Jakarta (ANTARA) - Pemerintah Indonesia belakangan ini makin sering menekankan pentingnya pembangunan hijau demi menjaga lingkungan dari kerusakan.

Dalam kunjungannya ke Persemaian Rumpin, Bogor, Jawa Barat, pada 10 Juni 2022, Presiden Joko Widodo menargetkan produksi 360 juta bibit yang berasal dari 30 pusat persemaian dalam waktu 3 tahun.

Alasan pendirian pusat persemaian benih tanaman (nursery) itu adalah untuk meneguhkan komitmen Pemerintah Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim sekaligus perbaikan lingkungan yang rusak.

Bagi Presiden Jokowi, pembangunan hijau itu merupakan proses rehabilitasi lingkungan, ikhtiar memperbaiki lingkungan dengan aksi-aksi yang jelas, konkret, dan bisa dihitung. Mengingat pentingnya penerapan pembangunan hijau maka Pemerintah Indonesia bakal menyiapkan 30 nursery seperti ini. 

Pada tahun depan akan ada delapan nursery lagi dan akan menjadi 30 nursery hingga 2024. Langkah-langkah konkret tersebut menunjukkan ke arah menuju ke perbaikan lingkungan yang bisa dilihat dan dapat pula dihitung.

Rencananya, bibit-bibit tersebut akan ditanam di lahan kritis yang sering longsor atau daerah aliran sungai (DAS) yang gundul. Namun butuh waktu bertahun-tahun untuk menunggu bibit-bibit tersebut tumbuh menjadi pohon yang akhirnya benar-benar hijau.

Komitmen jangka panjang tersebut sekaligus meneguhkan pentingnya kerja sama antarpihak dalam kerangka pembangunan hijau.


Pendanaan 

Demi mengatasi perubahan iklim, namun tetap mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus menjaga Bumi, mutlak diperlukan kerja sama berbagai pihak, termasuk negara maju dan negara berkembang.

Di Indonesia, pemerintah sedang mengimplementasikan Program Pertumbuhan Ekonomi Hijau (Green Growth Program) bersama dengan "Global Green Growth Institute" (GGGI), melalui Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sejak 2013.

Institut itu adalah organisasi internasional antarpemerintah yang didirikan pada 2012 saat Konferensi PBB tentang Pembangunan Berkelanjutan (Rio+20). Lembaga tersebut didirikan untuk mendukung dan mempromosikan model pertumbuhan ekonomi yang dikenal sebagai pertumbuhan hijau.

Organisasi itu memiliki lebih dari 30 program di 20 negara dan membantu pemerintah memobilisasi investasi hijau di lapangan, dengan membuat proyek-proyek bankable dan mengarusutamakan pertumbuhan hijau ke dalam target perekonomian dan pembangunan regional atau nasional.

Lembaga tersebut menyebutkan menempatkan beberapa staf di Bappenas, Kementerian Keuangan, serta Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup Pemerintah Indonesia untuk mendukung pemerintah membuat perencanaan di bidang pembangunan hijau dan juga membantu implementasinya sehingga Indonesia mendapat pendanaan untuk penanggulangan masalah iklim.

Sampai saat ini sebagian besar negara mengalami kesulitan untuk mengakses dana bagi pembangunan sehingga lembaga tersebut membantu negara anggota untuk mendapatkan dana GCF (Green Climate Fund).


Proyek "hijau" Indonesia

Di Indonesia, kerja sama Pemerintah Indonesia dengan organisasi tersebut dinamakan "Program Pertumbuhan Hijau" dan sudah memasuki tahap ketiga.

Tahap pertama adalah periode 2013-2015, tahap kedua pada 2016-2020, dan tahap ketiga adalah penyusunan Country Program Framework (CPF) 2021-2025 yang berfokus pada sektor energi terbarukan, kota hijau dan kawasan ekonomi khusus serta lanskap berkelanjutan.

Dalam tahap kedua (2016-2020), setidaknya sudah ada sejumlah program yang dilaksanakan, yaitu melatih sekitar 30 ribu PNS mengenai pertumbuhan hijau; memobilisasi dana investasi senilai 110 juta dolar AS untuk penerapan model usaha layak komersial di kawasan perdesaan dan industri yang memberikan manfaat bagi satu juta orang; mengembangkan energi bersih sebesar 60-100 MW sehingga dapat berkontribusi untuk menurunkan emisi karbon hingga satu juta ton per tahun; serta mengurangi 400 juta ton emisi karbon di hutan non-gambut dan 200 juta ton emisi karbon di lanskap gambut seluas satu juta hektare.

Selanjutnya tahap ketiga, disesuaikan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Indonesia (RPJMN 2021-2024) sekaligus mendukung Nationally Determined Contribution (NDC) sehingga pemerintah dapat merancang proyek yang bankable dan menyusun sarana dan instrumen finansial untuk mengurangi risiko dalam proyek hijau, seperti hilangnya pekerjaan karena proyek-proyek hijau.

NDC adalah komitmen dan aksi masing-masing negara untuk mengurangi emisi dan menyesuaikan diri terhadap dampak perubahan iklim berdasarkan konvensi United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).

Indonesia menjanjikan target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen di skema bawah bisnis seperti biasa (business as usual/BAU) pada 2030 dan 41 persen dengan bantuan dana internasional.

Organisasi tersebut bekerja sama dengan Green Climate Fund (GCF), yang didirikan sebagai entitas untuk mengoperasikan dana UNFCCC dan memberikan kesempatan bagi negara berkembang seperti Indonesia untuk mengakses dana.

Pemerintah memandang institut tersebut sebagai mitra untuk membantu negara anggota membuat proposal proyek terkait dengan lingkungan hidup dan akhirnya bisa mengakses pembiayaan dari GCF.

Pendanaan untuk pembangunan hijau tidak hanya berasal dari GCF, tapi juga bisa dari sektor swasta. Namun agar proyek tersebut benar-benar menjual maka pemerintah harus membuat kebijakan yang tepat agar pihak swasta mau ikut berinvestasi.

Di Indonesia, sebagian besar kerja Lembaga Pertumbuhan Hijau Global tersebut untuk mengurangi deforestasi dan merehabilitasi lahan gambut sehingga mengurangi emisi karbon dan Indonesia mendapat kredit karbon. Pihaknya bekerja erat dengan pemerintah daerah, misalnya Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, untuk mengelola hutan untuk mengurangi deforestasi dan rehabilitasi lahan gambut.

Dalam 5 tahun terakhir, organisasi itu sudah mengumpulkan dana 7 miliar dolar AS untuk negara-negara berkembang demi menerapkan proyek hijau.

Memang, jumlahnya belum besar, terutama untuk negara besar seperti Indonesia, tapi bila pemerintah membuat kebijakan yang tepat, maka dapat juga mendatangkan pendanaan dari swasta.

GCF yang berkantor pusat di Incheon, Korea Selatan, dan pada 2021, dana yang hendak mereka salurkan diperkirakan mencapai 9,8 miliar dolar AS.

Lembaga keuangan tersebut tidak membatasi jumlah dana yang disalurkan ke setiap negara, namun persyaratannya ketat untuk memastikan dampak positif proyek terhadap iklim dan lingkungan menyebabkan hanya sedikit pihak yang berhasil mengakses pendanaan iklim tersebut.

Di Indonesia, lembaga keuangan tersebut, melalui Badan Kebijakan Fiskal (BKF) yang ditunjuk sebagai "National Designated Authority", pada 2018 telah membiayai empat proyek terkait dampak perubahan iklim, yaitu persiapan proyek Bus Rapid Transit di Semarang pada 2019, Climate Investor One untuk pembangkit listrik energi terbarukan pada 2018, proyek Geothermal Resources Risk Mitigation (GREM) bersama Bank Dunia pada 2018, dan Program Kesiapan dan Dukungan Persiapan bersama GGGI Indonesia yang masih berlangsung sejak tahun 2017. Dana GCF yang disalurkan ke empat proyek tersebut mencapai lebih dari 200 juta dolar AS.


Agar berkelanjutan

Penerapan rencana pembangunan hijau memang banyak "diganggu" oleh pihak lain, terutaka oleh pengusaha yang mengolah bahan bakar fosil, apalagi akan ada sejumlah pekerjaan yang akan menghilang karena penerapan pembangunan hijau.

Jenis pekerjaan apa saja yang hilang karena kebijakan berbasis lingkungan ini, sebagian memang pekerjaan temporer, seperti di bidang konstruksi. Contohnya, di satu tambang di Kolombia yang bila ditutup, maka akan ada sekitar 60 ribu orang kehilangan pekerjaan, tapi bila pemerintah berinvestasi pada pembangunan hijau, maka dalam waktu 5-10 tahun akan tercipta 70 ribu pekerjaan atau lebih banyak dari jumlah pekerjaan yang hilang.

Artinya, penerapan kebijakan pembangunan hijau menantang, tapi hal itu tidak mustahil.

Memang Indonesia agak sedikit lambat dibanding negara lain dalam menerapkan hal ini di Asia Tenggara, namun hal itu bukan berarti tidak bisa segera menerapkannya, misalnya, dengan mengevaluasi rencana pembangunan PLTU yang menggunakan batu bara.

Pemerintah Indonesia menegaskan bahwa pembangunan hijau bakal memberi keuntungan jangka panjang. Hilangnya jenis pekerjaan pada proyek yang tidak ramah lingkungan, misalna, bakal digantikan dengan jenis pekerjaan baru dalam model proyek hijau, bahkan penyerapan tenaga kerjanya bisa lebih banyak.

Pandemi COVID-19 ternyata malah mempercepat perubahan kebijakan negara karena negara-negara membutuhkan pendanaan sehingga mau menggunakan dana yang disediakan di bawah 'tekanan'. Sejumlah negara pun tidak lagi membangun pembangkit listrik berbasis bahan bakar fosil. Ada juga transisi ke industri berorientasi lingkungan, seperti industri baterai atau industri mobil listrik.

Di Korea Selatan, misalnya, Presiden Korsel yang baru dilantik, Yoon Seok Yeol, tidak secara terang menyampaikan program pembangunan hijau, namun hanya mengatakan bahwa Negeri Ginseng itu harus melakukan tindakan sebagai kekuatan ekonomi terbesar ketujuh di dunia.

Dalam perspektif tersebut, Korea akan jadi pemimpin di Asia bersama Indonesia, Vietnam, terkait bagaimana harus menerapkan kebijakan hijau. Lembaga Pertumbuhan Hijau Global meyakini ada banyak potensi proyek hijau di Indonesia.

Dengan Indonesia menjadi Presidensi G20, lembaga tersebut bakal bekerja erat dengan Pemerintah Indonesia untuk mempersiapkan tema "Green Recovery" bagi kepentingan bersama.

Tentu tidak semua negara tertarik mengenai hal ini, apalagi banyak negara mengalami krisis akibat pandemi. Akan tetapi dengan menunjukkan akan ada lapangan kerja tercipta dengan investasi bidang lingkungan, maka hal tersebut dimungkinkan diwujudkan.

Kerja sama organisasi tersebut dengan Pemerintah Indonesia yang sudah memasuki tahap ketiga (2021-2025) dapat menjadi contoh yang baik untuk ditunjukkan pada KTT G20 nanti. Fokus tahap ketiga adalah di sektor energi terbarukan, kota hijau, kawasan ekonomi khusus, serta lanskap berkelanjutan.

Salah satu yang dikerjakan adalah proyek Climate Action Enhancement Package (CAEP) yang didanai oleh NDC Partnership (NDCP) dan Biological Compressed Natural Gas (BioCNG) yang berfokus pada peningkatan pasar BioCNG dari tiga aliran limbah, yakni limbah padat kota organik, air limbah, dan limbah pertanian.

Proyek ini berfokus pada pengembangan limbah dari sektor kelapa sawit, kotoran ternak, dan sampah organik sebagai pipeline untuk produksi BioCNG.

Pemerintah Indonesia maupun GGGI yang menyediakan dukungan teknis bagi negara anggota perlu bekerja sama lebih erat lagi demi mewujudkan model pertumbuhan ekonomi yang berorientasi lingkungan lestari dan inklusif secara sosial.

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022