Sebaliknya sang Godfather kesulitan membumikan filosofi ini di Old Trafford. Tak ada gegenpressing di United.
Jakarta (ANTARA) - Sport Illustrated, The Guardian, dan media lainnya menyebutkan masalah yang dihadapi Manchester United sudah sedemikian akut. Persoalannya bukan lagi soal taktik, pemain atau pelatih, melainkan sudah sangat struktural.

Atraksi mereka di lapangan yang bukan hanya tidak konsisten tetapi buruk itu disebut banyak kalangan sebagai gambaran dari retaknya hubungan di luar lapangan atau tidak sehatnya persaingan di dalam tim.

Alhasil, mereka sering memperoleh hasil di luar perkiraan, termasuk saat terkapar bagai ikan menggelepar di daratan tatkala dihajar 0-4 oleh Brighton pada 7 Mei.

Bukan skor besar yang paling menyesakkan dada penggemar Man United, melainkan cara tim kesayangan mereka bermain.

Pemain-pemain Man United terlalu sering cuma jalan-jalan di lapangan sampai manajer mereka, Ralf Rangnick, berulang kali menyatakan skuadnya kehilangan agresi dan tak mau menekan lawan.

Rangnick dijuluki "Godfather-nya gegenpressing” di mana Juergen Klopp, Thomas Tuchel, dan Ralph Hasenhuttl adalah "murid-muridnya" yang malah menerapkan filosofi sepakbola menyerang ini di Liverpool, Chelsea dan Southampton.

Sebaliknya sang Godfather kesulitan membumikan filosofi ini di Old Trafford. Tak ada gegenpressing di United.

Dan fakta ini dikuatkan oleh statistik menyerang Liga Premier yang disebut PPDA (Passes allowed Per Defensive Action). Ternyata PPDA Setan Merah menempati urutan kelima belas dari 20 tim Liga Premier. United membiarkan lawannya rata-rata melepaskan 14,4 umpan sebelum mereka mengintervensi bola.

Sudah pasti Rangnick gerah dan kesal. Dan ini tak bisa disembunyikan lagi oleh pelatih yang menjadi "dokter" di balik revolusi yang mengubah Hoffenheim dan RB Leipzig itu.

Sudah menjadi rahasia umum, kata manajer Southampton Ralph Hasenhuttl, manakala United kehilangan bola, pemain-pemain mereka tak serta merta serentak mengepung lawan untuk mengganggu dan mendapatkan kembali bola.

Rangnick sendiri tahu soal ini. Buktinya terlihat pada saat melawan Brighton itu. Pelatih asal Jerman ini terlihat berada di pinggir lapangan guna menginstruksikan pemain-pemainnya agar terus menekan.

Tetapi kebanyakan pemainnya tak menggubris instruksi sang pelatih, sampai kemudian umpan jauh dari penjaga gawang Roberts Sanchez membuat Marc Cucurella membobol gawang mereka.

MU pun kalah dalam lima pertandingan tandang berturut-turut dengan hanya bisa mencetak dua gol dan kebobolan 16 kali.

Baca juga: MU dipermalukan empat gol tanpa balas oleh Brighton
Baca juga: Rangnick sebut Man Utd wajib datangkan dua striker modern



Selanjutnya: Menyalahi prinsip
 
Menyalahi prinsip

Mereka sudah lima kali kebobolan empat gol sepanjang musim ini. Catatan ini sama dengan juru kunci Norwich City.

Musim ini total mereka sudah kebobolan 56 gol yang merupakan angka kebobolan terbanyak klub ini sejak musim 1978-1979.

Musim ini juga menjadi musim terburuk United dalam sepuluh tahun terakhir karena mengumpulkan poin terendah sejak musim 1990-1991 ketika mereka finis urutan keempat namun berhasil merebut trofi Cup Winners’ Cup.

United cuma bisa mengumpulkan 58 poin dan tinggal menyisakan satu pertandingan lagi. Apa pun hasil melawan Crystal Palace dalam pertandingan terakhirnya 22 Mei nanti, peringkat United akan menjadi yang terburuk dalam kurun 30 tahun terakhir.

Posisi enam dalam klasemen pun belum aman karena West Ham United bisa menyalip mereka di tikungan terakhir. Jika itu terjadi maka United bisa absen berlaga di Eropa dalam kompetisi Liga Conference Europa.

Dan untuk kesekian kalinya, setelah diasuh David Moyes, Louis van Gaal, Jose Mourinho dan Ole Gunnar Solksjaer, United tak bisa menjuarai liga.

Brighton sukses di Liga Premier karena melakukan hal-hal yang tak dilakukan United. Kemenangan mereka atas Setan Merah akhir pekan lalu itu adalah berkat pembinaan yang tepat dan akal sehat setelah bertahun-tahun sia-sia berbelanja, selain karena salah urus.

Jika United bisa bermain lagi dengan intensitas seperti diperlihatkan Brighton dan memiliki tim di belakang layar sejeli tim Graham Potter, maka Setan Merah bisa memulihkan diri seperti masa kejayaannya.

United sudah terlalu lama menyimpang dari prinsip-prinsip yang sebelum ini membuat mereka mendominasi Liga Inggris.

Namun sepanjang sejarahnya, dari 18 kali mereka menjuarai Liga Inggris, hanya dua manajer yang mengantarkan Setan Merah menjuarai liga. Pertama, Matt Busby yang mempersembahkan lima gelar juara liga. Kedua, Alex Ferguson bersama 13 gelar juara liga.

Kedua pelatih ini dikenal sebagai diktator-diktator lapangan hijau yang hebat yang mengendalikan hampir semua aspek permainan United.

United sudah mencoba Moyes dan Solksjaer yang karakternya kebalikan dari Busby dan Ferguson.

Mereka juga sudah mencoba pelatih-pelatih keras kepala pada diri Louis van Gaal dan Jose Mourinho. Tapi kedua orang ini direkrut setelah absen lama melatih klub, bukan dicomot setelah tak lama berjaya bersama klub lain.

Kini mereka merekrut lagi orang keras kepala. Namanya, Erik ten Hag. Dia direkrut dengan CV yang lebih segar karena ditarik selagi aktif menjadi pelatih klub lain, Ajax Amsterdam.


Baca juga: Everton mentas dari zona merah, West Ham terus pepet Manchester United
Baca juga: Rangnick sebut Manchester United butuh perbaikan di berbagai sektor


Selanjutnya: Menyatukan tim
 
Menyatukan tim

Bukan hanya segar, ten Hag juga sudah dua kali mempersembahkan gelar juara Liga Belanda sejak menukangi Ajax pada 2017 dan di ambang menjuarai lagi Eredivisie musim ini. Dia juga membuat Ajax empat kali berturut-turut masuk Liga Champions

Dia juga pelatih Ajax pertama sejak 1997 yang mengantarkan raksasa Belanda itu ke semifinal Liga Champions pada 2018-2019 setelah menghempaskan penguasa Liga Champions, Real Madrid.

Mereka juga menggulingkan Juventus, sebelum menyerah kepada Tottenham Hotspur dalam final.

Dalam beberapa hal, selain bertipikal diktator perfeksionis seperti Busby dan Ferguson, Erik ten Hag juga seorang revolusioner.

Tak hanya Ajax yang dipolesnya, Utrecht yang semua klub gurem pun diubahnya menjadi tim yang disegani di Belanda.

Bagaimana ten Hag merevolusi Utrecht sampai finis urutan kelima dalam musim pertamanya menukangi tim ini dan urutan keempat pada musim 2016–2017sehingga merebut tempat Liga Europa, dilukiskan cermat oleh mantan bek Utrecht, Edson Braahfeid.

Braahfeid mengenang ten Hag sebagai pelatih keras kepala dan memiliki kewenangan luas dalam hampir semua aspek tapi justru dengan kondisi seperti ini dia berhasil mengubah Utrecht menjadi tim hebat.

Dia juga pelatih yang berusaha mengenal betul karakter pemain-pemainnya, tidak cuma keterampilan teknis, sehingga mereka yang masuk skuad memang layak masuk. Cara ini membuat kebijakan transfer pemain menjadi lebih efektif sehingga tak ada pemain baru yang tak bisa dimainkan.

Rangnick pernah secara tidak langsung mengkritik kebijakan MU dalam membeli pemain dengan menyatakan Setan Merah seharusnya membeli pemain yang memiliki DNA yang cocok dengan kebutuhan klub dan yang berani beradu fisik serta agresif.

Erik ten Hag memiliki kemampuan yang disebut Rangnick ini.

"Semua orang tahu bakat dan kualitas pemain-pemainnya, tapi menyelami dalam-dalam dengan melihat seperti apa pemain-pemain itu dan bagaimana memancing mereka mengeluarkan permainan terbaiknya adalah sungguh sulit. Tapi inilah yang dilakukan Ten Hag," kata Edson Braahfeid.

Dalam banyak hal, berdasarkan testimoni sejumlah kalangan mengenai siapa Erik ten Hag yang tak ragu menghardik pemain-pemainnya dari pinggir lapangan jika bermain tak seperti dia inginkan, ten Hag bisa menjadi Alex Ferguson berikutnya.

Dia bisa menjadi diktator baru di Old Trafford yang dapat menyatukan skuad baik di dalam lapangan maupun di ruang ganti pemain. Tetapi dia juga bisa senasib dengan manajer-manajer pasca Sir Alex. Jika yang terakhir ini yang terjadi, maka mungkin sudah waktunya bagi MU untuk mengganti pemilik.


Baca juga: Ralf Rangnick yakin Cristiano Ronaldo bakal bertahan di Man United
Baca juga: Erik ten Hag enggan komentari anjloknya Manchester United
Baca juga: MU inginkan evolusi dari Erik ten Hag, bukan revolusi

Copyright © ANTARA 2022