Mataram (ANTARA) - Komunitas Akar Pohon dan Tastura Mengajar menggelar kegiatan bedah buku sastrawan asal Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, Kiki Sulistyo yang berjudul "Bedil Penebusan".

Ilda Karwayu, Direktur Program Akar Pohon melalui siaran persnya yang diterima Antara, Senin, mengatakan kolaborasi antar komunitas sudah saatnya dilebarkan agar ruang diskusi dan sirkulasi pengetahuan semakin merata di seluruh wilayah di Lombok.

"Jadi tidak hanya di Mataram, kita akan terus melakukan kegiatan-kegiatan serupa hingga ke daerah-daerah lain," ujar Ilda.

Ia menerangkan, saat ini Lombok sedang berada di masa subur kesusastraan.

Baca juga: Komunitas Akar Pohon gelar bedah buku di Halaman Belakang ANTARA NTB

Baca juga: Bedah buku anggota DPR ungkap kontribusi Sandiaga saat pandemi COVID


Hal itu harus dilihat juga sebagai peluang untuk memupuk semangat sastra di Lombok agar bisa tumbuh dengan baik.

"Sekarang sastrawan kita didominasi oleh anak-anak muda. Mereka tidak boleh dilepaskan begitu saja. Harus dibuat lingkungan yang dapat mendukung semangat mereka," ucapnya.

Sementara itu, Shulhi Islami selaku pelaksana kegiatan sekaligus yang bertugas sebagai pembedah, merasa senang mendapat kesempatan membedah buku salah seorang sastrawan terkenal di Lombok.

Ia menjelaskan, forum-forum serupa, perlu diadakan lagi sebab, karakter tiap sastrawan di Lombok memiliki kekayaan bentuk yang dapat digali terus menerus.

"Dari kegiatan-kegiatan seperti ini, kita tidak hanya menambahkan pengetahuan, tetapi juga dapat mengenal lebih dekat sastrawan kita," ucapnya.

Dijelaskan Shulhi, ke depan Tastura Mengajar pun akan melakukan pemetaan tentang jumlah sastrawan yang ada di Lombok Tengah, daerah tempat mereka aktif bergiat.

"Mungkin selanjutnya, kita yang dari Lombok Tengah akan berkunjung ke Mataram. Begitu seterusnya sampai pola kolaborasinya bisa diwariskan," ujarnya.

Tentang apa yang ditemukannya dari hasil bedah buku Kiki Sulistyo yang berjudul Bedil Penebusan, Shulhi mengatakan Kiki Sulistyo mengungkapkan sejarah dengan cara yang halus dengan sudut pandang yang tidak bisa diduga-duga.

"Ia pun tidak berupaya menunggangi narasi dari sejarah yang sudah besar. Kiki masuk dari narasi kecil yang mungkin tidak pernah diketahui orang-orang. Misal, dalam banyak ceritanya, ia banyak menciptakan kesan dari situasi yang terjadi di Ampenan pada jaman Orde Baru," urainya.*

Baca juga: LIPI terbitkan tiga buku studi keluarga dan kesehatan

Baca juga: Bedah buku Gagasan dan Pemikiran Komunikasi Publik karya Widodo Mukti

Pewarta: Riza Fahriza
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022