Surabaya (ANTARA News) - Komunitas pengguna narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (Napza) se-Jawa menemukan 139 kasus kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan aparat penegak hukum terhadap pengguna Napza yang berperkara.

"Hal itu merupakan hasil pemantauan yang dilakukan Jaringan Pemantau Pelanggaran HAM terhadap Pengguna Napza pada 2007-2011 di empat kota yakni Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya," kata koordinator `East Java Action` (EJA), Rudhy Wedhasmara, di Surabaya, Sabtu.

Dengan semangat membangun kerja sama dan kemitraan, maka pada peringatan hari HAM 10 Desember 2011, Jaringan Pemantau 4 Kota mendesak pemerintah mengambil langkah-langkah untuk mencegah pelanggaran HAM oleh polisi, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan.

"Pemerintah harus memastikan bahwa perlakuan dan hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan, termasuk yang ditujukan kepada para pengguna Napza, harus dilarang secara eksplisit dalam aturan dan kebijakan serta praktik-praktik penegakan hukum," katanya.

Menurut dia, penyiksaan harus didefinisikan dan dikriminalisasi sebagai tanda konkret untuk komitmen Indonesia dalam menerapkan Pasal 1 dan 4 Konvensi Anti-Penyiksaan yang sudah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang hal yang sama.

"Langkah lainnya adalah mengubah kebijakan untuk memandang pengguna napza sebagai korban, bukan pelaku, sehingga proses hukum yang berlaku harus mengarah pada rehabilitasi sebagai dan bukan justru pemenjaraan, karena hukuman justru terbukti meningkatkan pengguna Napza," katanya.

Selain itu, perlu pula upaya-upaya untuk penyadaran masyarakat secara lebih luas terhadap posisi pengguna Napza dan melakukan pengawalan terhadap kebijakan Napza di Indonesia.

Langkah lainnya, peradilan pidana terhadap para pengguna Napza hendaknya bersifat non-diskriminatif dan pemerintah hendaknya melakukan pemberantasan korupsi dan pemerasan oleh pejabat publik yang bertanggung jawab dalam kepentingan administrasi peradilan (polisi, jaksa, hakim, LP).

"Tahanan kasus Napza harus dijamin hak-haknya sebagai subjek hukum untuk menolak penahanan yang tidak sah di hadapan pengadilan atau menggunakan mekanisme pra-peradilan, sehingga pengakuan yang dibuat oleh tahanan kasus napza tanpa kehadiran pengacara harus dibatalkan," katanya.

Ia menambahkan pihaknya juga mendesak Komisi Nasional HAM, Komisi Nasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), dan Ombudsman RI untuk menginisiasi Mekanisme Pencegahan Nasional (MPN) yang independen guna menjalankan kunjungan ke tempat penahanan, khususnya tahanan dalam kasus Napza.

"Itu merupakan salah satu kewajiban dari Pelaksanaan Protokol Opsional Konvensi Anti-Penyiksaan," katanya dalam pernyataan sikap yang juga diteken oleh Forum Korban NAPZA (FORKON) Jakarta, PERFORMA Semarang, dan PANAZABA Bandung itu. (ANT)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011