Jakarta (ANTARA News) - Pengamat Hukum Internasional Hikmahanto Juwana menilai terdapat tiga isu besar yang tidak saling terkait dibalik merebaknya isu perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Barat yang oleh berbagai pihak diistilahkan sebagai Camar Bulan dan Tanjung Datu.

"Isu pertama adalah isu penentuan titik perbatasan," kata Hikmahanto Juwana di Jakarta, Senin malam.

Menurut dia, meski antara Indonesia dengan Malaysia telah mengadopsi dan mengakui Perjanjian antara Inggris dan Belanda 1891, namun di sejumlah titik masih belum disepakati dan terdapat saling klaim.

"Saling klaim ini disebut sebagai Outstanding Bounndary Problem (OBP)," katanya.

Ia mencatat setidaknya ada 10 titik OBP di perbatasan Kalimantan yang salah satunya disebut sebagai OBP Tanjung Datu. Dalam OBP Tanjung Datu ini terdapat dusun yang dinamakan Camar Bulan.

"Permasalahan OBP Tanjung Datu muncul karena Komisi 1 DPR mempermasalahkan titik yang lebih berpihak pada Malaysia dan telah disetujui oleh Indonesia pada pertemuan 1978 di Semarang. Bahkan titik tersebut telah dituangkan dalam nota kesepahaman (MoU) yang ketua delegasinya telah membubuhkan tanda tangan."

Sikap itu, kata Hikmahanto, menimbulkan pertanyaan apakah titik yang disepakati pada tahun 1978 dapat dibatalkan?

Secara hukum internasional, ia menilai, titik tersebut belum mengikat kedua negara karena belum dituangkan dalam perjanjian antara Indonesia dan Malaysia.

Berdasarkan Pasal 10 huruf (b) UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, maka Perjanjian Internasional yang menyangkut penetapan batas harus mendapat pengesahan dari Dewan Perwakilan Rakyat.

Bila kesepakatan 1978 tidak bisa diterima oleh pemerintah Indonesia saat ini, menurut dia, sebaiknya proses lanjutan untuk dituangkan dalam perjanjian internasional tidak diteruskan.

"Bahkan bila pemerintah tetap bersikukuh, DPR dapat tidak mengesahkan," katanya.

Hikmahanto mengatakan, isu kedua terkait dengan Tanjung Datu adalah bergesernya patok-patok oleh oknum-oknum warga Indonesia --terdapat lebih dari 19.000 patok antara Malaysia dan Indonesia.

"Mereka melakukan penggeseran untuk mengelabui patroli yang dilakukan oleh otoritas Indonesia agar kegiatan mereka seperti illegal logging (pembalakan liar) tidak terlihat," katanya.

Oknum warga melakukan hal itu, tambah Hikmahanto, untuk kepentingan finansial pribadi.

Namun, lanjut dia, pergeseran itu melalui foto satelit akan mudah terdeteksi.

Ia menilai pergeseran patok sangat tidak mungkin dilakukan oleh pemerintah Malaysia karena ini dapat merusak hubungan kedua negara dan suatu perbuatan yang terlalu bodoh.

"Bagi oknum warga Indonesia yang melakukan penggeseran patok dapat dijerat dengan ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Aparat penegak hukum perlu melakukan proses hukum terhadap para oknum tersebut," katanya.

Isu ketiga, lanjut dia, adalah ketidak puasan warga di perbatasan yang merasa diabaikan oleh pemerintah Indonesia.

Meski tidak langsung terkait dengan sengketa tumpang tindih antara Indonesia dan Malaysia, Hikmahanto menduga, di Tanjung Datu warga ada yang terdorong untuk menggeser patok-patok di desa mereka agar wilayah mereka masuk wilayah Malaysia dan karenanya mendapatkan kesejahteraan yang lebih baik.

"Untuk masalah ini maka pemerintah harus lebih memperhatikan kesejahteraan warga masyrakat yang ada di perbatasan. Mereka harus disejahterakan agar mereka menjadi warga Indonesia terdepan untuk menjaga kedaulatan NKRI," katanya.

Sementara itu, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto menegaskan tidak ada sejengkal pun wilayah NKRI yang diambil negara lain, termasuk Malaysia yang dikabarkan mengklaim Tanjung Datu dan Camar Bulan.

Pemerintah, kata dia, berpegang pada perjanjian perbatasan RI-Malaysia tahun 1978.

Meski begitu Djoko mengakui ada beberapa titik penanda perbatasan RI-Malaysia di kawasan itu yang sudah hilang terkena abrasi. Tetapi itu tidak menjadi masalah karena kedua negara berpatokan pada koordinat-koordinat sesuai dengan perjanjian 1978 itu.

Ia juga menyebut rencana penyelenggaraan pertemuan rutin RI-Malaysia pada akhir Oktober.

(G003/Z002)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011