Saya tidak minta apa-apa, yang penting suara disabilitas seperti saya didengar"
Jakarta (ANTARA News) - Hak untuk memilih dan berpartisipasi dalam pemilu adalah hak dasar bagi semua orang yang sayangnya belum dimiliki sepenuhnya oleh penyandang disabilitas.

"Saya ingin hak saya. Saya tidak minta apa-apa, yang penting suara disabilitas seperti saya didengar," kata Endang Purwaningsih, salah satu penderita tuna daksa itu, Senin.

Endang berkisah, sejak kakinya lumpuh dan menggunakan kursi roda ia tidak bisa mengikuti pemilu secara  bebas rahasia.

"Saya malah disuruh pulang karena akses TKP tidak memungkinkan, biasanya petugas yang datang ke rumah. Banyak saksi-saksi dan tidak bebas rahasia lagi kan?" ujar Endang.

Begitu pula dengan Jaka Ahmad, yang menderita tuna netra. Ia berkisah, di rumahnya ada empat tujuh penyandang disabilitas dari tujuh anggota keluarga.

"Pengalaman dari beberapa pemilu, setiap sensus pemilu rumah saya tidak pernah didatangi," katanya.

Pada pemilu 2004, kata jaka, ia mengikuti pemilu bersama ayahnya yang menderita stroke dengan akses yang cukup baik. Namun, dia harus berdebat dengan petugas pemilu karena ayahnya menginginkan dia yang mendampingi, bukan petugas.

"Satu hal yang mereka tidak pahami, kami punya kewenangan untuk menunjuk siapa yang akan mendampingi kami," tambahnya.

Berapa persisnya jumlah orang-orang yang senasib dengan Endang dan Jaka, tak diketahui

Program manajer Pusat Pemilihan Umum Penyandang Cacat (PPUA PENCA), Heppy Sebayang, bahkan menilai Indonesia belum memiliki basis data jumlah pemilih dari penyandang disabilitas.

"Namun dari data Kementerian Sosial ada 3.11 persen atau enam sampai tujuh juta jiwa," katanya.

Saat ini PPUA PENCA aktif dalam mempromosikan revisi regulasi pemilu agar lebih baik dan memperhatikan hak-hak penyandang disabilitas.  (*)

M047

Pewarta: Jafar M Sidik
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2012