Purbalingga (ANTARA News) - Di kejauhan, suara gending Pambuka dan Lenggang Kangkung  terdengar mengalun dari dalam Pendopo Dipokusumo Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, Senin pagi.

Siapa pun yang mendengar dari kejauhan tidak akan menyangka jika yang memainkan alat musik gamelan tersebut merupakan para pelajar dari Bukit Panjang Government Junior High School (BPGJHS) Singapura.

Meskipun tanpa adanya gong, keluwesan dan kelincahan dalam memainkan alat musik gamelan terpancar pada diri siswa-siswi BPGJHS Singapura yang setara dengan pelajar sekolah menengah pertama (SMP) di Indonesia.

Kemahiran dalam seni karawitan (memainkan gamelan, red.) yang mereka pamerkan di hadapan para pejabat Pemerintah Kabupaten Purbalingga dan siswa SMP Negeri 1 Purbalingga ini sebagai bukti dari keberhasilan pelaksanaan "twinning programme" atau sekolah kembar yang dijalin BPGJHS Singapura dan SMPN 1 Purbalingga.

Salah seorang pelajar BPGHS Singapura, Nurul Farhani mengaku senang bisa mempelajari seni budaya Indonesia termasuk kesenian asli Banyumasan seperti lengger.

"Hanya saja, seni lengger belum banyak dipelajari di sekolah. Kalau gamelan, kami sangat suka, kami rutin mempelajarinya," katanya.

Pelajar lainnya, Nurul Syahira mengaku tidak hanya mempelajari seni karawitan tetapi juga membatik.

"Saya pernah membuat membatik dan sungguh memuaskan meskipun agak sulit," katanya.

Dia juga mengaku kagum terhadap masyarakat Purbalingga yang ramah dan sangat mendalami budaya tradisional.

"Bukan seperti di Singapura yang masyarakatnya sangat modern dan sibuk dan kita semua terlalu sibuk dengan aktivitas harian sehingga terlupa asal-usul kita," katanya.

Terkait hal itu, dia mengatakan, ingin tinggal lebih lama di Purbalingga dan suatu saat akan kembali datang ke kota ini.

Hal yang sama juga dikatakan Muhammad Ryan. Dia mengaku senang terhadap calung karena kesenian ini juga dipelajari di sekolahnya.

"Saya merasa senang berada di sini, orang-orangnya baik. Saya juga senang batik, pernah beli saat melawat ke Solo," katanya.

Kedatangan para pelajar BPGHS Singapura ini merupakan kunjungan balasan di SMPN 1 Purbalingga dalam rangka pelaksanaan program sekolah kembar (twinning programme) yang telah dirintis sejak tahun 2008.

"Lawatan ini merupakan yang kedua kalinya dalam rangka `twinning programme` atau `sister school` antara Bukit Panjang High School dengan SMPN 1 Purbalingga. Program ini telah dilaksanakan sejak tahun 2008," kata Ketua Delegasi BPGHS Singapura Sazali Sahri.

Ia mengatakan, kegiatan ini tidak hanya sekadar pertukaran siswa tetapi juga para guru pembimbing kedua sekolah.

Oleh karena itu, kata dia, BPGHS Singapura menyambut baik program ini karena SMPN 1 Purbalingga merupakan sekolah yang sedang dalam Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI)

"Jadi dengan pertukaran ini, kami banyak bertukar bukan hanya budaya seperti ini, tetapi kami bertukar pedagogik pengajaran dalam kelas. Contohnya, Pak Agus (Kepala Sekolah SMPN 1 Purbalingga, red.) mengantar guru Matematika, Biologi, dan Bahasa Inggris-nya ke Bukit Panjang Junior High School untuk memelajari kurikulum, meningkatkan taraf optimal pendidikan, dan saya pula mengantar guru-guru saya kemari untuk belajar tentang budaya seperti karawitan atau gamelan," katanya.

Terkait seni karawitan, dia mengatakan, BPGJHS Singapura telah memiliki perangkat gamelan slendro yang dibeli dari Solo sehingga para siswa sekolah ini mampu memainkan alat musik tersebut atas bimbingan guru-guru yang telah belajar di Purbalingga.

BPGHS Singapura juga telah memiliki alat musik calung Banyumasan yang merupakan pemberian dari SMPN 1 Purbalingga serta memelajari seni membatik.

Selain itu seni, lanjutnya, siswa BPGHS Singapura pun memelajari sejumlah kesenian dari Melayu karena leluhur mereka banyak yang berasal dari Malaysia dan Indonesia.

"Mereka perlu tahu kesenian dan budaya mereka, sekaligus mengetahui leluhur kita sendiri. Kebetulan leluhur saya sendiri juga dari Indonesia, tepatnya dari Pacitan," katanya.

Lebih lanjut mengenai BPGHS Singapura, Sazali mengatakan, sekolah ini didirikan oleh orang-orang China pada tahun 1960 saat Singapura masih dikuasai Malaysia.

Sementara itu, Kepala Sekolah SMPN 1 Purbalingga Agus Triyono mengatakan, pihaknya sengaja memilih Singapura karena di negara tersebut terdapat sekolah yang khusus untuk olahraga, budaya, sains, dan sebagainya.

"Kita ambil sekolah yang khusus untuk budaya dulu karena ini merupakan jembatan untuk menuju dunia internasional. Kalau di sekolah sains, anak-anak saya mungkin belum bisa bersaing, tapi kalau budaya itu universal, sehingga kita percaya diri dulu dan jika anak-anak telah percaya diri, nanti akan ditambah secara bertahap," katanya.

Oleh karena itu, kata dia, SMPN 1 Purbalingga memilih BPGHS Singapura sebagai pasangan dalam melaksanakan program sekolah kembar atau "twinning programme" sejak tahun 2008.

"Siswa BPGHS Singapura datang ke sini setiap tiga tahun sekali karena biayanya besar dan ditanggung tuan rumah. Kalau anak saya datang ke Singapura, biayanya ditanggung sana dan sebaliknya," kata dia menjelaskan.

Menurut dia, program sekolah kembar ini sengaja dirintis sebagai upaya SMPN 1 Purbalingga menuju Sekolah Bertaraf Internasional (SBI).

"Tahun depan, Insya Allah SMPN 1 Purbalingga masuk ke SBI (saat ini masih rintisan sekolah bertaraf internasional, red.). Kita akan tingkatkan lagi, terutama kurikulumnya," katanya
(KR-SMT)

Oleh Sumarwoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011