Jakarta (ANTARA) - Pengamat kelautan dan Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim mengingatkan agar kebijakan penangkapan terukur dari KKP harus bisa membuat keadilan agar jangan sampai menciptakan konflik sektor perikanan antara investor dan nelayan.

"Diperlukan pengaturan agar tidak terjadi konflik perebutan sumber daya ikan," kata Abdul Halim kepada ANTARA di Jakarta, Selasa.

Menurut dia, sudah terlihat jelas bahwa berdasarkan sarana dan prasarana pendukung yang dimiliki, bahwa investor besar memiliki keuntungan ketimbang nelayan kecil.

Untuk itu, ujar Abdul Halim, berbagai regulasi yang diterbitkan terkait dengan alokasi zona tangkapan dan pemakaian alat tangkap harus dapat betul-betul ditegakkan.

"Penangkapan ikan terukur dimulai dari penggunaan hasil kajian stok ikan, penentuan perizinan berbasis hasil stok ikan, dan penentuan alokasi tangkapan ikan berbasis kajian ilmiah," katanya.

Ia sepakat bahwa ketentuan terkait alokasi zona tangkapan harus diberlakukan dengan ketat dan tidak hanya sekadar berlaku di atas kertas. Begitu pula, lanjutnya, dengan peraturan terkait alat tangkap yang telah dikeluarkan regulasinya, harus benar-benar diterapkan dengan sungguh-sungguh oleh berbagai pihak terkait.

KKP memastikan bakal mengutamakan kepentingan nelayan lokal dalam implementasi kebijakan penangkapan terukur di Indonesia. Kuota untuk nelayan lokal diberikan tanpa batasan dan tidak dipungut Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

“Berapa pun kuota yang dibutuhkan nelayan lokal kita akan penuhi, tidak ada pembatasan. Mereka sekarang ambilnya satu kapal misalkan satu ton, kemudian nanti mampu 10 ton, silahkan kalau mampu. Juga tidak sistem kontrak dan tidak perlu bayar PNBP. Peraturan perizinan pun tidak ada yang berubah, hanya nelayan lokal diarahkan membentuk kelompok atau koperasi supaya lebih kuat,” ungkap Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Muhammad Zaini Hanafi, Senin (4/4).

Pernyataan Zaini ini sekaligus untuk menjawab kekhawatiran sejumlah pihak yang menganggap penerapan kebijakan penangkapan terukur akan merugikan nelayan lokal sebab kuota penangkapan diutamakan untuk pemodal (investor).

Zaini memaparkan, dari enam zona penangkapan yang mencakup 11 WPPNRI, zona 1 hingga 4 yang disebut sebagai zona penangkapan industri di mana kuota dibagikan kepada nelayan lokal, nonkomersial, dan industri.

Empat zona ini meliputi WPPNRI 711 (Zona 1), WPPNRI 716 dan 717 (Zona 2), WPPNRI 715, 718 dan WPPNRI 714 (Zona 3), WPPNRI 572 dan WPPNRI 573 (Zona 4). Sedangkan dua zona lainnya yang tersebar di WPPNRI 571 (Zona 5) serta WPPNRI 712 dan 713 (Zona 6) merupakan zona penangkapan biasa yang tidak menerapkan sistem kuota.

“Yang kedua kuota untuk nonkomersial, yaitu untuk pendidikan, pelatihan dan hobi (mancing). Ini tidak banyak ini hanya 0,01 persen dari kuota yang ada. Nah setelah ini ada sisanya baru yang ketiga untuk industri,” ungkap Zaini.

Penerima kuota industri ini juga memiliki aturan main ketat. Pemberitaan kuota industri diutamakan bagi pelaku usaha perikanan yang sudah berjalan (eksisting) dan apabila masih memiliki sisa kuota, barulah diberikan kepada calon investor.

Syarat bagi calon investor pun cukup ketat. Salah satunya harus memiliki modal usaha minimal Rp200 miliar untuk memastikan keseriusan pelaku usaha dalam menjalani bisnis perikanan dalam jangka waktu yang panjang. Langkah ini sekaligus untuk mengantisipasi terjadinya percaloan kuota penangkapan.

Zaini menambahkan, selain kuota, alat tangkap turut diatur dalam implementasi kebijakan penangkapan terukur sehingga alat tangkap yang dipakai harus ramah lingkungan sebagai upaya menjaga keberlanjutan ekosistem laut. Dia juga memastikan tidak ada pengkaplingan laut dalam penerapan kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota.

Baca juga: Akselerasi penangkapan ikan terukur, KKP optimalkan peran pelabuhan perikanan

Baca juga: Penangkapan ikan terukur dikawal ketat dengan teknologi

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2022