Jakarta (ANTARA) - Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati meminta Pemerintah dan DPR melakukan sinkronisasi terhadap daftar inventarisasi masalah (DIM) dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS), khususnya terkait tindak pidana eksploitasi seksual.

"Mengenai perumusan tindak pidana eksploitasi seksual yang perlu disinkronkan, ini terkait Pemerintah dan DPR yang telah menyepakati masuknya rumusan tentang eksploitasi seksual dalam RUU TPKS," kata Maidina dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin.

Pemerintah memasukkan tambahan DIM terkait perbuatan dalam bentuk pelecehan fisik, persetubuhan, dan perbuatan cabul atas dasar relasi kuasa dalam Pasal 6 huruf c.

Dengan dimasukkannya eksploitasi seksual, ICJR merekomendasikan perbuatan yang dirumuskan Pasal 6 huruf c DIM Pemerintah, yaitu pelecehan fisik, persetubuhan, dan perbuatan cabul atas dasar relasi kuasa, tidak perlu dimasukkan apalagi dikategorikan sebagai pelecehan seksual fisik.

Lebih lanjut, mengenai penguatan perumusan kekerasan berbasis gender Online (KBGO) atau kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE), dia mengingatkan kepada para pembuat kebijakan mengenai bahaya Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

ICJR menilai larangan perbuatan dalam Pasal 27 ayat (1) adalah pidana bagi semua jenis perbuatan atau konten yang melanggar kesusilaan.

"ICJR menyuarakan unifikasi pengaturan tentang akses, penyebaran, transmisi konten pribadi seseorang di luar kehendak orang yang menjadi objek ataupun yang menerima konten," tambahnya.

Baca juga: ICJR apresiasi DPR akomodasi "victim trust fund" ke RUU TPKS

RUU TPKS dapat melarang perbuatan merekam, mengakses, menyebar, mentransmisikan konten pribadi seseorang atau kepada orang yang tidak berkehendak menerima.

Dengan unifikasi tersebut, maka ketentuan penutup dalam Pasal 71 RUU TPKS juga dapat menghapus Pasal 27 ayat (1) UU ITE tentang larangan penyebaran konten melanggar kesusilaan.

"Karena pasal ini tidak lagi diperlukan dengan adanya ketentuan KUHP, UU Pornografi, dan nantinya UU TPKS," katanya.

Sementara itu, dalam ketentuan peralihan, pembuat kebijakan perlu memasukkan aturan mengenai pemberlakuan ketentuan hukum acara dan perlindungan korban.

Menurutnya, perlu ditekankan bahwa kasus-kasus kekerasan seksual, yang telah dilaporkan dengan UU saat ini, akan mengikuti ketentuan hukum acara dan hak korban saat pengesahan RUU TPKS.

Konsep sejenis juga telah diatur dalam Pasal 102 ketentuan peralihan UU Sistem Peradilan Pidana Anak. Saat UU tersebut berlaku, maka hukum acara perkara yang sudah masuk penyidikan akan diselesaikan dengan UU baru, namun tidak untuk perkara yang sudah masuk persidangan.

"Hal ini penting diakomodasi untuk menjamin kepentingan kemudahan korban, namun tidak untuk berlakunya delik atau tindak pidana," ujarnya.

Baca juga: JMS dorong Panja RUU TPKS atur tindak pidana perkosaan dan KSBE
Baca juga: Anggota Panja DPR sebutkan norma baru di RUU TPKS

Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: Fransiska Ninditya
Copyright © ANTARA 2022