturan dengan persoalan ekstradisi. Selain itu, ia menilai hukum kerahasiaan bank juga menyulitkan aparat penegak hukum untuk merampas aset koruptor.

Senada dengan dia, Penasihat Antikorupsi pada Kantor PBB Urusan Narkoba dan Kejahatan, Francesco Checci, menyampaikan perampasan aset lintas negara menghadapi hambatan dari sisi teknis.

Menurut dia, persyaratan hukum perampasan aset lintas negara masih rumit, terkendala bahasa yang berbeda-beda, dan memakan waktu yang lama untuk mengimplementasikannya.

Checci mengatakan dalam banyak upaya perampasan aset lintas negara, dibutuhkan waktu sekitar enam hingga delapan bulan bagi suatu negara untuk melakukan transfer dokumen dan pengidentifikasian tersangka.

Langkah penguatan perampasan aset
Untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut, menurut Syarif, negara G20 perlu melakukan upaya bersama dalam menyusun kerangka hukum yang baru. Kerangka hukum tersebut sepatutnya memuat langkah-langkah yang mempercepat perampasan aset milik koruptor.

Di samping itu, ia pun mengimbau segenap lembaga yang terkait dengan perampasan aset untuk memperbaiki dan menguatkan kerja sama.

Selanjutnya, Checci mengusulkan kepada negara-negara G20 untuk memperkuat legislasi perampasan aset lintas negara yang tidak hanya melalui kerja sama formal, tetapi juga informal.

Menurutnya, Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Urusan Narkoba dan Kejahatan akan melakukan pembentukan jejaring di antara penyidik agar dapat berkomunikasi secara informal sebelum mereka mengambil langkah memasuki permohonan untuk tindakan perampasan aset.

Secara garis besar, dapat disimpulkan, sesuai dengan tema yang diangkat dalam G20, Indonesia dan negara-negara anggota G20 lainnya sudah sepatutnya “Recover Stronger dan Recover Together” tanpa korupsi.

Seperti yang diimbau Syarif, G20 yang keketuaannya saat ini dipegang Indonesia perlu menunjukkan kepemimpinan yang nyata untuk mendorong perampasan aset sebagai salah satu langkah penting dalam memberantas korupsi. Upaya itu harus dimulai dari internal negara-negara anggota G20, lalu disebarluaskan secara mendunia.

Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2022