Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia dan Malaysia hendaknya terus melanjutkan perundingan perbatasan antara kedua negara.

Hal itu dikemukakan oleh Guru Besar Hukum Internasional Hikmahanto Juwana dalam keterangan persnya di Jakarta, Kamis.

"Pertemuan pimpinan MPR dengan mantan PM Abdullah Badawi di Putrajaya, Badawi mengusulkan agar masalah perbatasan terus- menerus dirundingkan oleh kedua negara," katanya.

Ajakan Badawi itu, kata dia, perlu disambut oleh pemerintah Indonesia karena selama ini di Tanjung Datu, posisi Malaysia adalah tidak ingin membuka perundingan dengan pemerintah Indonesia karena telah ada MoU 1978 yag telah ditandatangani oleh kedua negara.

Hikmahanto menilai ada tiga alasan mengapa imbauan Badawi perlu ditanggapi secara positif.

"Pertama, pemerintah Indonesia harus dalam posisi melihat MoU 1978 bukanlah instrumen hukum internasional yang bersifat mengikat," katanya.

MoU berikut substansinya menurut dia tidak dapat diperlakukan sebagai perjanjian perbatasan antara Indonesia Malaysia.

"Oleh karena itu pada MoU tidak berlaku adigium pacta sunt servanda atau para pihak yang terikat dalam suatu perjanjian harus mematuhinya. Bahkan MoU memang diintensikan sekedar sebagai dokumen teknis penentuan koordinat," katanya.

Kedua, lanjut dia, MoU tidak bisa dijadikan dokumen kelanjutan dari Perjanjian Belanda Inggris 1891 yang diakui oleh Indonesia Malaysia.

"Dalam hukum adalah mustahil sebuah perjanjian ditindaklanjuti dengan MoU. Justru sebaliknya MoU akan mendahului suatu perjanjian," katanya.

Hikmahanto mengatakan konstruksi berpikir yang benar adalah Perjanjian Perbatasan Belanda Inggris 1891 merupakan perjanjian deskriptif dalam penentuan batas dua negara.

"Selanjutnya perjanjian ini harus diikuti dengan Perjanjian Perbatasan yang berisi koordinat konkret antar dua negara."

Ketiga, kata dia, koordinat yang ditentukan dalam MoU 1978 di Tanjung Datu yang menjorok ke Indonesia bermasalah karena bila merujuk pada peta yang dibuat oleh Malaysia secara unilateral justru menunjukkan garis batas yang menjorok ke Malaysia.

Ia menilai seharusnya pemerintah Indonesia mencari tahu dan mempertanyakan kepada pemerintah Malaysia apa yang menjadi metode dan dasar pembuatan peta Malaysia.

Metode penentuan batas yang dilakukan oleh Malaysia patut dipertanyakan mengingat kemungkinan besar metode yang digunakan dalam penentuan koordinat di MoU 1978 salah.

"Bila Malaysia mau beritikad baik maka Malaysia akan tidak berkeberatan bila koordinat di Tj Datu ditinjau dan dirundingkan kembali".

Berdasarkan tiga hal diatas, kata dia, Pemerintah Indonesia harus gigih memperjuangkan agar Tanjung Datu dijadikan outstanding boundary problems agar disetujui oleh Malaysia.

"Bila Malaysia belum juga menyetujui maka pemerintah harus menganggap koordinat di Tj Datu belum konklusif dan belum ada yang disepakati".

(L.A017*G003)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011