Jakarta (ANTARA News) - Selama Presiden Soeharto memerintah Indonesia, masyarakat mengenal beberapa nama wakil presiden, mulai dari Adam Malik, Umar Wirahadikusumah, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Sudharmono, Try Sutrisno, hingga Bacharuddin Jusuf Habibie.

Jika Soeharto dikenal sebagai RI I maka sebutan bagi para wakil presiden itu adalah R!-2. Namun ternyata ada tokoh lain dalam pemerintahan Soeharto yang mendapat "julukan" atau panggilan lebih tinggi dari RI-2 yakni "RI satu setengah".

Siapakah dia? Orang itu tidak lain dari pria kelahiran Banyuwangi tahun 1934 yang selama tiga priode mengikuti jejak Soeharto, yakni Moerdiono. Purnawirawan jenderal itu mengikuti Soeharto sejak sekitar tahun 1966, sehingga Moerdiono menjadi orang kepercayaan Soeharto

Mantan Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang juga bekas Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Polkam) Laksamana Purnawirawan Soedomo hari Sabtu pagi (8/10) di Jakarta mengungkapkan hal yang amat menarik dan patut direnungkan oleh banyak orang.

"Jika saya mau ketemu Pak Harto, maka harus lewat Moerdiono," kata Soedomo --yang pernah memimpin Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Sementara itu, mantan Menpera Cosmas Batubara, yang juga merupakan bekas Menteri Tenaga Kerja juga mengungkapkan data yang menarik.

Ketika pemerintah akan mengeluarkan peraturan mengenai Jamsostek, maka terdapat perbedaan sikap antara Cosmas dan Menteri Keuangan JB Sumarlin.

"Pak Moerdiono kemudian menjadi penengah atau mediator," kata Cosmas, yang suka bermain tenis seperti halnya Moerdiono, sehingga akhirnya perbedaan pandangan itu bisa dipertemukan.

Bahkan Soedomo mengatakan bahwa Moerdiono adalah pembuat teks pidato yang handal bagi Soeharto. Berbagai pidato harus disiapkan sekretariat Negara baik yang "ringan maupun berat " seperti pidato pengantar RAPBN yang harus disampaikan presiden kepada DPR menjelang tahun anggaran yang baru. Jika sekarang tahun anggaran berlaku mulai 1 Januari hingga 31 Desember maka dahulu dimulai 1 April hingga 31 Maret tahun berikutnya.

Moerdiono juga harus mendampingi Soeharto jika menerima tamu-tamu asing seperti kepala negara atau kepala pemerintahan mulai dari presiden, raja hingga perdana menteri. Sementara itu, jika Soeharto akan melakukan perjalanan dinas ke luar negeri, maka Moerdiono menjadi satu-satunya pejabat yang bertanggung jawab untuk menyiapkan perjalanan itu mulai dari penyewaan pesawat Garuda Indonesia, jadwal perjalanan, jadwal pertemuan hingga siapa saja orang boleh ikut dalam bepergian ke luar negeri itu.

Pernah ada kejadian seorang pegawai Sekretariat Negara yang dicoret namanya oleh Moerdiono ketika Soeharto akan ke luar negeri. Juga ada kejadian, seorang pejabat Sekneg praktis tidak pernah berani bertemu dengan Mensesneg Moerdiono jika ia sedang menyiapkan perjalanan Soeharto ke daerah-daerah karena jika Moerdiono melihat dia, maka akan muncul sikap marah atau omelan dari Moerdiono.

Sebagai seorang jenderal dan pembantu dekat Soeharto, maka bisa saja muncul kesan bahwa Moerdiono adalah seorang pejabat yang sok pintar atau sok jago karena mempunyai hak untuk mengatur semua hal yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan 24 jam sang presiden. Namun pertanyaannya adalah benarkah Moerdiono itu sombong atau merasa orang paling hebat jika dijuluki sebagai "presiden satu setengah atau RI satu setengah"

Moerdiono jika ingin memberikan keterangan pers selalu memanggil para wartawan yang sehari-hari meliput acara presiden. Satu kali, dia menaruh perhatian kepada seorang staf Dokumentasi dan Media Massa, Sekneg.

"Sudah berapa tahun kamu di sini," tanyanya. Kemudian Moerdiono terkaget-kaget mendengar jawaban sang pegawai bahwa dia telah bertahun-tahun menjadi karyawan honorer tanpa adanya kepastian kapan diangkat sebagai pegawai negeri sipil tetap.

Tiba-tiba Moerdiono memencet bel yang ada di mejanya dan sang sekretaris pun datang dengan tergopoh-gopoh yang kemudian mendapat perintah untuk mengurus administrasi kepegawaian sang honorer tersebut. Hanya dalam waktu beberapa bulan, akhirnya muncul surat keputusan pengangkatan PNS.

"Ya saya datang"
Pemerintah memiliki berbagai organisasi yang berada di bawahnya mulai dari departemen, lembaga pemerintah non-departemen seperi LIPI, BPPT hingga Kantor Berita Antara

Antara berulang tahun setiap tanggal 13 Desember dan kehadiran Moerdiono selaku Ketua Dewan Pembin Antara sangat dinantikan. Satu hari pada tahun 1980-an, undangan dari Antara telah dikirim ke Sekneg. Namun dua minggu menjelang ulang tahun itu belum ada kabar apakah Moerdiono akan datang atau tidak.

Kemudian ketua panitia HUT Antara meminta pewarta atau reporter Antara yang sehari-hari meliput acara kepresidenan untuk menemui Moerdiono.

Sang reporter pun menunggu waktu yang tepat untuk menemui Mensesng. Satu hari di halaman Istana Merdeka, sang Ketua Dewan Pembina Antara itu berhasil ditemui.

"Ada apa," tanya Moerdiono dengan suara kerasnya, yang kadang-kadang memang menakutkan. Sang reporter itu kemudian menjelaskan bahwa Antara akan berulang tahun pada 13 Desember dan surat undangan sudah dikirimkan "hanya" melalui seorang kurir. Mendengar permintaan itu, Moerdiono hanya berujar "Lihat saja nanti." Namun menjelang perayaan itu, tak kunjung jelas apakah dia akan datang atau tidak.

Pada tanggal 11 Desember, hanya dua hari menjelang peringatan itu, sang reporter itu terpaksa datang lagi ke halaman Istana Merdeka atas perintah kantor. dan di sana tidak ada satu wartawan pun atau anggota Pasukan Pengamanan Presiden atau Paspampres. Tiba-tiba orang yang ditunggu muncul dan dia kaget karena hanya ada satu wartawan. Karena kaget, sang wartawan pun belum bisa berkata-kata apa-apa karena "tuan menteri yang mendadak muncul itu".

"Oh, ya kapan," kata Moerdiono ketika dia sadar bahwa dia mempunyai "utang janji". Ketika diingatkan bahwa Antara akan berulang tahun "dua hari lagi atau 13 Desember", sang Mensesneg lalu berkata singkat sekali "Ya, saya akan datang." Akhirnya Antara melakukan persiapan secara terburu-buru, mulai dari undangan bagi para tamu, dan akhirnya Moerdiono menepati janjinya.

Menteri Wardiman
Satu saat Moerdiono, diundang oleh para seniman untuk berceramah di Kota Bukittingi, Provinsi Sumatera Barat. Pada acara itu juga diundang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wardiman Djojonegoro. Karena tahu bahwa Moerdiono menggunakan pesawat khusus, maka Wardiman juga ingin ikut dalam pesawat itu. Namun, entah kenapa Moerdiono tidak mau mengajak sang Mendikbud itu.

Akhirnya Moerdiono hanya membawa seorang sekretaris dan beberapa wartawan yang biasa meliput di Sekneg.

Apa ada kelebihan lain situasi dahulu dengan sekarang di lingkungan para menteri? Sekarang rasanya tidak ada menteri yang tidak memiliki pengawal dan selalu membawa ajudan ke mana-mana demi "keamanan" mereka.

Tapi Moerdiono, yang merupakan seorang jenderal, selama ada di Jakarta tidak pernah membawa satu ajudan atau sekretaris pun apalagi pengawal. Dia hanya ditemani supir setianya yang bernama Awaluddin, padahal dulu pun banyak orang yang tidak senang atau bermusuhan dengan Presiden Soeharto dan para menterinya.
(A011)

Oleh Arnaz F.Firman
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011