Jakarta (ANTARA News) - Banyak instrumen pengelolaan lingkungan baru termaktub dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang terdiri atas 127 pasal, yang membuatnya berbeda dengan UU sebelumnya, yakni UU No 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (52 pasal). Ataupun UU lingkungan yang pertama, yaitu UU No. 4/1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (24 pasal).

Dari sisi jumlah pasal saja, UU No. 32/2009 berlipat dua dibandingkan dengan UU No 23/1997.  Undang-undangan baru ini memuat kesatuan manajemen yang utuh dalam pengelolaan lingkungan yang mencakup: a) perencanaan, b) pemanfaatan, c)  pengendalian, d) pemeliharaan, e)  pengawasan, dan  f) penegakan hukum.


Kabaruan Instrumen

Selain itu hal-hal berikut ini hanya termaktub pada UU No. 32/2009, yakni:
1) Ketentuan penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai Grand Design pengelolaan lingkungan,
2) Instrumen baru pengelolaan lingkungan,
3) Sanksi hukum berlaku untuk semua pemangku kepentingan, seperti: praktisi industri, pemerintah, masyarakat, pakar lingkungan,
4) Sanksi hukum lebih garang dan lebih tegas.

Beberapa ketentuan yang tertera dalam UU ini nuansanya sangat jauh melompat ke depan jika dikomparasikan dengan kondisi nyata lingkungan kita saat ini. Bahkan, dianggap cukup revolusioner oleh berbagai kalangan. Perangkat pengelolaan yang konvensional saja, seperti amdal, baku mutu lingkungan, dan kriteria baku kerusakan lingkungan, belum begitu tegap diterapkan.

Pemerintah lebih mengetengahkan pendekatan persuasif ketimbang represif, dengan selalu menerbitkan peraturan kompromistik. Padahal ketidakpatuhan pada perangkat konvensional tersebut sudah bisa dijadikan alat bukti untuk mendakwa praktisi industri yang abai atau mangkir dalam pengelolaan lingkungan.

Undang-undang baru ini membebani lagi dengan sistem dan perangkat pengelolaan anyar (analisis risiko, instrumen ekonomi lingkungan, dsb.), yang kiranya untuk kondisi sosial-ekonomi-budaya bangsa kita saat ini masih belum cukup kompatibel dan terlalu dini untuk menerima model pengelolaan lingkungan, yang telah banyak diaplikasikan di negara maju.


Perlu Elaborasi

Selama dua tahun berlakunya UU No. 32/2009, belum ada satu pun peraturan pemerintah (PP) yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), yang merupakan penjabaran dari pasal-pasal UU tersebut. Padahal. Pasal 126 secara gamblang mengamanatkan bahwa peraturan pelaksanaan ditetapkan paling lama satu tahun sejak UU ini diberlakukan (3 Oktober 2009).

Total terdapat 25 pasal baru dalam  UU No 32/2009 yang perlu penjabaran lanjutan, dan menjadi tupoksinya KLH.  Pasal-pasal tersebut memerlukan interpretasi dalam bentuk peraturan pemerintah (17  pasal), Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (2 pasal), dan peraturan perundangan-undangan (3 pasal) yang tak secara tegas disebutkan jenis peraturan apa.

Pada Pasal 42 dan 43 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan, pemerintah diharuskan memformulasikan hal berikut: a) Perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi, b) Pendanaan lingkungan hidup, dan c) Insentif atau disinsentif.  

Selanjutnya, dalam Perencanaan Pembangunan dan Kegiatan Ekonomi diharuskan membuat:
1) neraca sumber daya alam dan lingkungan hidup,
2) penyusunan produk domestik bruto dan produk domestik regional bruto  yang mencakup penyusutan sumber daya alam dan kerusakan lingkungan hidup,
3) mekanisme kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup antardaerah, dan
4) internalisasi biaya lingkungan hidup.

Pada Instrumen Pendanaan Lingkungan diwajibkan membuat: 1) dana jaminan pemulihan lingkungan hidup; 2) dana penanggulangan pencemaran atau kerusakan dan pemulihan lingkungan hidup; 3) dana amanah/bantuan untuk konservasi.

Pada sisi Instrumen Insentif dan Disinsentif, regulasi yang mesti dibentuk adalah: 1) pengadaan barang dan jasa yang ramah lingkungan hidup; 2) penerapan pajak, retribusi, dan subsidi lingkungan hidup; 3) pengembangan sistem lembaga keuangan dan pasar modal yang ramah lingkungan hidup; 4) pengembangan sistem perdagangan izin pembuangan limbah atau emisi; 5) pengembangan sistem pembayaran jasa lingkungan hidup; 6) pengembangan asuransi lingkungan hidup; 7) pengembangan sistem label ramah lingkungan hidup, 8) sistem penghargaan kinerja di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Demikian banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan untuk mengakomodir instrumen ekonomi lingkungan ini. Belum lagi pasal lainnya.  Kalau dicermati inti dari PR tersebut, sebetulnya adalah manifestasi dari dua kelompok utama paradigma kompensasi terhadap lingkungan yakni: "payment for environmental services" (pembayaran fungsi dan jasa lingkungan) dan polluters must pay principle (prinsip pencemar membayar).  

Pada diskursus ini, pemahaman akan valuasi ekonomi sumberdaya (resource economic valuation) dan deep ecology akan melakoni peran sentralnya. Karena fungsi dan jasa lingkungan dari suatu sistem ekologi mesti dikuantifikasi dengan nilai rupiah.  REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) adalah analog dari penerapan mekanisme prinsip pencemar membayar.

Jika mekanisme instrumen ekonomi lingkungan ini kelak diadopsi sepenuhnya, tanpa konsiderasi yang komprehensif dan cermat, niscaya industri yang berbasis sumberdaya alam, mungkin akan menjadi kurang atau bahkan tidak kompetetif lagi.  

Karena industri semacam ini harus membayar kompensasi fungsi dan jasa lingkungan yang terganggu akibat pengoperasian industri.  Selain itu, setiap satuan volume limbah padat, cair, dan gas yang dihasilkan juga harus dikompensasi karena terikat dengan kewajiban pencemar membayar.

Kedua prinsip inilah yang mengenyahkan industri yang dianggap usang (late industry) dari Eropah Barat, Amerika Utara, dan Jepang.  Industri tekstil salah satu contoh late industry yang sudah tak lagi bercokol di negara industri maju.

Kalau industri ini dioperasikan disana maka harga produknya akan menjadi mahal, karena harus mengintegrasikan fungsi dan jasa lingkungan serta limbah menjadi bagian dari modal.  Industri demikian direlokasi ke negara berkembang.

Manakala sudah menjadi pasal dalam UU, maka kita berkewajiban untuk mentaatinya.  Sementara itu, relatif lemahnya perangkat keahlian (expertise), kurangnya sumberdaya manusia yang paham akan instrumen baru, atmosfir industri yang belum begitu kondusif untuk taat, dan belum terbentuknya unit di KLH yang menangani beberapa instrumen baru tersebut, serta keperluan untuk membuka lapangan kerja dari sektor industri selebar-lebarnya, ditenggarai bisa menjadi kendala dalam penerapan ketentuan baru dalam UU lingkungan tersebut.   

Penjabaran lebih rinci terhadap pasal UU dimaksudkan untuk memberi arahan dan pedoman bagi  segenap pemangku kepentingan seperti: praktisi usaha, birokrat, masyarakat, akademisi, pemerhati lingkungan, konsultan lingkungan, lembaga swadaya masyarakat, dsb, dalam mentaati ketentuan pengelolaan lingkungan.  

Selain itu juga ditujukan untuk menutup ruang manipulatif terhadap pasal-pasal yang dianggap plastis dan dengan mudah dapat diplintir maknanya oleh para manipulator hukum bagi membela para aktor pendegradasi lingkungan dan penguras sumberdaya alam secara tak sinambung.

Mengingat belum adanya realisasi peraturan yang diterbitkan oleh KLH dalam rangka penjabaran pasal-pasal baru pada UU No. 32/ 2009 hingga penghujung 2011, maka tahun 2012 ini akan menjadi tahun hectic (sangat sibuk) bagi KLH dalam merealisasikan amanah peraturan yang harus segera dituntaskan tersebut dan menjadi utang regulasi yang mesti dilunasi.
(R009)

*Penulis Buku "Senarai Bijak terhadap Alam"

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2012