Tunis (ANTARA News/AFP) - Polisi melepaskan tembakan gas air mata ketika ribuan pendukung Islam menghadang para demonstran kelompok liberal di Tunis yang menentang ekstremisme saat para anggota parlemen menyusun satu konstitusi baru untuk Tunisia.

Kelompok Islam menyerang kami dengan batu-batu, polisi menembakkan gas air mata," kata Ines Ben Othman, wakil dari pengunjuk rasa Liberal kepada AFP.

Unjuk rasa itu terus berlangsung, kami tetap berdemonstrasi. Tetapi para penyerang memprovokasi kami dan menunggu di semua pojok jalan, tambahnya.

Juru bicara kementerian dalam negeri, Hichem Meddeb, mengonfirmasikan bahwa kelompok Islam itu "melemparkan batu-batu dan polisi membubarkan mereka. Situasi telah tenang kembali."

Dipisahkan oleh barikade-barikade dan polisi, kedua kelompok itu berteriak sambil menghina dekat Istana Bardo di mana para anggota parlemen sedang membahas konstitusi baru setelah satu pemilu yang dimenangkan oleh partai Islam Ennahda yang berhaluan moderat itu.

Kelompok Islam itu mengacung-acungkan bendera-bendera Ennahda dan juga bendera hitam dari kelompok garis keras Salafist Hizb Tahrir, yang tidak disahkan di negara Afrika utara itu.

Juru bicara Ennahda Noureddine Bhiri, yang partainya membantah berada dibelakang unjuk rasa kelompok Islam itu, berusaha menenangkan situasi sementara bala bantuan polisi dan kendaraan-kendaraan lapis baja dikerahkan ke lokasi itu untuk menutup jalan masuk ke istana itu.

Majelis konstituante itu juga mengeluarkan satu pernyataan yang menyerukan masyarakat tenang saat pihaknya membahas masa depan negara dan menetapkan langkah bagi "Arab Spring", setahun setelah lahirnya revolusi yang mengguligkan pemerintah.

"Tunisia akan melewati satu tahap paling penting di mana prioritas adalah membangun satu pemerintah yang demokratis dan sistem ekonomi yang adil. Dan ini membutuhkan kita menahan diri untuk tidak melakukan tindakan yang dapat menimbulkan ketegangan dan ketidakstabilan," kata pernyataan itu.

Ratusan mahasiswa, guru, para pekerja tambang yang menganggur dan para pemrotes lainnya Rabu mulai berkumpul dekat Istana Bardo dengan berbagai tuntutan.

Protes itu untuk menanggapi unjuk-unjuk rasa di satu universitas luar ibu kota itu, di mana kelompok Islam menuntut dihentikan kelas campuran pria dan wanita dan mahasiswi harus mengenakan tutup kepala atau jilbab.

Ennahda menguasai parlemen yang memiliki 217 kursi yang dipilih untuk pertama kalinya di negara itu pada 23 Oktober.

Pemimpin Tunis yang lama berkuasa Zine el Abidine Ben Ali dan rezim sekulernya yang kuat digulingkan dalam satu pemberontakan rakyat Januari lalu dan negara itu belum memiliki pemerintah, sementara situasi ekonomi memburuk.

Gubernur Bank Sentral Mustapha Kamel Nabli yang dikutip kantor berita TAP, Sabtu mengatakan pertumbuhan ekonomi tahun ini berada dalam titik nol sementara pengangguran akan meningkat menjadi 18 persen.

Sektor vital pariwisata sangat terpukul akibat revolusi itu, dengan para pengunjung asing lebih suka pergi ke tempat-tempat lain, sementara produksi industri fosfat menurun akibat serangkaian pemogokan.

Selain itu, sekira 100.000 warga Tunisia yang bekerja d Libya pulang selama pemberontakan yang telah menggulingkan pemimpin Libya Muamar Gaddafi dan kini tanpa pekerjaan.

Bank Sentral, Jumat menuntut kebebasannya dijamin dalam konstitusi baru, sementaaa satu rancangan undang-undang akan menempatkannya berada di bawah pengawasan pemerintah.

Ennahda, yang meraih 89 kursi di majelis konstituante, dituduh oleh berbagai kelompok , termasuk yang kemungkinan menjadi mitra-mitra koalisinya berusaha memusatkan seluruh kekuasaan di tangan perdana menteri baru, orang nomor dua partai itu Hamadi Jebali.

Majelis itu menurut rencana akan memutuskan dalam beberapa hari mengenai perjanjian pembagian kekuasaan yang menetapkan Moncef Marzouki yang berhaluan kiri menjadi presiden mendatang negara itu. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2011