Jakarta (ANTARA News) - Lima medali emas yang diraih pebulu tangkis Indonesia pada SEA Games bulan lalu menjadi angin segar di tengah terpuruknya prestasi bulu tangkis Merah Putih.

Jumlah tersebut melampaui target yang ditetapkan yaitu meraih empat medali emas atau menyamai perolehan pada SEA Games dua tahun lalu di Laos.

Namun selayaknya keberhasilan itu tidak membuat publik bulu tangkis Indonesia berbangga hati, lega atau malah puas.

Selain lawan yang dihadapi tidak lah mewakili kekuatan bulu tangkis dunia saat ini, hasil tersebut tidak serta merta menunjukkan keberhasilan pembinaan bulu tangkis Indonesia.

Kalau pun ada yang patut dicatat dari keberhasilan tersebut, itu adalah munculnya juara baru, ganda putra Bona Septano-Muhamad Ahsan dengan ganda putri Nitya Krishinda-Anneke Feinya Agustin di samping mereka yang sudah berulang kali juara seperti Simon Santoso dan Liliyana Natsir.

Di tingkat dunia, prestasi bulu tangkis Indonesia tahun ini jauh dari kata memuaskan, dengan hanya menghasilkan dua gelar Super Series --dari total 60 gelar yang diperebutkan dalam turnamen Super Series maupun Super Series Premier.

Itu pun hanya dihasilkan oleh satu pasangan, Tontowi Ahmad-Liliyana Natsir yang meraih gelar tersebut di India dan Singapura Super Series.

Selebihnya, pemain Indonesia hanya mampu berbicara di tingkat Grand Prix atau Grand Prix Gold, itu pun jumlahnya tidak banyak.

Beberapa yang tercatat pernah menjuarai turnamen Grand Prix Gold sepanjang 2011 adalah pasangan Tontowi-Liliyana ( di Malaysia), Tommy Sugiarto (Taiwan), Bona-Ahsan dan Dionysius Hayom Rumbaka (Indonesia), dan terakhir adalah Taufik Hidayat yang memperoleh mahkota juara di India pekan lalu.

Dengan hasil tersebut, mayoritas pebulu tangkis Indonesia harus bekerja keras mengejar poin ranking pada sisa waktu sebelum berakhirnya kualifikasi Olimpiade 2012. Olimpiade London yang akan berlangsung 27 Juli - 12 Agustus akan menggunakan peringkat pada 3 Mei 2012 untuk menentukan pemain yang lolos kualifikasi.

Hingga pekan terakhir 2011, pemain Indonesia yang menempati 10 peringkat teratas adalah Simon Santoso ( peringkat 7), Bona-Ahsan (7), Alvent Yulianto-Hendra Aprida Gunawan (9), Markis Kido-Hendra Setiawan (10), Greysia Polii-Meiliana Jauhari (8), dan Tontowi-Liliyana (4).

Pada tiga nomor yang selalu diandalkan, tunggal putra, ganda putra dan campuran, Indonesia hanya mempunyai satu wakil di 10 peringkat teratas.

Bandingkan dengan empat tahun lalu menjelang Olimpide Beijing, ketika dalam tiga nomor yang diharapkan itu setidaknya Indonesia sudah mempunyai dua wakil di 10 peringkat teratas pada akhir 2007. Mereka adalah Sony Dwi Kuncoro (6), Taufik Hidayat (7), Markis Kido-Hendra Setiawan (2), Luluk Hadiyanto-Alvent Yulianto (9), serta Nova Widianto-Lilyana Natsir (2) dan Flandy Limpele-Vita Marissa (4).

Artinya, posisi para pemain Indonesia empat tahun lalu, pada saat yang sama, jauh lebih baik dibanding kondisi menjelang Olimpiade London kali ini.

Mengkhawatirkan
Khusus pada sektor tunggal, kondisi menjelang kualifikasi dan putaran final Piala Thomas dan Uber serta Olimpiade London, cukup mengkhawatirkan.

Hingga dua bulan menjelang kualifikasi Piala Thomas dan Uber (Februari 2012), belum ada pemain tunggal yang meyakinkan dengan prestasi atau penampilan yang stabil, bahkan peringkatnya cenderung menurun.

Kehadiran pelatih asal China Li Mao pada awal tahun untuk menangani sektor tunggal di Pelatnas Cipayung,

tampaknya belum membuahkan hasil yang memuaskan.

Sentuhan tangan pelatih asal China yang dikontrak selama dua tahun --hingga 2012-- itu masih belum tampak membuahkan hasil.

Hingga Mei, saat digelarnya Piala Sudirman, penampilan tunggal putra Merah Putih masih mengecewakan. Pada kejuaraan dunia beregu campuran tersebut, ketika Indonesia tersingkir di semifinal, dari empat pertandingan tim Indonesia, tunggal putra hanya menyumbang satu poin saat Indonesia bertemu Rusia, ketika Simon Santoso mengalahkan Vladimir Ivanov 21-14, 21-9.

Setelah itu, tunggal putra selalu menjadi kartu mati bagi tim Merah Putih.

Waktu itu, Wakil Ketua PB PBSI I Gusti Made Oka mengatakan bahwa sektor tunggal sedang dalam masa transisi dari sistem kepelatihan lama ke sistem baru di bawah Li Mao --yang bahkan mendatangkan pelatih asal Malaysia Wong Tat Meng untuk membantunya.

Namun nyatanya hingga tahun 2011 berakhir, prestasi tunggal tidak juga membaik.

Untuk turnamen tingkat Grand Prix Gold ke atas, tunggal putra indonesia benar-benar miskin gelar.

Selain gelar yang diraih Tommy Sugiarto (yang tidak dilatih Li Mao) di Taiwan Grand Prix Gold, dan Hayom di Indonesia GP Gold, serta Taufik Hidayat (juga tidak dilatih Li Mao) di India baru-baru ini, sektor tunggal putra sungguh sepi gelar.

Sektor tunggal putri belum banyak perubahan berarti dengan pemain peringkat teratasnya hanya berada di urutan 36 dunia, ditempati Lindaweni Fanetri.

Padahal keberadaan sektor tunggal sangat penting terutama menjelang kualifikasi dan putaran final Piala Thomas dan Uber.

Selain peringkat yang dibutuhkan untuk menentukan posisi unggulan, keberadaan pemain tunggal penting karena diperlukan masing-masing tiga pemain untuk memperkuat tim pada kejuaraan dunia beregu putra dan putri itu.

Karenanya sudah waktunya pelatih asing yang sejak semula memang dikontrak untuk mendongkrak prestasi pemain tunggal, menunjukkan hasil kerjanya.

Masih ada waktu untuk memperbaiki peringkat menjelang berakhirnya kualifikasi Olimpiade meski kualifikasi Piala Thomas dan Uber sudah sangat dekat.

Mulai awal 2012 hingga akhir April hanya terdapat sekitar tujuh turnamen Super Series dan Grand Prix Gold, ditambah satu Kejuaraan Dunia dan kualifikasi Piala Thomas dan Uber.
(F005)

Pewarta: Fitri Supratiwi
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011