Jakarta (ANTARA News) - Mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mempertanyakan upaya jaksa dalam memenjarakan mantan Direktur Utama Bank Mandiri, Edward Cornelis William (ECW) Neloe, dalam kasus korupsi di tubuh bank pemerintah hasil merger tersebut. "Kemana arah penegakan hukum yang dilakukan pemerintah? Apakah untuk balas dendam? Atau untuk melindungi koruptor yang seharusnya ditangkap atau untuk pengalihan perhatian dari permasalahan yang dihadapi pemerintah seperti keamanan, efisiensi, dan lain sebagainya," ujar Gus Dur di kantor pusat Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Jakarta, Sabtu. Gus Dur mengaku mengetahui secara jelas sejarah dari pembentukan Bank Mandiri, karena proses restrukturisasi pada bank tersebut dilakukan saat dia menjabat Presiden. Keputusan manajemen Bank Mandiri pada periode 2000-2002 dilatarbelakangi program restrukturisasi perbankan nasional yang merupakan pelaksanaan dari penyehatan perekonomian nasional. "Saya memanggil ECW Neloe, karena saya sangat kenal dia, sangat tahu integritas dan kapabilitasnya. Dia orang yang loyal kepada negara, sebagai bankir sudah mengabdi kepada negara lebih dari 30 tahun," tuturnya. Neloe ditugasi Gus Dur untuk membangun Bank Mandiri yang merupakan gabungan dari empat bank milik pemerintah, yang masing-masing memiliki karakter sendiri, guna mengembalikan kepercayaan masyarakat internasional kepada perekonomian Indonesia yang dilanda krisis moneter. "Penugasan saya kepada dia adalah mission impossible. Saya masih ingat ketika Neloe menyampaikan komitmennya, Gus, Insya Allah saya dapat melaksanakan tugas dengan baik, kalaupun saya gagal, saya bersedia mundur. Saya sangat terharu, ternyata masih ada jiwa ksatria, dalam kondisi saat itu yang sedang krisis di segala bidang," katanya. Menurut Gus Dur, pada periode 2000-2004 Bank Mandiri telah mencapai beberapa target yang diberikan oleh pemerintah, diantaranya memenuhi program pemerintah untuk melakukan privatisasi, berhasil go publik di tahun 2003. Selin itu, kata mantan Ketua Umum PBNU itu, Bank Mandiri memberikan konstribusi pada APBN pada tahun 2003 dari hasil privatisasi sebesar Rp5.8 triliun, potong kontribusi keuntungan yang diterima pemerintah pada 2000-2004 sebesar Rp32.6 triliun (hasil penjualan saham Rp5.8 triliun, agio saham Rp12.3 triliun, deviden Rp7.7 trilun dan pajak Rp6.8 triliun). Selain itu, kata Gus Dur, Bank Mandiri telah berhasil menurunkan rasio kredit dari 19,8 persen pada tahun 2000 menjadi 7,1 persen pada 2004, tingkat kecukupan modal pada tahun 2004 mencapai 25,3 persen jauh di atas syarat kecukupan modal minimum yang ditentukan Bank Indonesia sebesar delapan persen. "Sudah jelas dari ukuran-ukuran tersebut menejemen Bank Mandiri di bawah kepemimpinan Neloe dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Tapi, mengapa orang yang sudah memberikan keuntungan kepada negara justru dihukum?," ujarnya. Sementara itu, lanjut Gus Dur, pemerintah justru membiarkan pembobol Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) berkeliaran sampai saat ini, bahkan dengan bebasnya membeli kembali aset-asetnya. Menurut Gus Dur, penegakan hukum pemberantasan korupsi tidak menyentuh para koruptor yang sudah terbukti merugikan negara dan pengakan hukum tersebut terkesan tebang pilih alias dikenai terhadap orang-orang tertentu saja. "Kepada mereka itu malah diberlakukan secara khusus, bahkan diterima seperti tamu negara di Istana Negara. Memang sistem peradilan di Indonesia terkesan somplak-somplak," katanya. Bahkan, dalam kesempatan itu Gus Dur juga mempertanyakan fungsi dan peran beberapa lembaga yudikatif lainnya, seperti Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY). "Semua lembaga ini yang somplak-somplak, sudah ada MA kok masih saja dibuat MK. Padahal, MA juga merupakan lembaga yang menanggani pelanggaran konstitusi," demikian Abdurrahman Wahid. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006