Jakarta (ANTARA News) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebaiknya tak lagi mendengarkan dan mengakomodasi menteri dari partai politik bila melakukan reshuffle.

Pendapat itu disampaikan oleh  Wakil Ketua DPR RI Pramono Anung terkait wacana reshuffle yang akhir-akhir ini menguat.

"Presiden SBY diakhir masa jabatannya harus menghasilkan prestasi agar dikenang oleh rakyat. Oleh karenanya,  jika melakukan reshuffle, Presiden SBY tak perlu dengarkan parpol, tak perlu mengakomodasi partai politik," kata Pramono di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis.

Dikatakannya, selama ini Presiden SBY telah mengakomodasi partai politik namun tetap saja partai politik yang diakomodasi melanggar kesepakatan.

"Tak ada jaminan partai koalisi tak "selingkuh". Toh Presiden SBY tak akan maju lagi sebagai calon presiden, tak perlu pencitraan lagi. Presiden SBY harus memikirkan bagaimana diakhir masa jabatannya bisa dikenang" kata mantan Sekjen PDIP itu.

Ia juga mengingatkan kepada partai politik untuk tidak menggunakan berbagai instrumen untuk menekan Presiden SBY agar tidak mereshuffle menteri-menteri partai politik.

"Termasuk instrumen seperti kasus Bank Century dan lain sebagainya," ujar Pramono.

Sedangkan Bendahara Umum Partai Golkar Setya Novanto mengatakan, partainya menyerahkan sepenuhnya masalah reshuffle kepada Presiden SBY. Mereka juga tidak ingin mendorong-dorong Presiden dan meminta adanya penambahan posisi Golkar untuk duduk di Kabinet.

"Kita tidak ingin ada penambahan, semua presiden yang mengevaluasi kerja masing-masing tidak ada mendorong-dorong tentunya ini sudah evaluasi yang dilakukan bapak presiden itu sendiri," ujarnya.

Ketua Fraksi Partai Golkar ini menambahkan masing-masing kementerian pasti ada kelemahan dan kekuatannya. Karena itulah kabinet perlu dipacu soal kinerjanya agar masing-masing program seperti infrastruktur dan investasi bisa tumbuh dengan baik.

"Perlu dipacu kabinet di berbagai program seperti infrastruktur dan investasi," pungkasnya.(zul)

Pewarta: Zul Sikumbang
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011