Washington (ANTARA News) - Kematian orang kuat Korea Utara Kim Jong-il mencuatkan pertanyaan sulit tidak hanya kebijakan, tapi protokol, dengan negara besar terpecah tentang "keharusan" dan cara menyampaikan belasungkawa.

Amerika Serikat dan negara Barat lain sengaja menghindari kata "belasungkawa" dan menggantinya dengan pernyataan kepada "rakyat Korea Utara" setelah kematian penguasa itu, yang dipersalahkan atas kematian ribuan orang.

Tapi, sekutu Amerika Serikat -Korea Selatan dan Jepang, yang memiliki hubungan tegang dengan Utara dan langsung di garis bidik negara bersenjata nuklir itu- menyampaikan belasungkawa melalui pernyataan resmi.

Korea Selatan, yang masih secara teknis berperang dengan Utara, juga menyatakan membolehkan kelompok swasta menyampaikan belasungkawa dalam upaya menjaga ketenangan, meskipun ada kekhawatiran mendalam atas penerus muda Kim Jong-un.

China, sekutu utama Korea Utara, dengan cepat menunjukkan kesedihan dan Presiden Hu Jintao memberi hormat di kedutaan Pyongyang di Beijing.

Negara lain mengatakan mengirimkan pesan belasungkawa resmi termasuk Rusia, Iran, dan India.

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton, dalam pernyataan setelah seharian memantau, mendesak pemimpin baru Korea Utara menempuh "jalan damai", namun tetap berpusat pada rakyat negara itu dan bukan pemimpinnya.

"Kami sangat prihatin pada kesejahteraan rakyat Korea Utara dan pikiran dan doa kami bersama mereka pada masa sulit ini," kata Hillary.

Saat menjelaskan pernyataan itu, juru bicara Departemen Luar Negeri Victoria Nuland menyatakan itu "tanda keinginan dan harapan pada pemimpin baru tersebut".

Keputusan itu muncul saat pesaing dari partai Republiken mencoba menggambarkan permakluman Presiden Barack Obama terhadap musuh Amerika Serikat.

Ada preseden sejarah bagi perkara itu. Ketika Kim Il-sung -ayah Kim Jong-il dan pendiri bangsa tersebut- meninggal pada 1994, presiden Bill Clinton menyampaikan "belasungkawa tulus kepada rakyat Korea Utara atas nama rakyat Amerika Serikat".

Clinton, yang berbicara kepada wartawan dalam kunjungan ke Italia, juga menyuarakan "penghargaan mendalam" bagi Kim Il-Sung untuk dukungannya atas pembicaraan dengan Amerika Serikat.

Namun, Senator Republiken Bob Dole, yang gagal saat menantang Clinton untuk jabatan Gedung Putih dua tahun kemudian, menuduh presiden dari Partai Demokrat itu melupakan lebih dari 35.000 orang Amerika Serikat, yang tewas dalam perang Korea.

Anggota parlemen Demokrat pada saat itu memukul balik dengan mencatat bahwa presiden Republiken mengirim ucapan belasungkawa atas kematian orang kuat komunis Joseph Stalin dan Mao Zedong.

Media negara Korea Utara pada Rabu menyatakan mantan presiden Jimmy Carter, Demokrat pejuang hubungan lebih baik dengan Pyongyang, mengirim belasungkawa pribadi kepada Kim Jong-un. Carter Center di Atlanta tidak menjawab permintaan tanggapan atas pesan itu.

Jack Pritchard, mantan perunding Amrika Serikat dengan Korea Utara, yang sekarang memimpin Lembaga Ekonomi Korea, menyatakan pernyataan Hillary "ditukangi sangat baik", karena terbuka untuk tafsiran, dengan pemimpin Korea Utara dapat melihatnya sebagai pesan belasungkawa jika mereka memilih demikian.

Tapi Scott Snyder, anggota penting di Dewan Hubungan Luar Negeri, menyatakan ada bahaya kepemimpinan Korea Utara membandingkan pernyataan pada 2011 dengan 1994.

"Keadaan benar-benar berbeda. Saya pikir dibenarkan tidak menyampaiikan belasungkawa atas Kim Jong-il," kata Snyder.

"Tapi, pada saat sama, saya pikir rakyat Korea Utara dapat betul-betul melihat yang mereka dapatkan sebagai langkah pendek dari sebelumnya," tambahnya.

Pernyataan resmi sangat penting untuk kepemimpinan Korea Utara, yang mengembangkan kultus kepribadian di sekitar wangsa Kim.

Tapi, pemerintah asing terhindar dari dilema tambahan saat Korea Utara menyiratkan pemimpin dunia tidak ikut dalam pemakaman Kim pada 28 Desember.

Peter Beck, anggota Dewan Hubungan Luar Negeri, menyatakan undang pencegahan Pyongyang menunjukkan bahwa penguasa itu kemungkinan memusatkan perhatian pada diri dan negaranya, bukan meneliti pesan dari luar negeri.

"Mereka betul-betul tidak peduli pada dunia sekarang. Mereka lebih peduli pada keadaan mereka," kata Beck. (B002/Z002)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011