Jakarta (ANTARA) - Sejumlah organisasi kemasyarakatan menilai pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi Undang-Undang dalam rapat Paripurna DPR RI Ke-19 masa sidang IV Tahun 2021-2022 sebagai bentuk keberpihakan negara pada banyaknya korban kasus kekerasan seksual.

Sejumlah ormas tersebut, di antaranya Forum Pengada Layanan (FPL) bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan dan Jaringan Masyarakat Sipil (JMS) untuk Advokasi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

"Kehadiran undang-undang ini tidak terlepas dari perjuangan berbagai pihak, mulai dari pendamping korban, akademisi, pemerintah, DPR RI, dan yang paling utama ialah para korban kekerasan seksual yang berupaya mencari keadilan," ujar anggota Jaringan Masyarakat Sipil, sekaligus Sekretaris Jendral Koalisi Perempuan Indonesia Mike Verawati, dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Selasa malam.

Mike berharap dengan disahkannya undang-undang ini semakin mendekatkan akses keadilan untuk korban kekerasan seksual serta membuka harapan baru bagi perubahan sistem hukum yang lebih progresif dan berperspektif gender lainnya.

"Perlu diingat pula bahwa perjuangan membela hak korban belum berakhir, masih ada implementasi yang tetap harus dikawal. Tak kalah penting, sinkronisasi hukum lain terhadap UU TPKS yang juga masih perlu diupayakan," katanya.

Dia mengatakan UU TPKS merupakan contoh baik dari kerja bersama antara masyarakat sipil, pemerintah dan parlemen dalam menghasilkan sebuah undang-undang. Maka dari itu FPL, JMS dan para penyintas kekerasan seksual mengapresiasi Panja RUU TPKS, Baleg DPR RI, yang menyelenggarakan proses pembahasan RUU TPKS dengan memberi ruang partisipasi masyarakat untuk memberikan masukan.

"Kami juga mengapresiasi pemerintah, khususnya Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, yang menyempurnakan draf RUU TPKS hasil harmonisasi. Tim Sinkronisasi dan Tim Perumus Panja RUU TPKS yang progresif, sesuai dengan kepentingan korban kekerasan seksual, termasuk perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas korban kekerasan seksual," ujar Mike.

Selain itu juga disebutkan bahwa FPL dan JMS mencatat hal penting sebagai capaian. RUU TPKS telah memasukkan beberapa bentuk tindak pidana kekerasan seksual, yaitu pelecehan seksual non-fisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, kekerasan seksual berbasis elektronik, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual dan perbudakan seksual.

Menurut dia, dengan masuknya peran lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat dalam proses pendampingan dan perlindungan korban kekerasan seksual, pemerintah harus memastikan kehadiran penyedia layanan berbasis masyarakat dalam pembentukan pusat layanan terpadu.

Mike mengemukakan adanya dana bantuan bagi korban kekerasan seksual yang merupakan dana kompensasi negara kepada korban tindak pidana kekerasan seksual, menjadi angin segar untuk memastikan dukungan bagi korban dalam menjalani proses penanganan perkara kekerasan seksual.

Kemudian, katanya, adanya ketentuan yang mewajibkan aparat penegak hukum untuk menggelar penyidikan dan proses hukum lain tanpa menimbulkan trauma bagi korban.

Selanjutnya, ujar Mike, adanya ketentuan yang melarang pelaku kekerasan seksual untuk mendekati korban dalam jarak dan waktu tertentu selama berlangsungnya proses hukum, menjadi ujung tombak keselamatan korban kekerasan seksual agar korban aman dan tidak harus melarikan diri dari pelaku.

Lalu, katanya, adanya ketentuan tentang hak korban, keluarga korban, saksi, ahli dan pendamping, merupakan upaya untuk memastikan pemenuhan hak korban dalam mendapatkan keadilan dan pemulihan, sekaligus memberikan perlindungan bagi keluarga, saksi, ahli dan pendamping korban.

"Meski banyak capaian, RUU TPKS tetap menyisakan pekerjaan rumah. Tindak pidana perkosaan tidak diatur dalam RUU TPKS. Hal itu menjadi pekerjaan rumah bagi DPR dan pemerintah agar bisa memasukkan tindak pidana perkosaan dalam RUU KUHP, menjadi pekerjaan rumah juga bagi FPL dan JMS untuk mengawal RUU KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)," kata Mike.

Pewarta: Devi Nindy Sari Ramadhan
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022