Surabaya, (ANTARA News) - Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) menemukan adanya penambahan luas batas hutan di kawasan pegunungan Argopuro, Jember, Jawa Timur hingga 2,8 kilometer selama kurun 1993-2003. "Dari pencitraan satelit di lokasi bencana longsor dan banjir di kawasan Pegunungan Argopuro-Jember, kami menyimpulkan ada perluasan batas hutan 2,8 kilometer pada 1993-2003," kata Kepala Divisi Riset Geomatik Bakosurtanal RI Dr Priyadi Kardono MSc di SUrabaya, Kamis (9/2). Ia mengemukakan hal itu ketika berbicara dalam diskusi publik bertajuk "Antisipasi Bencana Lingkungan dan Kemanusiaan di Jatim" yang merupakan forum silaturahmi dosen dan mahasiswa ITATS dengan Aliansi Masyarakat Peduli Bencana Jatim (AMPBJ). Menurut dia, indikasi ilegal logging (pembalakan/penebangan hutan secara liar) di kawasan pegunungan Argopuro-Jember memang sulit ditemukan, namun adanya penambahan batas hutan untuk hutan produksi itu merupakan salah satu indikasi kerawanan terhadap bencana. "Apalagi, jika penambahan batas hutan itu terjadi di bagian lereng yang memiliki kemiringan 36,98 derajat. Ada empat indikasi kerawanan terhadap longsor yakni jenis tanah, kemiringan lereng, iklim (curah hujan), dan penggunaan lahan yang menyimpang," katanya. Dari pencitraan satelit yang dilakukan Bakosurtanal, katanya, kawasan pegunungan di Jatim yang rawan bencana karena indikasi-indikasi itu adalah pegunungan Argopuro, Arjuno, dan pegunungan di Jalur Selatan Jatim, bahkan hal itu sampai ke bagian selatan Jateng. "Karena itu, kami merekomendasikan perlunya pemerintah (Departemen Kehutanan/Dinas Kehutanan) melakukan penataan tata ruang hutan dan gunung, karena jika tanpa ada evaluas tehadap tata ruang yang ada selama ini akan memicu bencana longsor lagi," katanya. Untuk wilayah perkebunan (budidaya hutan), katanya, pemerintah perlu meniru pemerintah Belanda yang melakukan di bagian punggung atau dataran dari sebuah pegunungan, bukan seperti sekarang yang justru di bagian lereng. Diskusi publik itu menampilkan pembicara lain yakni direktur eksekutif WALHI Jatim Ridho Saiful, Kepala Dinas Kehutanan (Kadishut) Jatim Agus Syamsuddin, Kepala BMG Maritim Surabaya Edi Waluyo S.Ah.MG, pakar hukum lingkungan Unair Dr Suparto Wijoyo, dan sebagainya. Menurut pakar hukum lingkungan FH Unair Surabaya Dr Suparto Wijoyo selaku koordinator AMPBJ, bencana longsor yang ada hendaknya tidak dipandang sebagai bencana alam, karena pernyataan itu berarti menyudutkan Tuhan sebagai pihak yang harus bertangungjawab. "Kalau begitu nggak ada artinya ada pemerintahan, karena itu bencana yang ada harus dianggap sebagai bencana lingkungan. Kalau bencana lingkungan berarti pihak-pihak yang selama ini mengelola hutan-lah yang harus bertanggungjawab," katanya. Ia mencatat ada enam pihak yang bertanggungjawab mengelola hutan yakni Departemen Kehutanan, BKSDA, Polisi Hutan, Perum Perhutani dan perusahaan terkait budidaya hutan (hutan produsi/perkebunan), Dinas Kehutanan, dan Kepala Daerah (Bupati Jember). "Kalau persoalannya ada pada pengelolaan hutan produksi di Jember, maka pihak yang harus dimintai pertanggungjawaban adalah Perum Perhutani, PT Perkebunan, PT Jawati, dan perusahaan lain yang terkait," katanya. Dalam kesempatan itu, direktur eksekutif WALHI Jatim Ridho Saiful melansir data Satkorlah PB di Indonesia pada 1997-2003 tentang adanya 647 bencana yang terjadi di Indonesia dengan 2.022 korban jiwa yang 85 persen diantaranya merupakan banjir dan longsor. "Kalau banjir dan longsor tentu bukan bencana alam, melainkan terjadi akibat adanya kerusakan hutan. Yang saya kami sesalkan, kami masih cenderung responsif atau tanggap darurat bila sudah terjadi bencana, bukan antisipatif," katanya. Padahal, katanya, banjir dan longsor dapat diantisipasi dengan penataan atau pengelolaan hutan yang baik. "Kalau tidak antisipatif setelah tahun 2000 diingatkan dengan banjir lumpur di Situbondo berarti ada pembiaran dan hal itu pelanggaran HAM," katanya.(*)

Copyright © ANTARA 2006