Jakarta (ANTARA) -
Konflik bersenjata antara Rusia dengan Ukraina telah memasuki pekan ketiga namun belum ada sinyal-sinyal akan segera berakhir.

Sejak Presiden Rusia Vladimir Putin memproklamirkan operasi militer khusus di Ukraina, kedua belah pihak memang telah berupaya menjalin sejumlah perundingan demi tercapainya gencatan senjata dan mengakomodasi kepentingan masing-masing.

Namun dari tiga kali pertemuan di zona perbatasan Belarus masih belum berujung damai dan hasil maksimal yang bisa dicapai hanya bersepakat membuka koridor kemanusiaan demi penyelamatan warga sipil tak berdosa.

Bagi Rusia, medan pertempuran di Ukraina ini jauh berbeda dengan peperangan yang pernah melibatkan negara tersebut di belahan dunia lainnya semisal di Afghanistan, Suriah, Georgia, dan sebagainya.

Secara geografis, Ukraina adalah negara di Eropa timur dengan wilayah nomor dua terluas di benua itu. Dulu semasa Uni Soviet masih berjaya, Ukraina adalah kawasan industri maju dan terdapat sejumlah reaktor nuklir ex Uni Soviet yang masih terus beroperasi hingga kini.

Dengan demikian, secara historis antara Rusia dengan Ukraina bisa diibaratkan dua bersaudara, di mana terdapat populasi besar etnis Rusia di Ukraina dan juga ada ikatan sosial budaya yang erat diantara kedua negara ini.

Konstelasi geopolitik berubah drastis ketika Uni Soviet runtuh dan NATO memperluas pengaruhnya ke wilayah Eropa timur dengan sukses merekrut sejumlah negara bekas Uni Soviet menjadi anggotanya seperti Lithuania, Latvia dan Estonia, serta eks Blok Timur; Polandia, Rumania, Bulgaria, Hungaria, Ceko dan Slovakia.  NATO semakin percaya diri memperluas jangkauannya hingga mendekati Rusia dan pada 2008 tercetus rencana NATO merekrut Ukraina.

Ukraina mulai berkiblat ke Barat setelah presiden Ukraina yang pro-Rusia Viktor Yanukovych terguling dan kegenitan itu semakin menjadi pada saat Presiden Ukraina saat ini Volodymyr Zelenskyy berkuasa.

Kremlin menganggap Ukraina halaman rumah mereka dan kelancangan NATO dalam merekrut Ukraina sangat mengancam eksistensi Rusia. Kekhawatiran ini beralasan karena apabila Ukraina benar-benar diterima menjadi anggota NATO, maka akan membuat dukungan militer kepada Ukraina dari pihak luar akan meningkat secara signifikan.

Bergabung dengan NATO bermakna Ukraina mendapat jaminan militer dari banyak negara, terutama AS. Hal ini pun memungkinkan NATO melancarkan kegiatan militer di Ukraina, atau atas nama Ukraina.

Belum menjadi anggota NATO saja sudah ditemukan bukti-bukti terbaru mengenai adanya puluhan laboratorium senjata biologis Amerika telah beroperasi di Ukraina. Apalagi jika nanti sudah bergabung, maka AS akan sangat leluasa menginstalasi rudal-rudal nuklir di depan hidung Rusia.

Kondisi ini seperti mengulang peristiwa serupa yang pernah terjadi pada 1962 ketika Presiden John F. Kennedy meradang lantaran Uni Soviet menempatkan rudal balistik nuklirnya di Kuba yang hanya berjarak 90 mil dari pantai AS. Tindakan Uni Soviet itu merupakan balasan atas sikap AS yang menempatkan rudal berkekuatan nuklir di Italia dan Turki.

Kembali ke Ukraina, Moskow tidak akan mempermasalahkan keinginan Ukraina bergabung dengan Uni Eropa asalkan tidak dengan NATO.

Baca juga: Invasi Rusia malah persatukan Eropa dan mengusik negara netral


selanjutnya, Perseteruan Washington-Moskow


Perseteruan Washington-Moskow


Sejak awal Putin menyadari Ukaina bukanlah medan pertempuran yang sesungguhnya. Pertarungan sebenarnya justru di luar Ukraina, yakni menghadapi Washington dan sekutunya di Eropa.

Amerika dan gengnya ini hanya menjadikan Ukraina sebagai proxy untuk menghancurkan kekuatan Rusia agar tidak lagi menjadi ancaman serius di benua Eropa. Setidaknya semakin lama konflik bersenjata di Ukraina itu berlangsung, kekuatan militer dan ekonomi Rusia akan kian terkuras, meski akhirnya nanti Rusia memenangkan perang ini.

Jika melongok sejenak pada beberapa waktu sebelum Kremlin akhirnya memutuskan operasi militer di Ukraina, betapa negara-negara barat yang disponsori AS ini sedemikian gencar menghembuskan angin surga kepada Zelenskyy bahwa NATO siap membantu Ukraina apabila diserang Rusia.

Merasa di atas angin dan bakal mulus diterima sebagai anggota NATO, tak segan-segan pula Zelenskyy menantang Putin agar membuktikan ancamannya menyerbu Ukraina sebagaimana dulu Moskow lakukan kepada Krimea.

Dan ketika akhirnya Rusia benar-benar mengerahkan mesin-mesin perang mereka membombardir satu per satu wilayah pertahanan Ukraina, terbukti AS bersama sekutu Eropa tidak banyak memberikan bantuan berarti, kecuali hanya mengirimkan bantuan senjata dan amunisi tanpa bersedia terlibat langsung dalam konflik.

"Bantuan" amunisi serta alutsista itu pun ternyata tidak gratis dan pemerintah Ukraina tampaknya harus membayar di kemudian hari.

Sementara itu pengerahan pasukan NATO hanya untuk bersiaga di negara-negara anggota NATO yang berbatasan langsung degan Ukraina saja seperti di Polandia, Rumania atau Hungaria. Juga tidak ada satupun negara anggota NATO yang berani terbuka menyatakan membuka front pertempuran dengan Rusia, karena hal itu sama artinya dengan memicu Perang Dunia III.

Oleh karena itu, NATO hanya tersenyum simpul saat Zelenskyy berulang kali mendesak pakta pertahanan tersebut agar menerapkan zona larangan terbang kepada pesawat-pesawat tempur Rusia di ruang udara Ukraina guna menghentikan bombardir berbagai fasilitas militer negara itu.

NATO dan terutama AS memang tidak ingin berperang secara langsung dengan Rusia. Apalagi Putin telah mengeluarkan perintah kepada militer Rusia untuk menyiagakan unit senjata nuklir. Moskow mengancam siapa pun yang ingin ikut campur dalam urusan Rusia di Ukraina, maka mereka harus siap menanggung risiko yang belum pernah terbayangkan sebelumnya.

Baca juga: Krisis Ukraina: Solusi panas untuk perang dingin yang berkelanjutan


selanjutnya, Binis Senjata


Bisnis Senjata


Dimensi lain dari konflik Rusia-Ukraina ini adalah kentalnya kepentingan bisnis persenjataan. Bisnis ini akan hidup ketika terjadi perang dan banyak negara merasa terancam sehingga membutuhkan modernisasi alutsista mereka.

Dalam konflik di Ukraina pun sama. Tidak ada satu peristiwa yang terjadi begitu saja tanpa adanya hubungan sebab dan akibat dengan "peristiwa-peristiwa" sebelumnya.

Setelah berbagai konflik di kawasan Timur Tengah mulai mereda, maka perlu diciptakan area baru dengan ketegangan baru dan kawasan Eropa Timur adalah jawabannya. Benua Eropa dihuni negara-negara kaya dan pastinya merupakan pasar potensial untuk bisnis senjata berskala jumbo.

AS memang sengaja menggoda Rusia agar menerkam Ukraina yang diiming-imingi keanggotaan NATO mengingat Ukraina bagi Rusia itu sama sensitifnya dengan Taiwan untuk China.

Oleh karena itu ketika Kremlin mengumumkan memulai operasi militer di Ukraina, negara-negara Eropa tercekam histeria dan merasa terancam bersamaan dengan merosotnya rasa kepercayaan terhadap Rusia.

Skenario lanjutan yang diharapkan adalah negara-negara Eropa terpancing saling lomba meningkatkan anggaran pertahanan untuk membeli alutsista terbaru dan tercanggih yang itu semua merupakan lahan gembur bagi industri militer.

Terbukti setelah merasa Eropa tidak aman lagi, Jerman menganggarkan 100 miliar Euro untuk anggaran pertahanan tahun 2022 dan selanjutnya mematok 2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) untuk pertahanan tahun-tahun selanjutnya.

Tak mau ketinggalan Swedia. Pada 2015, anggaran militer negara itu hanya 0,9 persen dari PDB dan kemudian naik menjadi 1,3 persen PDB di tahun 2020. Namun PM Andersson menginginkan kemampuan pertahanan Swedia meningkat sehingga menaikkan anggaran menjadi 2 persen dari PDB, menyusul invasi Rusia atas Ukraina.

Kemunduran besar hubungan antara sebagian besar negara Eropa dan Rusia merupakan pendorong pertumbuhan impor senjata Eropa.

Mengutip data Stockholm Peace Research Institute yang membandingkan data 2017 hingga 2021, tatkala perdagangan global senjata utama turun 4,6 persen, negara-negara Eropa justru meningkatkan pembelian senjata mereka sebesar 19 persen yang sekaligus pula menandai kenaikan terbesar dari semua kawasan di dunia.

Sejauh ini Amerika Serikat tercatat sebagai pemasok utama alutsista bagi Eropa, terutama untuk pesawat tempur. Inggris, Norwegia, dan Belanda bersama-sama memesan 71 pesawat tempur F-35 AS. Pada 2020/2021, pesanan lebih banyak datang dari negara-negara yang merasa terancam oleh Rusia, seperti Finlandia dan Polandia masing-masing memesan 64 dan 32 pesawat F-35. Sementara itu, Jerman memesan lima pesawat anti kapal selam P-8A dari Amerika Serikat.

Dari sini sudah bisa disimpulkan pihak mana yang bakal tersenyum lebar menikmati keuntungan berlimpah tatkala konflik berlangsung lama dengan spektrum yang terus meluas.

Baca juga: Di balik invasi militer Rusia terhadap Ukraina

Copyright © ANTARA 2022