Jakarta, (ANTARA News) - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menilai, keinginan Departemen Kehutanan mempercepat rencana pengaktifan kembali delapan Hak Pemanfaatan Hutan (HPH) dan HPH-TI (Tanaman Industri) di Aceh telah menyebabkan keresahan di tingkat masyarakat, terutama di kawasan hulu dan hilir lokasi tersebut. Direktur Eksekutif Walhi Aceh Cut Hindon, ijin tersebut akan menghancurkan hutan, menyebabkan longsor dan banjir yang sejak 2000-Desember 2005 telah mencapai 1.029 kali dan sebagian besar berada di dalam dan sekitar hulu dan hilir HPH dan HPH-TI serta menyebabkan bencana ekologis yang berkepanjangan di Aceh. Hasil analisis dokumen dan investigasi lapangan yang dilakukan Walhi Aceh terhadap kinerja delapan HPH dan empat HPH-TI, ternyata terbukti telah menimbulkan kerusakan ekologis yang sangat parah atau kritis di beberapa kabupaten. Fakta Walhi itu menyebutkan, praktek pembalakan liar dari Januari hingga Desember 2005 tercatat sekitar 33.249,25 meter kubik yang ditangkap oleh pihak kepolisian selama Operasi Hutan Lestari, di mana itu terjadi hampir diseluruh wilayah Kabupaten di provinsi NAD. Walhi Aceh mendesak agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Departemen Kehutanan melalui Menteri Kehutanan sampai kepada Dinas Kehutanan Provinsi NAD untuk menghentikan upaya-upaya pemberian izin bagi HPH, HPH-TI dan HGU yang dinilai telah bobrok dan tidak bertanggungjawab di Aceh "Juga agar dilakukan proses pengusutan tuntas atas praktek-praktek ilegal logging yang masih berlangsung di Aceh. Presiden hendaknya memerintahkan Kapolri serta Panglima TNI untuk menindak jajarannya yang terlibat ilegal logging dan menjamin mengamankan semua hasil kayu sitaan dan temuan di Aceh untuk kebutuhan rehabilitasi dan rekontruksi," katanya. Dia juga mengatakan, Walhi mendesak semua pihak terkait untuk mengeluarkan sebuah surat keputusan kebijakan politik pemerintah tentang penyelamatan hutan Aceh secara tertulis dan menghentikan segala upaya ekspolitasi hutan Aceh karena rakyat sudah jenuh dengan pernyataan politik pemerintah yang tidak bisa di pegang atau dipertanggungjawabkan.(*)

Copyright © ANTARA 2006