Meski para tokoh agama telah mengingatkan pada warga agar tidak melakukan tindakan "musyrik" (ada kekuatan lain selain Allah SWT) atau percaya pada sesuatu benda
Pekalongan, Jateng (ANTARA) - Ada banyak cara masyarakat merayakan tradisi Syawalan yang biasa dilakukan sepekan usai Idul Fitri. Seperti halnya bagi warga Kelurahan Krapyak, Kota Pekalongan dan daerah sekitarnya yang mengisi tradisi Syawalan dengan memotong lopis raksasa untuk "Ngalap Berkah" (mencari berkah), termasuk pada Lebaran 2022.

Bagi masyarakat Kota Pekalongan, Jawa Tengah dan daerah sekitarnya, pemotongan lopis berukuran besar itu selalu dirindukan karena warga menganggap tradisi budaya yang sudah turun menurun itu dipercaya akan membawa keberkahan bagi mereka yang mendapat sepotong lopis itu.

Tradisi budaya pemotongan lopis raksasa yang diselenggarakan setiap tahunnya atau tepatnya sepekan usai Idul Fitri di Kelurahan Krapyak ini selalu menjadi magnet utama dalam tradisi peringatan Syawalan di Kota Pekalongan.

Bahkan, ribuan masyarakat Kota Pekalongan maupun daerah lain sejak mulai pagi hari telah memadati lokasi prosesi pemotongan lopis raksasa.

Ribuan orang rela menunggu, bahkan berjubel mendekatkan diri ke lokasi pemotongan lopis raksasa untuk sekadar mendapatkan sepotong lopis secara gratis. Pengunjung merasa khawatir tidak kebagian mendapatkan lopis itu meski panitia telah menyediakan tempat khusus.

Masyarakat menganggap dengan mendapatkan sepotong lopis akan membawa keselamatan, keberkahan, mudah mendapatkan jodoh, dan mudah jalan rezeki meski para tokoh agama telah mengingatkan pada warga agar tidak melakukan tindakan "musyrik" (ada kekuatan lain selain Allah SWT) atau percaya pada sesuatu benda.

Tradisi pemotongan lopis raksasa ini sempat dihentikan pada tahun 2020 dan 2021 karena Indonesia masih terjadi pandemi COVID-19 sehingga pada perayaan tahun ini, masyarakat sangat antusias menghadiri tradisi tersebut setelah Pemerintah Kota Pekalongan memberikan izin diselenggarakannya tradisi Syawalan.

Untuk menghormati pengunjung dari luar daerah lain, warga Gang 1 maupun Gang 8, Kelurahan Krapyak yang berlokasi berdekatan dengan tempat pemotongan lopis juga menyajikan minuman teh maupun air putih serta jajanan seperti lotekan dan kue yang diberikan secara gratis pada mereka yang singgah di rumah warga setempat.

Ukuran lopis

Pembuatan lopis raksasa ini dilaksanakan di Musala Darun Na'im Kelurahan Krapyak yang berlokasi tidak jauh dengan Kampung Batik Krapyak, Kota Pekalongan.

Pada perayaan tradisi Syawalan 1443 Hijriah, ada dua lopis raksasa yang disediakan yaitu di Kelurahan Krapyak Gang 1 dengan ukuran berat 2.300 kilogram, tinggi 160 centimeter, dan diameter 320 centimeter.

Adapun ukuran lopis raksasa yang dibuat warga di Kelurahan Krapyak Gang 8 dengan berat 1.820 kilogram, tinggi 222 centimeter, dan 250 centimeter.

Dalam pengemasannya, lopis raksasa itu dibungkus dengan daun pisang, diikat dengan tambang, dan kemudian direbus selama empat hari tiga malam sehingga membuat butiran ketan itu merekat kuat dan tidak tercerai berai.

Sementara itu, pemilihan daun pisang sebagai pembungkus juga ada maknanya yaitu sebagai simbol perjuangan karena sifat pohon pisang adalah tak mau mati sebelum berbuah dan beranak yang banyak.

Dengan kata lain, pohon pisang tidak mau mati sebelum berjasa dan meninggalkan generasi penerus sebagai penyambung estafet perjuangan.

Proses pembuatan lopis raksasa membutuhkan waktu selama empat hari tiga malam. Dalam proses itu dibutuhkan anggaran puluhan juta yang dananya berasal dari bantuan Pemerintah Kota Pekalongan dan swadaya masyarakat setempat.

Besar dan kecilnya anggaran akan menyesuaikan dengan ukuran lopis yang akan dibuat. Selain itu, pembuatan lopis juga dibutuhkan kejelian yang tinggi agar makanan itu terasa lezat.

Proses memasak lopis raksasa yang paling sulit adalah mengontrol api agar tetap stabil. Api tidak boleh terlalu besar dan tidak terlalu kecil karena jika tidak begitu maka uap air yang dihasilkan akan surut sehingga proses penguapan dan ukurannya tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Masyarakat pun lantas berebut untuk mendapatkan lopis yang konon mampu mendatangkan berkah atau keberuntungan bagi orang yang mendapat makanan itu.

Lopis sendiri merupakan makanan asli warga Kelurahan Krapyak yang bahan bakunya adalah beras ketan dan parutan kelapa ini memiliki daya rekat yang kuat apabila dimasak dengan benar.

Filosofi lopis

Seperti dilansir dari Pekalongankota.go.id bahwa tradisi lopis raksasa telah berlangsung selama lebih dari satu abad tepatnya pada tahun 1855 Masehi. Orang pertama yang menggelar tradisi ini adalah KH. Abdullah Sirodj yang merupakan keturunan dari Kyai Bahu Rekso.

Pada awalnya, tradisi ini diadakan guna melakukan hari raya kembali pada tanggal 8 Syawal setelah mereka menjalankan puasa 6 hari di bulan Syawal. Selama menjalankan puasa enam hari itu, warga di Krapyak tidak menerima kunjungan tamu pada tanggal 2-7 Syawal.

Para tamu atau warga dari daerah lain kemudian diperkenankan berbondong-bondong datang ke Krapyak pada tanggal 8 Syawal untuk bersama ikut merayakan tradisi lopis raksasa ini.

Makanan lopis mengandung suatu nilai filosofis tentang persatuan dan kesatuan seperti tertuang dalam sila ketiga Pancasila yaitu Persatuan Indonesia.

Wali Kota Pekalongan Afzan Arslan Djunaid mendorong pada warga Kelurahan Krapyak agar kegiatan pemotongan lopis raksasa ini perlu dijaga dan dipelihara bersama sebagai tradisi dan budaya turun temurun yang dimaksudkan untuk mempererat tali silahturahmi antara masyarakat Krapyak dan dengan warga daerah sekitarnya karena sifat lopis adalah lengket.

"Alhamdulillah pada hari ini ada tradisi Syawalan berupa festival lopis raksasa di Kelurahan Krapyak dapat berjalan dengan lancar. Mudah-mudahan kita semua bisa memelihara tradisi asli dari Kota Pekalongan ini," katanya.

Dalam pengemasannya, lopis raksasa itu dibungkus dengan daun pisang, diikat dengan tambang, dan kemudian direbus selama empat hari tiga malam, sehingga membuat butiran ketan itu merekat kuat dan tidak tercerai berai.

Sementara itu pemilihan daun pisang sebagai pembungkus juga ada maknanya. Ia dinilai sebagai simbol perjuangan karena tak mau mati sebelum berbuah dan beranak yang banyak. Dengan kata lain, dia tak mau mati sebelum berjasa dan meninggalkan generasi penerus sebagai penyambung estafet perjuangan.

Proses pembuatan lopis raksasa membutuhkan waktu selama empat hari tiga malam. Dalam proses itu dibutuhkan anggaran paling tidak sebanyak Rp. 30 juta yang dananya berasal dari Pemerintah Kota sebanyak Rp 24 Juta dan sisanya menjadi swadaya warga. Selain itu dalam pembuatannya, dibutuhkan kejelian yang tinggi.

Sebelum lopis dijadikan rebutan warga, tokoh agama ataupun sesepuh masyarakat terlebih dahulu akan membacakan do’a bersama. Setelah itu baru lopis tersebut dipotong oleh Wali Kota Pekalongan dan kemudian dibagikan kepada para pengunjung yang hadir di lokasi itu.

Dengan hadirnya pengunjung yang memadati lokasi pemotongan lopis raksasa, tidak sedikit orang berdesakan-desakan bahkan sampai jatuh hingga makanan itu tumpah ke tanah.

Para pengunjung biasanya berebut untuk mendapatkan lopis tersebut guna memperoleh berkah.

Baca juga: Ribuan warga berebut lopis raksasa di Pekalongan

Baca juga: Pemkot Pekalongan minta tradisi Syawalan untuk mempererat silaturahmi

Baca juga: Pemkab Pekalongan siap gelar tradisi Gunungan Megono

Baca juga: Pemkot Pekalongan ingatkan warga patuhi prokes saat rayakan Syawalan

Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2022