Makassar (ANTARA) - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Indonesia mendorong para pekerja media harus memiliki kontrak kerja sebagai landasan hukum sewaktu-waktu bila terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak dari perusahaan maupun industri media.

"Dari catatan sepanjang tahun 2020—2021 sebanyak 235 pengadu dari pekerjaan media mengalami permasalahan hukum. Adapun kendalanya adalah sebagian tidak memiliki kontrak kerja," kata pengacara LBH Pers Indonesia Ahmad Fathanah saat Diskusi Publik dan Peluncuran Buku Saku Advokasi Ketenagakerjaan untuk Pekerja Media melalui video virtual di Makassar, Jumat.

Ketentuan hukum bidang ketenagakerjaan, kata dia, dibuat para pihak yang terlibat dalam suatu hubungan kerja, baik itu hubungan antara pengusaha dan pekerja/buruh maupun hubungan kerja pengusaha/perusahaan dan serikat pekerja, seperti perjanjian kontrak kerja, perjanjian bersama, dan peraturan perusahaan.

Ketentuan hukum ketenagakerjaan dibuat pihak ketiga, di luar para pihak yang terkait dalam hubungan kerja yang tertuang pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja serta hak-hak pekerja diatur Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2021 dan PP Nomor 36 Tahun 2021.

Selain itu, ada hak pekerja media yang juga diatur dalam peraturan tadi. Ahmad Fathanah lantas menyebutkan jaminan sosial, hak kebebasan berserikat, penempatan, hak untuk istirahat dan cuti termasuk hak melaksanakan kerja sesuai yang ditentukan dan lainnya berhubungan dengan perlindungan kerja.

"Aduan diterima dari teman-teman media berkaitan dengan sengketa ketenagakerjaan, kami kesulitan karena tidak ada perjanjian kerja. Di sinilah masalahnya sehingga kami mendorong bagi pekerja media harus memiliki landasan kontrak kerja," katanya.

Ahmad mengatakan bahwa pihaknya mendorong pekerja media berprofesi jurnalis maupun pekerja bidang lain di industri media mendokumentasikan kegiatan pekerjaan, slip gaji, presensi, termasuk ada perjanjian maupun perubahan kontrak kerja, dan tidak tanda tangan surat tanpa diketahui isinya sebab bisa menjadi dasar bila terjadi sengketa.

Baca juga: Ketua DPD: Banyak sengketa pers tak diadili dalam koridor hukum pers

Baca juga: Polisi Transparan Tangani Sengketa Pers


 
Pengacara LBH Pers Indonesia Ahmad Fathanah (kiri) dan Koordinator Litigasi dan Advokasi LBH Pers Makassar Firmansyah (kanan) saat Diskusi Publik dan Peluncuran Buku Saku Advokasi Ketenagakerjaan untuk Pekerja Media melalui video virtual di warkop Ambeso, Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat (25/3/2022). ANTARA/Darwin Fatir.


Hal senada disampaikan Koordinator Litigasi/Advokasi LBH Pers Makassar Firmansyah. Pekerjaan di bidang media, kata dia, bukan pekerjaan musiman, melainkan produk informasi yang berharga dan patut dihargai karyanya. Dalam hal ini tidak bisa perusahaan media berdiri tanpa pekerja.

Soal kontrak kerja, dahulunya pekerja bisa dikontrak sampai 5 tahun, kemudian 3 tahun. Namun, sekarang 6 bulan, 3 bulan, bahkan ada tidak dikontrak. Inilah menjadi masalah yang harus disikapi bersama

"Bagi saya sederhana, ini momok. Media jenis pekerjaan bukan kategori musiman, melainkan bagian dari produksi karya jurnalistik. Banyak perusahaan media mengabaikan kontak kerja, padahal itu sebuah kewajiban mereka dan hak pekerja," ucapnya.

Sementara itu, Ketua Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Makassar Nurdin Amir mengemukakan bahwa banyak pekerja media sejak pandemi COVID-19 di-PHK, bahkan dirumahkan hingga tidak mendapat gaji penuh, bahkan ada pula tidak digaji. Begitu pula soal kontrak kerja, banyak yang tidak diberikan perusahaan.

"Kami berharap buku saku ini bisa menjadi dasar bagi setiap pekerja mengetahui hak dan kewajibannya. Kami juga mendorong perusahaan media memahami lebih jelas apa hak-hak pekerjanya, termasuk memberikan kontrak kerja," katanya.

Baca juga: Ketua KY anggap laporan hakim sengketa pers

Baca juga: Pengacara: kasus jubir KY masuk sengketa pers

Pewarta: M. Darwin Fatir
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2022