Makassar (ANTARA News) - Jurnalisme baru yang disebut "jurnalsime Kuda" mulai berkembang di tanah air, namun mudah-mudahan di Makassar, Sulawesi Selatan, tidak berkembang jurnalisme kuda tersebut. Sebab, jurnalisme kuda adalah jurnalisme yang beritanya disiarkan sesuai dengan keinginan penunggang kuda. Artinya berita tersebut diarahkan sesuai pesanan, kata Wakil Ketua Dewan Pers, Leo Batubara di Makassar, Rabu. Hal itu dikemukakan pada dialog Dewan Pers dengan Forum Komunikasi masyarakat pers daerah yang dihadiri seluruh pemimpin media cetak dan elektronik serta Ketua KPID dan Kominfo di Makassar. Pada area politik pilkada, jurnalisme kuda memiliki peluang berkembang dan itu sudah terjadi di beberapa daerah di tanah air. Ini tantangan bagi hati nurani wartawan, sebab media informasi seharusnya menyampaikan informasi berdasarkan fakta dan kebenaran sesuai standar jurnalistik dan bukan karena pesanan atau dikendalikan oleh pihak tertentu. Selain itu, sebagai media edukasi harus menyampaikan informasi yang mencerdaskan, ujarnya. Berdasarkan hal itu, Ketua komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers, Abdullah Alamudi mempertegas bahwa tidak ada tempat di jurnalistik terhadap berita bohong dan plagiat. Menyinggung perjuangan Dewan pers untuk melindungi kemerdekaan pers, Leo Batubara mengatakan, awal tahun 2009, Mahkamah Agung memberikan secercah sinar terang. Dia menguraikan, tanggal 30 Desember 2008, Pelaksana tugas Ketua MA yang sekarang adalah Ketua MA, Dr Harifin A Tumpa, SH, MH mengirim surat edaran ke seluruh ketua pengadilan tinggi dan ketua pengadilan negeri di tanah air. Surat edaran MA (Sema) itu berbunyi, sehubungan dengan banyaknya perkara-perkara yang diajukan ke pengadilan yang berhubungan dengan delik pers, maka untuk memperoleh gambaran obyektif tentang ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan undang-undang pers, maka hakim dapat meminta keterangan dari seorang ahli di bidang pers. Oleh karena itu, dalam penanganan/pemeriksaan perkara-perkara yang berkaitan dengan Delik Pers, hendaknya majelis mendengar/meminta keterangan saksi ahli dari Dewan Pers, karena merekalah yang lebih mengetahui seluk beluk pers tersebut secara teori dan praktek. Menurut Leo Batubara, KUHP dan UU Pers berbeda orientasi. UU Pers didisain mengakomodasi konsep "clean and good governance". Orientasinya melaksanakan fungsi kontrol pers dan mengungkap pejabat bermasalah dalam upaya membantu penyelenggara pemerintahan yang baik dan bersih. Sedangkan KUHP, meneruskan politik hukum kolonial Belanda dan berorientasi lebih melindungi aparat penjajah dari keluhan dan kritik rakyat terjajah. Karena keluhan dan kritik rakyat terjajah dinilai menghina dan mencemarkan nama baik penguasa, hukumannya adalah penjara, sehingga kriminalisasi pers akan melumpuhkan fungsi kontrol pers adalah juga sesuai keinginan penguasa. Jadi, surat edaran MA tersebut, katanya, dapat menjadi sinar terang dalam upaya pengefektifan kontrol pers.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009