Jakarta (ANTARA News) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diharapkan membentuk kementerian baru yaitu Kementerian Agraria dan Tata Ruang untuk menjawab berbagai persoalan tentang tanah.

Hal itu disampaikan oleh Anggota Komisi II DPR-RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan, Budiman Sudjatmiko, dalam Seminar dan Diskusi bertemakan Mencari Solusi Permasalahan Pertanahan, Mempercepat Proses Pembangunan Nasional di Kampus Pasca-Sarjana Universitas Paramadina, Jakarta, Selasa.

"Ada satu persoalan yang perlu kita perhatikan soal tanah. Daripada Pak SBY menambah jumlah wakil menteri, apa yang perlu dilakukan adalah mendirikan kementerian baru yang harus bertanggung jawab soal ini. Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Itu harus dibentuk sebenarnya," kata Budiman yang juga anggota Tim Kerja Pertanahan Komisi II DPR-RI itu.

Menurut Budiman, Badan Pertanahan Nasional yang sudah terbentuk bisa ditingkatkan menjadi Kementerian Agraria dan Tata Ruang.

"Hal ini penting karena Undang-Undang Agraria tahun 1960 sudah ada. Undang-Undang Tata Ruang juga sudah ada tapi tidak dijalankan. Padahal tata ruang itu digunakan untuk membagi mana bagian untuk infrastruktur, untuk kesejahteraan petani langsung, untuk industri, pariwisata, dan konservasi lingkungan," kata Budiman.

Setiap undang-undang yang ada harus ada konsekuensi pembentukan institusinya, kata Budiman.

"Persoalan kita adalah undang-undang yang ada tidak selalu segera diikuti dengan pembentukan institusi yang melaksanakan," kata Budiman.

Budiman mengambil contoh tindakan pemerintah yang mengulur-ulur pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebagai pelaksana Undang-undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

Oleh karena itu, Undang-Undang pokok Agraria, konsekuensinya harus ada Kementerian Agraria, kata Budiman.

"Menurut saya itu perlu sehingga segala macam kekacau-balauan penanganan soal tanah itu satu pintu seharusnya. Tidak ada yang namanya tanah ini punya BPN, tanah ini punya Perhutani, tanah ini punya Kementerian ESDM. Hal itu sebenarnya filosofi dari kenapa undang-undang pokok agraria itu ada," kata Budiman.

Budiman mengatakan, amanat undang-undang agraria adalah segala pokok permasalahan yang menyangkut tanah, apa yang ada di dalam tanah, apa yang ada di atas tanah itu harus mengacu kepada satu undang-undang pokok yang konsekuensinya juga harus mengacu pada institusi-institusi tertentu.

"Persoalanya adalah soal-soal pengadaan tanah itu mau dilepaskan dari itu semua sehingga ada kesulitan bagikita untuk mencoba meyakinkan dan memastikan fungsi sosial dari tanah itu," kata Budiman.

Seminar tersebut tiba pada satu kesimpulan bahwa kesulitan dalam pengadaan tanah dinilai menjadi penghambat pembangunan nasional sehingga menyebabkan tidak kompetitifnya infrastruktur Indonesia.

Menurut para pembicara seminar, pelaksanaan pembebasan tanah dapat dipermudah dengan dua pendekatan.

"Pendekatan pertama adalah dengan memperkuat kewenangan negara untuk mengambil tanah pada harga yang ditetapkan walaupn tanpa kerelaan pemilik tanah," kata Tedy J. Sitepu, selaku peneliti sekaligus pembicara.

Pendekatan tersebut dilakukan dengan menggunakan kewenangan yang diberikan undang-undang.

Sedangkan pendekatan yang kedua adalah dengan meningkatkan keberpihakan dan penghormatan terhadap pemilik hak atas tanah dengan mengedepankan sosialiasi, negosiasi dan pemberian kompensasi yang lebih komprehensif.
(T.SDP-04/E001)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2011