Jakarta (ANTARA) - Pada era media digital dan banjir informasi seperti saat ini, publik kebingungan membedakan informasi mana yang seratus persen benar dan mana yang tidak sepenuhnya benar.

Persoalan bertambah karena meski informasi sangat banyak, namun tidak semua publik dapat mengakses informasi tersebut, misalnya para orang tua yang "gagap" teknologi, penyandang disabilitas yang hanya mendapat potongan-potongan informasi maupun masyarakat di daerah perdesaan atau pedalaman yang butuh informasi spesifik mengenai daerahnya.

Ketidaksetaraan akses di tengah banyaknya informasi tersebut mendorong pemerintah Korea Selatan (Korsel) untuk membentuk lembaga bernama Community Media Foundation.

Community Media Foundation (CMF) adalah organisasi pemerintah yang didirikan berdasarkan Undang-undang Penyiaran pasal 90 ayat 2 berisi soal keterlibatan penonton dalam penyiaran dan dukungan atas hak penonton.

Dengan mandat tersebut, ada empat misi yang diemban oleh CMF, yaitu memperkuat pemahaman publik mengenai media melalui pendidikan media, memperluas kreativitas dan diversifikasi konten dengan mendorong keterlibatan publik dalam memproduksi media, meningkatkan akses media dan penyiaran bagi mereka yang kurang mampu, serta mendorong perlindungan hak publik dengan menciptakan lingkungan media yang adil.

Artinya, tugas utama CMF adalah menghubungkan publik dengan media.


Literasi Media

"Masalah utama media saat ini adalah jarak, baik jarak antara isi media itu sendiri dengan publik maupun jarak antara publik sendiri, maka kami mendidik publik mengenai kemajuan media komunikasi, khususnya bagi para orang tua," Kepala Community Media Foundation (CMF) Busan Kim Bae Okk di Busan, Korea Selatan pada 2 Juni 2022.

Kim menyampaikan hal tersebut saat menerima kunjungan "The Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea", yaitu program bentukan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dan Korea Foundation yang diikuti oleh sembilan jurnalis asal Indonesia.

"Kami menyediakan edukasi media untuk meningkatkan kemampuan komunikasi dan literasi. Ada yang di kelas langsung, ada juga yang daring, tapi tujuannya sama, yaitu untuk mengatasi information gap," ungkap Kim.
Kepala Community Media Foundation (CMF) Busan Kim Bae Okk (kiri) dan Kepala Biro Pemantauan Hak Konsumen CMF Busan Lee Seokwoo (kanan) saat menerima kunjungan "The Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea" yaitu program bentukan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dan Korea Foundation di CMF Busan, Korea Selatan. (ANTARA/Desca Lidya Natalia)

CMF membuat program "MediOn" yang merupakan platform daring pendidikan media dan dapat diakses dari http://edu.kcmf.or.kr.

Literasi media dinilai penting bagi masyarakat seluruh usia karena dengan memahami prinsip operasional media akhirnya publik dapat menginterpretasikan pesan yang dibawa oleh media dan selanjutnya publik pun dapat membuat konten sendiri untuk menyampaikan pesan ke masyarakat

Dalam program-program tersebut ada video-video pengajaran dari para pakar media maupun pelatihan menggunakan ponsel pintar atau drone maupun cara pengambilan dan penyuntingan video.

"Literasi media pada era digital saat ini sangat penting, apalagi, misalnya masyarakat Indonesia tersebar di berbagai pulau dengan beragam kondisi," ujar Kim.

Kim menyebut pada era digital dan internet saat ini terjadi ketidaksetaraan dan polarisasi informasi, sehingga penting untuk mengembalikan fungsi media sebagai sarana komunikasi bagi semua.

"Kami juga melakukan edukasi bagi masyarakat untuk berpikir kritis karena dengan banjirnya informasi, masyarakat harus dibekali cara untuk mengolah informasi dengan baik dan benar, sehingga mendapat informasi yang benar," ucap Kim.

Upaya berpikir kritis tersebut juga dapat diterapkan masyarakat dalam program "Fact Check" yang merupakan platform terbuka bagi masyarakat, sehingga memungkinkan partisipasi publik, namun dilengkapi dengan sistem otomatis "fact-checking" menggunakan kecerdasan buatan, sehingga verifikasi fakta tetap terjaga.

CMF juga mendorong komunitas di perdesaan untuk membuat medianya sendiri,

"Kami juga memberikan kesempatan masyarakat hanya menggunakan ponsel untuk membuat video. Bagaimana membuat video lewat ponsel maupun dengan menggunakan studio, kamera, control room yang kami sediakan di sini. Kami mendukung masyarakat untuk menyiarkan video-video mereka," katanya.

Selain pelatihan untuk membuat dan mengedit video, CMF juga memberikan pelatihan selama enam bulan mengenai "metaverse" dan penerapan program canggih menggunakan komputer keluaran terbaru secara cuma-cuma.

CMF memang menyediakan fasilitas rental studio, kamera hingga */ bagi masyarakat atau komunitas yang ingin membuat konten video mereka sendiri. Masyarakat dapat membuat talkshow tayangan komunitas dan diberikan pelatihan dalam pengambilan gambar hingga proses editing, sehingga benar-benar dapat membuat konten video.

"Cukup mendaftar saja, ini semua disediakan gratis," kata Kepala Biro Pemantauan Hak Konsumen CMF Busan Lee Seokwoo dalam acara yang sama.

Lee menyebut sejak CMF Busan berdiri pada 2005, tidak ada alat yang hilang atau rusak saat dipinjam. Alat yang dapat dipinjam, termasuk kamera foto, tripod, perlengkapan perekaman, peralatan penyuntingan video, perlengkapan pencahayaan, perlengkapan layar dan alat lainnya.

Terbukti dengan layanan tersebut, terjadi peningkatan komunitas perdesaan yang menggunakan CMF untuk memproduksi medianya, yaitu dari 21 komunitas (2017), menjadi 50 komunitas (2018), 70 komunitas (2019) dan 80 komunitas (2020).
Dua orang warga menggunakan fasilitas studio mini untuk membuat konten siaran langsung di Community Media Foundation (CMF) Busan, Korea Selatan. (ANTARA/Desca Lidya Natalia)

"Kami juga melindungi hak konsumen terhadap banyaknya iklan yang ada di televisi. Kami melakukan monitoring sehingga tidak terlampau banyak iklan komersil yang muncul," ucap Lee.

Lee menyebut CMF juga memeriksa dan menginvestigasi apakah stasiun tv, baik publik maupun layanan tv kabel, terlalu banyak menyiarkan iklan, sehingga mengganggu konsumen.

"Kami berkepentingan untuk melindungi hak penonton atas massalnya iklan," ujar Lee.

Program CMF lainnya adalah memberikan akses bagi mereka yang kurang mampu, baik secara ekonomi maupun kaum difabel, seperti menyiarkan layanan video on demand (VOD) bagi kaum difabel.


Fasilitas bagi difabel

CMF secara khusus juga menyediakan beragam fasilitas bagi kaum difabel agar tetap bisa menikmati tontonan.

CMF di Busan memiliki bioskop khusus untuk penyandang tunanetra, yaitu ruangan berukuran sekitar sepertiga dari ruang bioskop biasa, namun sangat gelap dan hanya ada beberapa baris kursi.

Film yang diputar di bioskop itu juga adalah film khusus berdurasi 15-20 menit dengan dilengkapi earphone bagi para difabel untuk mendengar para "pembisik" menjelaskan mengenai visual film tersebut. Tidak ketinggalan ada panggung kecil dengan tangga agar para tunanetra merasakan tangga bioskop dan garis penunjuk jalan berwarna kuning yang biasa ditemukan di trotoar.

Selain itu CMF juga mengembangkan teknologi dengan menyediakan televisi khusus bagi kaum penyandang tunanetra dan tunarungu (tuli).
Seorang petugas dari Community Media Foundation (CMF) Busan menjelaskan soal aplikasi penerjemahan bahasa isyarat yang sedang dikembangkan di CMF Busan, Korea Selatan. (ANTARA/Desca Lidya Natalia)

Sudah ada dua juta TV yang dibagikan ke para penyandang difabel dan jumlah itu rencananya akan terus ditambah.

"Ada perbedaan antara TV yang dibagikan pada 2018-2019 dengan TV yang dibagikan pada 2020-2022. TV keluaran terbaru ada subtitle untuk difabel tuli dan layarnya dapat dipisahkan sehingga bisa ganti warna subtitle," kata Asisten Manajer dari Departemen Akses Media CMF Busan Cho Hyowon.

Saat ini CMF Busan sedang mengembangkan aplikasi yang dapat langsung mengubah suara menjadi bahasa isyarat di TV sehingga tidak diperlukan lagi penerjemah bahasa isyarat secara manual.

"Jadi saat orang bicara dapat langsung diterjamahkan ke bahasa isyarat," ungkap Cho.

Biaya yang digunakan untuk membangun teknologi bagi para penyandang disabilitas tersebut adalah sekitar 16 miliar Won atau sekitar Rp184 miliar.

Cho juga menyebut CMF Busan menjadi pihak yang membuat subtitle bagi penyandang disabilitas di Busan Movie Festival.

Selanjutnya publik maupun penyandang difabel yang sudah selesai membuat konten video dapat menonton bersama hasil kerja mereka di teater besar.

"Kursi di teater ini dimulai dengan nomor B karena nomor A untuk para penyandang disabilitas," ujar Cho.

Menurut Lee, dalam satu tahun setidaknya ada 170 ribu konten video yang dihasilkan dari 10 CMF yang tersebar di berbagai lokasi di Korsel. CMF tersebut ada di Seoul, Incheon, Sejong, Daejeon, Gwangju, Busan, Ulsan, Chunbuk, Gangwon, Gyeonggi dan rencananya akan dikembangkan hingga 25 kantor.

Ribuan video tersebut ada yang dimuat di media sosial masing-masing kreator maupun di kanal Youtube atau bahkan dibeli oleh perusahaan penyiaran.
Warga menggunakan fasilitas studio untuk membuat konten radio di Community Media Foundation (CMF) Busan, Korea Selatan. (ANTARA/Desca Lidya Natalia)

"Di CMF Busan, dalam satu bulan ada 10 video yang diambil oleh perusahaan penyiaran dan delapan konten radio yang juga dibeli perusahaan penyiaran, namun di luar itu ada ribuan yang dimuat di masing-masing kanal Youtube atau media sosial para kreator," ujar Lee.

Pembekalan literasi media bagi masyarakat tidak hanya mengubah cara pandang masyarakat terhadap media, dari yang tadinya hanya penonton pasif dan pasrah. Literasi media mendorong masyarakat untuk ikut berkontribusi dan mengejar informasi yang benar serta menyeimbangkan tanggung jawab dan hak penggunaan media agar tidak merugikan orang lain.

Dalam lingkungan yang setara dan saling menghargai kreativitas, nilai-nilai demokrasi pun dapat terus dirawat.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022