Semarang (ANTARA News) - Pakar pendidikan yang juga Rektor Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) PGRI Semarang, Muhdi menilai, bobot ujian nasional (UN) dengan nilai sekolah sebagai penentu kelulusan harus "fifty-fifty".

"Idealnya seperti itu, sehingga tidak terkesan tarik-menarik kepentingan. Pusat (persentase bobot kelulusan, red.) yang lebih tinggi atau sekolah yang lebih tinggi" katanya, di Semarang, Rabu.

Menurut dia, peran pemerintah dan sekolah harus sama-sama dihormati dalam penentuan kelulusan siswa, sebab kedua pihak sama-sama memiliki landasan, seperti guru atau sekolah yang memiliki kewenangan mengevaluasi siswanya.

Di sisi lain, kata dia, pemerintah juga memiliki hak melakukan evaluasi pendidikan seperti tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

Ia menilai, bobot antara UN dan nilai sekolah dalam penentuan kelulusan siswa tahun ini, yakni masing-masing 60:40 sebenarnya sudah cukup mengakomodasi sekolah, karena nilai rapor juga dijadikan acuan.

Nilai sekolah, kata dia, meliputi pula nilai ujian sekolah dan rapor, sehingga kelulusan tak semata-mata ditentukan oleh UN, meski porsi yang diberikan untuk UN memang lebih besar, yakni 60 persen.

"Saya pikir, pola penentuan kelulusan tahun ini sudah bagus, tinggal penyempurnaannya saja, yakni penambahan porsi nilai sekolah dalam penentu kelulusan, dari 40 persen menjadi 50 persen," katanya.

Apabila bobot UN dengan nilai sekolah sebagai penentu kelulusan ditentukan 50:50, kata dia, pemerintah tetap bisa melakukan evaluasi dan memetakan kualitas sekolah, sementara pihak sekolah juga merasa diakomodasi.

Pemerintah, kata Sekretaris Umum PGRI Jawa Tengah itu, tidak perlu terlalu berpegang pada persentase penentuan kelulusan yang lebih besar, karena proses selama menempuh pendidikan di sekolah perlu pula dipertimbangkan.

Ia menjelaskan, pemerintah juga memiliki peran memetakan kondisi pendidikan di Indonesia, salah satunya melalui UN, namun tindak lanjut dari evaluasi yang sudah dilakukan itu selama ini sering terlupakan.

"Setelah UN, pemerintah mengevaluasi sekolah-sekolah mana yang nilainya rendah, kelulusannya rendah. Namun, apa yang dilakukan pemerintah setelah itu? Tidak ada tindak lanjut terhadap sekolah-sekolah itu," katanya.

Kenyataan yang sering terjadi, kata dia, sekolah yang nilai UN-nya rendah harus berjuang sendiri membuat program untuk meningkatkan kualitas, misalnya melalui penambahan jam pelajaran dan penjajakan-penjajakan.

"Padahal, pemerintah yang seharusnya memberikan kebijakan mendasar terhadap sekolah-sekolah di bawah standar, misalnya kualifikasi guru rendah, gurunya disekolahkan. Kalau soal kompetensi, diikutkan pelatihan," kata Muhdi.

(ANTARA)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011