Jakarta (ANTARA) - "Duaar...!," suara ledakan bom menyeruak dari dalam laut, mengguncang permukaan air yang sedang bergerak tenang di salah satu kawasan Raja Ampat, Papua Barat. Seketika, tak kurang dari 1 ton ikan mengambang dengan kondisi tubuh terluka oleh serpihan beling hingga besi.

Ledakan bom hingga radius 10 meter ke dasar laut, juga memorakporandakan ekosistem terumbu karang yang menjadi rumah bagi jutaan biota, termasuk hewan yang dilindungi, seperti penyu, hiu dan pari manta.

Siapa pun penduduk Kabupaten Raja Ampat yang terusik suara dentuman laut, seketika menuding jika aksi penangkapan ikan secara ilegal itu adalah ulah penghuni Kampung Mutus, Distrik Waigeo Barat. Kampung berpenghuni sekitar 500 jiwa yang tergabung dalam 96 kepala keluarga itu memang sejak lama menyandang gelar sebagai pelaku pengebom laut.

"Pada 1997 hingga 1999, mayoritas penduduk Mutus dianggap perusak karang. Kami dulunya memang pelaku perusakan karang, termasuk saya," kata Yoram Sauyai (36), penduduk setempat, saat bertukar obrolan dengan Antara di Pulau Mutus, Sabtu (26/3).

Bahan peledak yang digunakan umumnya pupuk amoniak (urea) dicampur solar dan black powder. Campuran itu dikeringkan dan dimasukkan ke dalam botol lalu diberi detonator bersumbu untuk dibakar. Ada pula jenis lain berupa bahan peledak yang dirakit berbahan mesiu.

Tokoh Adat Kampung Mutus Markus Dimara (73) menyebut perilaku itu dipengaruhi hasutan seorang pendatang dari Jakarta yang memulai usaha sebagai pengepul ikan di Kampung Mutus pada 1989 hingga 1994.

Pengusaha keturunan itu memasok bahan baku bom kepada nelayan setempat sebagai jaminan atas hasil tangkapan laut nelayan Mutus untuk diekspor ke Hong Kong. Secara diam-diam, bahan peledak didistribusikan ke seluruh rumah nelayan.

Ia menyebut aksi ilegal itu sebagai cara praktis mendulang ikan untuk membawa pulang uang hingga jutaan rupiah dalam sekali perjalanan melaut.

Lambat laun, aksi perusakan laut memicu perlawanan dari masyarakat hingga lembaga swadaya masyarakat (LSM). Bahkan, tak sedikit penduduk dari pulau seberang yang merasa terusik, membalas dendam dengan mengebom perairan Kampung Mutus.

"Saat perbuatan kami ditentang, dia (pengepul ikan) ganti bahan baku bom dengan potasium yang didatangkan langsung dari Hong Kong. Saya penggunanya saat itu. Dulu kami tidak tahu bahwa bom dan potasium merusak karang," katanya.

Potasium merupakan zat kimia yang disebut Markus sebagai cairan penghancur logam. Ia mengemas potasium dalam botol plastik yang diberi corong pada ujung penutup lalu disemprot ke terumbu karang. Alhasil, ikan yang bersarang pun terkontaminasi dan mati perlahan lalu mengambang.

Aksi saling balas itu direspons oleh pemerintah daerah setempat dengan memaparkan hasil kajian terhadap kerusakan ekosistem laut. Seluruh pelaku kemudian dibina dan diberikan kemampuan untuk menangkap ikan secara benar.


Insaf

Penggunaan bahan berbahaya mengakibatkan kerusakan terumbu karang dan ekosistem di sekitarnya. Setidaknya, hasil penelitian World Bank Tahun 1996 menunjukkan bahwa penggunaan bom seberat 250 gram akan menyebabkan luasan terumbu karang yang hancur mencapai 5,30 M2.

Markus dan kolega, umumnya sanggup menangkap sekitar 1 ton ikan dari eksploitasi laut. Tanpa mereka sadari, kerugian materi yang timbul dari dampak lingkungan itu jauh lebih besar nilainya.

Yoram Sauyai menjadi saksi atas lenyapnya biota laut hingga radius puluhan kilometer dari perairan Kampung Mutus, sejak berlangsungnya praktik pengeboman. Akibatnya, pendapatan penduduk semakin hari kian berkurang.

Pada 2001, muncul Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang – Prakarsa Segitiga Karang (COREMAP-CTI) di Kampung Mutus, sebagai program jangka panjang untuk melestarikan terumbu karang di Indonesia dari praktik penangkapan ikan yang merusak, polusi dan perubahan iklim.
Kaum ibu Kampung Mutus, Distrik Waigeo Barat, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat menjemur produksi ikan asin, Sabtu (26/3/2022). (ANTARA/Andi Firdaus)

Pada tahap awal, masyarakat diberi pemahaman terkait bahaya pemanfaatan bom maupun potasium terhadap terumbu karang dan biota laut.

Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan menyebutkan bahwa setiap orang dilarang memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.

Apabila diketahui dan didapatkan cukup bukti terdapat oknum masyarakat yang melakukan kegiatan penangkapan ikan dengan cara merusak, maka dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp2 miliar.

"Ada pemahaman yang kami dapat. Kami masyarakat Kampung Mutus yang dulunya perusak karang, barulah kami menerima penjelasan tentang bagaimana terumbu karang harus dijaga, lautan harus dilestarikan," katanya.

Kampung Mutus dipilih Yayasan Pusat Informasi Lingkungan Indonesia (PILI) dan Terangi menjadi Daerah Pelestarian Lingkungan (DPL) Raja Ampat sebab memiliki potensi budidaya, nelayan, hasil tangkapan laut yang memadai.

Penduduk mulai dibekali dengan mata pancing serta peralatan tangkap ikan yang aman. Selain itu, nelayan juga mulai memproduksi rumput laut serta ikan asin sebagai alternatif pendapatan selain ikan.

Tapi sejak program COREMAP 1 dan 2 rampung pada 2008, hasil budidaya laut warga hanya berjalan selama sebulan. "Masyarakat punya hasil budidaya itu rusak. Bukan malas, tapi pemasarannya jadi kendala. Sehingga budidaya itu punah kembali," katanya.

Pada November 2021, penyelenggara program menyiasati kendala itu dengan memasok kotak pendingin untuk penyimpanan ikan beserta alat pencetak es batu bertenaga surya sehingga hasil tangkapan dapat dibekukan.
Nelayan Kampung Mutus, Distrik Waigeo Barat, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat berpose di depan kotak pendingin ikan, Sabtu (26/3/2022). (ANTARA/Andi Firdaus)

Profesi penduduk pun dibagi atas kelompok penangkap ikan hidup, pengelola ikan beku dan produsen ikan asin. Perlahan, sejumlah pengepul domestik maupun mancanegara berdatangan ke Mutus.

Harga ikan hidup kualitas super Rp280 ribu hingga Rp305 ribu per kilogram, sedangkan ikan beku berkisar Rp80 ribu hingga Rp220 ribu per kilogram, tergantung kualitas. Jenis ikan, di antaranya kerapu, baronang dan ekor kuning.

Yoram mengaku mengantongi pendapatan hingga Rp2 juta per hari dari aktivitas melaut. Tapi selama pandemi COVID-19, ayah dari dua anak itu hanya sanggup mengumpulkan kurang dari Rp280 ribu hingga Rp350 ribu yang setara untuk menutup biaya solar kapal selama melaut.


Pelestarian laut

Kini, masyarakat Mutus sadar bahwa fungsi ekosistem terumbu karang adalah penyangga bagi kehidupan biota pesisir dan lautan. Terumbu karang merupakan lingkungan yang sangat kaya akan keanekaragaman hayati. Selain itu juga sebagai pelindung pantai dari abrasi akibat hantaman gelombang laut maupun angin.

Penduduk setempat bergotong royong menata kembali halaman rumah dengan membuat padang lamun, hingga pelestarian terumbu karang demi keberlangsungan hidup.

Perwakilan Dinas Perikanan Raja Ampat Zulaida Kalibai menyebut penduduk setempat menjadi garda depan pelestarian pesisir laut karena tumbuh perilaku penduduk yang kini semakin merasa memiliki dan bertanggung jawab pada lingkungan.

Kampung Mutus memiliki kebun karang yang ditumbuhi terumbu serta menjadi rumah ikan. Secara prinsip, kebun dibentuk menggunakan tumpukan patahan karang, atau membuat karang buatan. Karang patah yang masih hidup dan ditumpuk di atasnya memicu perkembangan biota yang ada di kebun karang.

Metode tersebut juga minim biaya, sehingga masyarakat bisa melakukan rehabilitasi terumbu karang secara mandiri hanya dengan mengenakan masker.
Tokoh Adat Kampung Mutus, Distrik Waigeo Barat, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, Markus Damara, Sabtu (26/3/2022). (ANTARA/Andi Firdaus)

Masyarakat juga kian aktif berpatroli memantau kepatuhan pelaku perjalanan laut terhadap pembagian zona wisata, menangkap ikan, hingga kawasan konservasi di wilayah itu.

"Sekarang, saya dan penduduk Mutus pasti pantau siapa saja yang melanggar. Kami bukan lagi perusak laut. Sekarang jargon kami Laut Lestari, Hidup Sejahtera," kata Markus mengakhiri obrolan.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022