Indonesia memiliki 718 bahasa
Samarinda (ANTARA) - "Ayo berangkat, etam lihat pesut, kendiya keburu petang," ujar Alimin, Ketua Kelompok Sadar Wisata Desa Pela, Kecamatan Kota Bangun, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur (Kaltim), menggunakan Bahasa Kutai dengan dialek khas Kota Bangun.

Kalimat ajakan dari Alimin tersebut jika diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, artinya kurang lebih begini "Ayo berangkat, kita melihat pesut, nanti keburu malam".

Pesut merupakan ikan mirip lumba-lumba yang keberadaannya sangat langka di Sungai Mahakam dan daerah aliran sungainya, yakni tersisa 41 ekor pada Desember 2021, berdasarkan penelitian Yayasan Konservasi Rare Aquatic Species of Indonesia (RASI).

Ketika Alimin menggunakan Bahasa Kutai dengan dialek yang berbeda dengan Bahasa Kutai pada umumnya, tentu lawan bicaranya yang belum akrab dengan bahasa di Kaltim akan bertanya, ini dialek mana, meski paham apa yang dikatakan, karena Bahasa Kutai mirip Bahasa Indonesia.

Namun bagi warga Kaltim yang sudah sering mendengar berbagai macam bahasa asli setempat baik Bahasa Dayak, Bahasa Paser, maupun Bahasa Kutai dengan aneka dialek, tentu langsung paham bahwa yang dituturkan Alimin adalah dialek Kota Bangun.

Ini menggambarkan bahwa bahasa yang dituturkan oleh siapapun, bukan sekadar kumpulan kata, tapi merupakan simbol bagi penuturnya, karena pendengar langsung bisa memahami atau menerka asal daerahnya.

Baca juga: Balai Bahasa dokumentasikan Bahasa Dayak Halong
Baca juga: Prodi Mulok solusi atasi lunturnya bahasa Dayak

Revitalisasi bahasa

Namun sayangnya, beberapa bahasa asli di Kaltim terancam punah, termasuk Bahasa Kutai dengan logat Kota Bangun. Ancaman punah disebabkan oleh beberapa faktor, seperti karena pembauran budaya dan karena jumlah penuturnya sedikit.

Berbeda dengan Bahasa Jawa maupun Bahasa Banjar (Kalimantan Selatan) yang jumlah penuturnya banyak, sehingga bahasa tersebut tetap bertahan, meski ancaman punah pun tetap ada.

Data dari Kemendikbudristek menyebutkan, Indonesia memiliki 718 bahasa. Dari jumlah ini, terdapat 25 bahasa terancam punah, ada 6 bahasa dinyatakan kritis, dan 11 bahasa telah punah.

Bahasa daerah yang disinyalir terancam punah diantaranya beberapa bahasa daerah di Kaltim, karena Kaltim selain memiliki beberapa suku, juga ada sejumlah subsuku yang bahasanya berbeda meski ada beberapa yang mirip.

Legislator Senayan asal daerah pemilihan Kaltim Hetifah Sjaifudian menyebut, bahasa asli di provinsi ini urgen direvitalisasi untuk menjamin kelestariannya, karena berpotensi tergerus seiring akan banyaknya penduduk baru setelah pindahnya Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.

Pada tahun 2024, setidaknya akan ada tambahan sekitar 500 ribu penduduk baru di Kaltim yang berpotensi terjadinya pembauran budaya di IKN Nusantara dan sekitarnya, sehingga dikhawatirkan secara perlahan bahasa asli di Kaltim tergerus.

Selaku Wakil Ketua Komisi X DPR RI yang juga membidangi kebudayaan, ia tidak ingin sejumlah bahasa daerah tergerus oleh kebudayaan baru, sehingga revitalisasi bahasa daerah wajib dilaksanakan dalam kondisi apapun.

Sejumlah bahasa asli Kaltim saat ini dinilai mengalami kemunduran karena selain jumlah penuturnya yang sedikit, juga karena sebarannya yang terbatas.

Namun diyakini bahasa-bahasa daerah di Kaltim akan lestari karena saat ini ada tiga bahasa di Kaltim terpilih menjadi bagian dari 38 bahasa daerah yang ditunjuk sebagai 'Objek Revitalisasi Budaya 2022' oleh Kemdikbudristek.

Tiga bahasa di Kaltim yang menjadi objek revitalisasi budaya ini adalah Bahasa Kenyah (rumpun Dayak), Bahasa Paser, dan Bahasa Kutai dengan dialek Kecamatan Kota Bangun.

Adanya program revitalisasi budaya yang dimulai tahun ini sangat diapresiasi karena dari dulu Hetifah selalu mendorong revitalisasi bahasa daerah melalui muatan lokal sekolah, sehingga adanya program ini dipastikan menjadi langkah baik dalam melestarikan bahasa daerah.

Pemerintah daerah disarankan mewajibkan sekolah mengutamakan pelajaran bahasa daerah sebagai muatan lokal, agar keragaman bahasa tetap terjaga, karena keragaman merupakan kekayaan budaya sekaligus simbol daerah.

Provinsi Kaltim telah ditetapkan sebagai IKN Nusantara yang tentunya akan beragam bahasa akan masuk. Untuk mempertahankan bahasa ibu, maka muatan lokal sekolah harus mengutamakan
bahasa daerah.

Kabupaten Paser contohnya, ada anjuran Dinas Pendidikan setempat, sekolah-sekolah diminta menjadikan Bahasa Paser sebagai muatan lokal sedangkan sekolah-sekolah di daerah lain, belum ada anjuran seperti itu.

Dinas pendidikan di kabupaten/kota diajak mewajibkan bahasa daerah dan seni daerah sebagai muatan lokal, karena Kurikulum Merdeka juga dapat mengakomodir hal ini agar selain bahasa daerah tetap digunakan, seni daerah juga tetap lestari.

Dalam pelestarian bahasa ibu, pemerintah daerah disarankan melibatkan penutur asli di daerah dengan melibatkan lintas sektor dan lintas pemda, sehingga para penutur bisa terlibat langsung dalam pelestariannya.

Baca juga: Bahasa Dayak Maanyan Sudah Waktunya Dijaga Kelestariannya
Baca juga: Pengaruh Melayu dan Dayak dalam Bahasa Banjar

Dukungan Regulasi

Sementara itu, Kepala Kantor Bahasa Provinsi Kaltim Anang Sentosa mengatakan, sudah ada sejumlah regulasi dari pemerintah pusat yang mengatur tentang pelestarian bahasa, sehingga pemerintah daerah memiliki pijakan hukum pasti dalam melestarikan bahasa asli.

Regulasi tersebut antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 57 tahun 2014 tentang Pengembangan, Pembinaan, serta Pelindungan Bahasa dan Sastra.

Kemudian UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan Permendagri Nomor 40 tahun 2017 tentang Pedoman bagi Kepala Daerah dalam Pengembangan dan Pelestarian Bahasa Negara dan Bahasa Daerah.

Pemprov Kaltim sedang merintis sebuah regulasi terkait pelestarian bahasa, sehingga hasil rintisan ini diharapkan adanya langkah lanjutan dalam implementasi penggunaan bahasa daerah.

Kantor Bahasa Kaltim sedang menyusun perda yang dapat melindungi bahasa daerah, sehingga ketika IKN benar-benar pindah, maka bahasa nasional tegak di IKN, sedangkan bahasa daerah pun tetap lestari.

Hetifah mengapresiasi langkah yang ditempuh Kantor Bahasa Kaltim dan pemerintah setempat, karena regulasi pusat harus didukung implementasinya oleh pemerintah daerah bersama DPRD.

DPRD, katanya, bisa menjadi perintis dalam mendukung implementasi UU Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, terutama pasal 42 yang mengatur peran pemerintah daerah dalam melindungi bahasa dan sastra.

Adanya program Objek Revitalisasi Budaya 2022 dari pemerintah untuk tiga bahasa di Kaltim, tentu menjadi momentum tepat dalam membangkitkan masyarakat bangga menggunakan bahasa ibu, karena tutur bahasa juga merupakan jati diri bangsa, seperti dialek yang dituturkan Alimin tersebut.

Baca juga: Buku Bahasa Kutai Diluncurkan
 

Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2022