Tindakan represif terhadap kejahatan korupsi tidak hanya dengan menghukum pelaku kejahatan, tetapi juga dengan upaya mengembalikan aset kejahatan yang dikorupsi
Yogyakarta (ANTARA) - Sistem pembuktian terbalik dapat dijadikan rujukan dalam pengembalian aset kejahatan korupsi di Indonesia, kata pakar hukum dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Edward Omar Sharif Hiariej.

"Pengaturan pembuktian terbalik untuk mengembalikan aset kejahatan korupsi berikut prosedur acaranya, harus dimuat dalam undang-undang (UU) sebagai suatu pengecualian prosedur pembuktian yang berlaku pada umumnya," katanya di Yogyakarta, Senin.

Menurut dia dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), hal itu perlu dilakukan karena sifat dan karakter korupsi sebagai kejahatan luar biasa yang bersifat internasional.

"Pengembalian aset kejahatan korupsi yang saat ini berlaku di Indonesia hanya melalui sarana hukum pidana dengan membuktikan terlebih dulu kesalahan tersangka atau terdakwa melalui putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap, kecuali jika meninggal dunia, maka dapat dilakukan gugatan perdata," katanya.

Ia mengatakan pembuktian terbalik dalam pengembalian aset kejahatan korupsi hingga saat ini memang belum diatur secara jelas dan rinci.

Dalam konteks perundang-undangan di Indonesia, dalam hal pembuktian terbalik absolut, terdakwa diembani kewajiban untuk membuktikan bahwa harta yang dimiliki bukan berasal dari kejahatan dianut dalam UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Pasal 77 undang-undang a quo menyebutkan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaan bukan merupakan hasil tindak pidana.

"Seharusnya UU itu tegas mengatur konsekuensi dari pembuktian terbalik yang dilakukan oleh terdakwa. Namun, berdasarkan Pasal 77 juncto Pasal 78 UU tersebut tidak diatur prosedur beracaranya atau setidaknya mengatur konsekuensi dari pembuktian terbalik itu," katanya.

Menurut dia, pembuktian terbalik dalam pengembalian aset kejahatan korupsi dapat digunakan melalui sarana hukum, baik perdata maupun pidana.

Pengembalian aset kejahatan korupsi tanpa melalui penuntutan pidana secara implisit tercantum dalam Pasal 51 Ayat (1) UNCAC perihal bantuan hukum timbal balik di antara setiap negara peserta konvensi berkenaan dengan kekayaan yang diperoleh, melalui atau terlibat dalam kejahatan yang ditetapkan dalam UNCAC.

Ia mengatakan pengembalian aset yang berasal dari tindak pidana melalui jalur keperdataan dengan menggunakan pembuktian terbalik tidak serta merta melanggar asas praduga tak bersalah, meskipun tidak perlu dibuktikan kesalahan terdakwa.

"Tindakan represif terhadap kejahatan korupsi tidak hanya dengan menghukum pelaku kejahatan, tetapi juga dengan upaya mengembalikan aset kejahatan yang dikorupsi. Ada beberapa prasyarat dalam pengembalian aset kejahatan di antaranya kemauan politik negara, sistem hukum, kerja sama kelembagaan, dan kerja sama internasional," katanya.

Menurut dia, selain sifat dan karakter korupsi sebagai kejahatan luar biasa, ada juga beberapa dampak korupsi yang melatarbelakangi internasionalisasi kejahatan korupsi, yakni korupsi dianggap merusak demokrasi, aturan hukum, pasar, dan kualitas hidup serta mengganggu pembangunan berkelanjutan dan melanggar hak asasi manusia.

"Oleh karena itu, pembuktian merupakan hal yang sangat krusial dalam menyelesaikan suatu permasalahan hukum. Pembuktian merupakan jantung dalam persidangan suatu perkara di persidangan," katanya.
(B015*H010)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2012