Jakarta (ANTARA News) - Pertemuan sejumlah hakim agung dan pengacara di sebuah hotel di Jakarta Utara dengan rencana membubarkan Komisi Yudisial (KY), jika benar, merupakan pemufakatan jahat, inkonstitusional, bagian dari tindak pidana dan dapat dikategorikan sebagai kejahatan politik. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Munarman, di Jakarta, Senin, mengatakan hakim agung dan pengacara seharusnya mendukung perbaikan di bidang hukum dan pengadilan, bukan sebaliknya mengkhianati amanat UUD 1945. Dia juga menyesalkan munculnya pernyataan, jika benar, bahwa mereka juga akan mengatur aparat penegak hukum lainnya, yakni kepolisian. "Ini merupakan pelecehan bagi kepolisian, seakan kepolisian bisa diatur untuk kepentingan suatu pihak," kata Munarman. Kondisi ini memperkuat dugaan sebagian besar masyarakat bahwa praktik mafia peradilan memang ada, katanya menambahkan. Ketika ditanya, dalam kondisi demikian apa yang harus dilakukan, Munarman mengatakan saat ini upaya pembenahan memang sulit dilakukan, karena kondisi menjadi rumit sejak pembinaan hakim agung dipisahkan dari eksekutif, yakni dari Depkeh HAM ke Mahkamah Agung. "Pemisahaan itu menjadikan hakim agung menjadi 'liar' dengan bersembunyi dibalik independensinya," kata Munarman. Seharusnya yang mengawasi hakim agung adalah Komisi Yudisial dan eksekutornya MA, "Tetapi, kini ketua MA merupakan bagian dari masalah pembenahan itu sendiri," katanya. Untuk mengurai benang kusut tersebut, Munarman menyatakan dahulu ada lembaga MPR yang merupakan tertinggi negara, tetapi kini lembaga itu sudah bubar. Masyarakat bisa berharap kepada parlemen, Presiden atau Mahkamah Konstitusi. DPR melalui sidang paripurna bisa mengundang MA untuk melakukan klarifikasi atas pertemuan tersebut. "Sidangnya sebaiknya terbuka agar masyarakat luas tau kejadian yang sebenarnya," kata Munarman. Sementara Presiden sebagai Kepala Negara bisa mengundang MA dan Komisi Yudisial untuk meminta komitmen kedua lembaga dalam membenahi lembaga hukum dan peradilan, disamping meminta klarifikasi atas pertemuan di hotel tersebut. Sementara MK, atas permintaan masyarakat bisa melakukan klarifikasi apakah pertemuan itu melanggar konstitusi atau tidak. Dokumen pertemuan Menurut dokumen pertemuan yang diperoleh ANTARA, terdapat sejumlah hakim agung dan pengacara di sebuah hotel di Sunter, Jakarta Utara. Delapan hakim agung yang menghadiri pertemuan itu adalah Juru Bicara MA yang juga Ketua I Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) Djoko Sarwoko, Ketua Muda Bidang Perdata MA Harifin A Tumpa, Ketua Muda Bidang Tata Usaha Negara (TUN) Paulus E Lotulung, Ketua Muda Bidang Pembinaan MA yang juga Ketua Dewan Pembina Ikahi Akhmad Kamil, Ketua Umum Ikahi Abdul Kadir Mappong, Ketua II Ikahi Imron Anwari, serta Hakim Agung Titik Nurmala Siagian dan Widayatno Sastrohardjo. Dari delapan hakim agung itu, hanya Paulus, Widayatno, Harifin A Tumpa dan Titik Nurmala Siagian yang termasuk 13 hakim agung yang dilaporkan masyarakat ke KY dan yang akan melaporkan anggota Komisi Yudisial atas tuduhan pencemaran nama baik. Dari dokumen pertemuan itu terungkap, Harifin A Tumpa mengatakan "Untuk menyelesaikan masalah ini maka kita harus bertindak sampai ke akar-akarnya". Pernyataan itu kemudian ditimpali Djoko Sarwoko dengan ucapan, "Kalau permintaan maaf dan sudah ada kerja sama, maka kita bubarkan Komisi Yudisial". Djoko Sarwoko dan Indra Sahnun Lubis mengaku menghadiri pertemuan itu, namun membantah materi pertemuan seperti yang termuat dalam dokumen yang diperoleh ANTARA. (*)

Copyright © ANTARA 2006