Kita perlu mengambil peran utama dalam menata arsitektur kerja sama kawasan yang lebih efisien dan efektif"
Nusa Dua, Bali (ANTARA News) - Berbeda dari kunjungan pertamanya ke Indonesia November 2010 lalu, pada lawatan keduanya, Presiden Amerika Serikat Barack Obama memuntahkan dulu retorika-retorika agak keras sebelum mendarat di Bandara Ngurah Rai, Bali.  Sasarannya adalah China.

Didahului Menteri Luar Negeri Hillary Clinton yang mengatakan Asia Pasifik membutuhkan kepemimpinan Amerika Serikat, Obama melanjutkan provokasi AS ini dengan menempatkan 2.500 marinir di Darwin, Australia, mulai pertengahan 2012.

Sejumlah kalangan menyebut suara keras Clinton dan Obama ini mencerminkan keputusaaan AS atas manuver China di matra lain, terutama keengganan menyerahkan Yuan ke mekanisme pasar dan perlindungan terhadap produk-produk inovatif AS.

"Kemajuan ekonomi China mesti dibarengi dengan peningkatan tanggung jawab mereka," kata Obama.

Saling sindir berlanjut di KTT ASEAN dan para mitranya kemarin Jumat, kendati disampaikan di forum berbeda. Isunya adalah perdagangan, tema yang paling diminati ASEAN.

Kata Clinton pada KTT Bisnis dan Investasi, "Tak ada keadilan dalam perdagangan bebas akan melemahkan pembangunan ekonomi," Wen Jiabao menjawab, "Saya mengusulkan kita mengambil beberapa langkah, salah satunya liberalisasi perdagangan di kawasan."

Jiabao seolah menegaskan bahwa China siap menciptakan permainan perdagangan adil seperti disindir Clinton.

Di luar soal perdagangan bebas, perang kritik terus terlontar, terutama dalam soal Laut China Selatan. Ini menjadi tumpahan kerisauan AS kepada China, apalagi jalur itu disengketakan oleh banyak negara.

China, Taiwan dan empat negara ASEAN mengklaim wilayah-wilayah di Laut China Selatan. Mereka berbalas ancam dan gertak. Akhirnya mereka saling menimbun arsenal perang.

"Kekuatan-kekuatan laut dan udara terus diperkuat di tengah bergeraknya keseimbangan strategis ekonomi," tulis Rory Medcalf dan Raoul Heinrichs dalam analisisnya untuk Lowy Institute.

Sekilas, China seperti kekuatan yang mencari `lahan baru` setelah ekonominya tak henti berekspansi. Ujungnya, ambisi teritorial muncul, sasarannya "wilayah-wilayah tak bertuan".

Pakar geopolitik klasik Karl Haushofer menyebut ambisi teritorial ini dengan "lebensraum". Dan sasaran "lebensraum" China diantaranya adalah Laut China Selatan yang kaya ikan dan energi.

Di tingkat lain, karena kepentingan ekonominya sudah mendunia, China membutuhkan "kekuatan penekan" lain, setidaknya untuk menunjukkan bahwa negeri ini "bisa melakukan apa saja" untuk melindungi kepentingannya, termasuk di Laut China Selatan.

Profil pertahanan China pun dibangun sekuat mungkin, termasuk memodernisasi sistem persenjataan strategisnya. Terbangnya pesawat siluman pertama China dan berlayarnya kapal induk pertama negeri itu tahun ini adalah contoh-contohnya.

Siklus perlombaan senjata pun tercipta di seluruh kawasan (termasuk Asia Timur). Negara-negara di Asia berlomba berbelanja senjata dalam skala besar-besaran, tak terkecuali ASEAN.

Anggaran militer China yang kini kedua terbesar di dunia setelah Amerika Serikat --sekitar 160 miliar dolar AS-- membuat ciut siapa pun, apalagi ASEAN yang anggaran pertahanannya hanya seperenam China, sekitar 29 miliar dolar AS.

China senantiasa tampil low profile di permukaan, tapi postur kekuatannya yang amat besar membuat ngeri tetangga-tetangganya di ASEAN. Tetapi hanya Filipina yang berani "berterus terang" dalam soal ancaman China ini.

Dalam soal Laut China Selatan misalnya, Filipina ingin sengketa diselesaikan dalam konteks hubungan ASEAN - China. Sebalinya, China ingin menuntaskannya lewat konteks bilateral.

ASEAN berusaha pragmatis dan mencari jalan tengah lewat menginisiatifi deklarasi berprilaku yang nanti dilanjutkan tata berprilaku di Laut China Selatan.

Filipina tak puas, AS pun diliriknya. Gayung bersambut, AS memperkuat Filipina, kapal perang kedua dikirimkan AS untuk memperkuat angkatan perang Filipina yang termasuk lemah di Asia Tenggara.

"Ketika tekanan berubah menjadi paksaan maka kita mesti memastikan ada yang berada di belakang kita," kata Menteri Pertahanan Voltaire Gazmin setengah menyindir ASEAN.

Ketidakpuasan Filipina terlihat pada KTT Ke-19 ASEAN di Nusa Dua, Bali.  Presiden Benigno Aquino III tak menghadiri pembukaan KTT, padahal bagi ASEAN, kehadiran di awal KTT itu penting karena memberi pesan bahwa ASEAN kompak.

Filipina juga menjadi negara di ASEAN yang paling antusias menyambut langkah Obama menempatkan marinir AS di Darwin.

"Kami di ASEAN sering berbeda pandangan tapi itu tidak berarti ASEAN pecah," kilah Menteri Komunikasi Filipina Ricky Carandang pada KTT ke-19 ASEAN.

ASEAN sendiri jenuh dengan pendekatan konfrontatif dan lebih suka berdialog kendati itu akan menyita waktu lebih lama. ASEAN tak tertarik baik ke pusaran China maupun AS.

Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengakui ASEAN harus "pragmatis", tapi itu demi kebaikan ASEAN sendiri.

Tapi kawasan ini tak bisa naif mengabaikan keterlibatan negara di luar kawasan seperti AS, mengingat Laut China Selatan adalah jalur pelayaran internasional di mana bukan hanya penting untuk lalu lintas sipil dan komersial, namun untuk mobilitas armada militer, termasuk Armada Pasifik AS dan armada China yang kadang membantu misi-misi kemanusiaan.

Ini juga menyangkut komitmen AS kepada sekutu-sekutunya seperti Taiwan, Australia, Filipina, dan bahkan sejumlah negara ASEAN lain yang lebih melihat China sebagai ancamanya ketimbang AS.

Lebih dari itu deinternasionalisasi Laut China Selatan adalah pesan yang membahayakan bagi kawasan, bahkan dunia, karena dengan begitu tak ada lagi kekuatan penyeimbang di situ. Itu juga berarti hadirnya satu kekuatan dominan yang mungkin mendikte kawasan.

Memang, retorika keras Obama dan Aquino erat kaitannya dengan persoalan domestik AS dan Filipina. Obama disebut sedang mengalihkan diri dari tekanan defisit perdagangan AS, sedangkan Aquino sedang menepis kesan pemimpin lemah di dalam negeri. Tapi, memberi sedikit tekanan terhadap kekuatan yang cenderung agresif --beberapa kali aksi China melakukan manuver-manuver provokatif di Laut China Selatan terhadap negara-negara Asia Tenggara-- itu ada baiknya.

Konsesi dan tekanan adalah wajar dalam diplomasi, sejauh konsesi itu tak terlalu banyak dan tekanan itu tak memojokkan kekuatan raksasa. Itu semua demi kepemimpinan ASEAN di kawasan.

Ketua ASEAN Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri berkata, "Kita perlu mengambil peran utama dalam menata arsitektur kerja sama kawasan yang lebih efisien dan efektif." (*)

Oleh Jafar M. Sidik
Editor: Copywriter
Copyright © ANTARA 2011