Jakarta (ANTARA) - Nomi Prins, pengarang dan jurnalis investigatif yang pernah bekerja untuk dua bank investasi terkenal Lehman Brothers dan Chase Manhattan Bank, menyebut distorsi harga di dunia semakin besar dari masa ke masa.

Menurut dia, harga yang terbentuk di pasar keuangan dunia yang disebutnya financial world economy semakin menjauh dari perekonomian sehari-hari yang disebutnya real world economy.

Dua aspek ini seharusnya berjalan beriringan dan memang begitu dari 1948 sampai 1971. Namun sejak 1971 keduanya menjauh satu sama lain, terutama dalam dua dekade terakhir yang bahkan sejak 2020 harga di pasar keuangan sungguh tak mencerminkan ekonomi riil.

Baca juga: Mendag Zulhas sebut inflasi Indonesia termasuk paling rendah

Situasi yang membuat segelintir orang semakin kaya itu diyakini Prins bakal memuncak menjadi krisis ekonomi dalam bentuk yang belum pernah terlihat sebelum ini.

Memang tak perlu mengkhawatirkan asumsi Prins yang agak berbau konspiratif itu, namun situasi dunia saat ini memang terlihat kacau.

Pergerakan harga sudah demikian tak jelas, bahkan otoritas publik kadang tak mampu mengatasinya. Indonesia sempat mengalami fase ini beberapa waktu lalu ketika minyak goreng langka di pasaran.

Situasi seperti itu sering terjadi di mana-mana di dunia ini. Sebagian karena memang akibat mekanisme pasar biasa, tapi sering juga karena petualangan segelintir orang yang terlalu menguasai akses ekonomi dan sekaligus memiliki saluran bebas hambatan ke sistem kekuasaan.

Tak peduli itu negara liberal atau komunis atau bukan keduanya, memang selalu ada hubungan saling menguntungkan dan saling mempengaruhi antara penguasa politik dan penguasa modal (pengusaha).

Di Amerika Serikat misalnya, meminjam analisis Nomi Prins, selama satu abad ini 19 presiden Amerika, mulai dari Theodore Roosevelt pada awal 1900-an sampai Barack Obama, memiliki hubungan lebih dari sekadar biasa dengan para penguasa modal di Wall Street.

Pola hubungan seperti ini acap membuat harga terdistorsi. Contohnya terjadi ketika AS diamuk Perang Vietnam dan saat bersamaan di ambang krisis keuangan pada awal 1970-an.

Presiden AS saat itu, Richard Nixon, mengambil langkah yang terkesan mendistorsi pasar dengan mendorong pemerintah membeli obligasi dalam upaya menguatkan dolar sehingga portofolio modal global masuk ke AS.

Pola ini terus terjadi sampai kini, seperti saat krisis finansial 2008 ketika bank sentral AS menyelamatkan sejumlah korporasi besar yang sebenarnya tidak hati-hati mengelola keuangannya.

600 miliar dolar AS dana talangan dipompakan bank sentral ke dalam korporasi-korporasi keuangan yang disebut "too big too fail" itu tapi sebenarnya selamat akibat koneksi kuat dengan sistem kekuasaan.

Bailout itu memompakan pasokan uang sampai senilai 1,8 triliun dolar AS yang ironisnya sebagian besar berputar di Wall Street di mana Bursa Efek New York atau NYSE dan Nasdaq berada.

Di NYSE itu ada 2.400 perusahaan yang listing, termasuk 514 perusahaan asing yang kebanyakan perusahaan raksasa di negaranya dan memiliki kemampuan menulari sentimen di bursa nasionalnya.

Baca juga: Sandiaga sarankan pelaku industri parekraf ganti kompor BBM ke listrik


Tak seimbang

Dengan anggota bursa yang valuasi pasar per harinya triliunan dolar dan karena Wall Street menjadi benckmark pasar keuangan global serta karena aksi korporasi pada emiten di sini acap menjadi sentimen global, maka yang terjadi di Wall Street hampir selalu direspons oleh pasar keuangan dunia, termasuk Indonesia.

Respons itu kadang tak menapak realitas, apalagi pergerakan harga pasar keuangan memang acap didorong oleh psikologis pasar yang berpusat kepada penaksiran risiko atas ketidakpastian berkaitan dengan ekonomi, ketimbang faktor fundamental pasar atau emiten.

Ini pula yang terjadi saat ini ketika asset-asset perusahaan di pasar ekonomi berkembang di Asia dijauhi oleh investor karena alasan inflasi tinggi yang menekan kawasan ini, padahal inflasi di kawasan-kawasan lain termasuk AS, jauh lebih tinggi.

Tapi memang, hampir setahun ini inflasi tinggi tengah menerkam ekonomi global, dan semuanya berawal dari pandemi COVID-19.

Sempat menghentikan denyut ekonomi dunia, pandemi kemudian mereda untuk mendorong ekonomi global menggeliat kembali. Namun justru ketika roda mulai berputar kembali, dunia disergap krisis rantai pasokan.

Pandemi menyebabkan pelabuhan-pelabuhan menghentikan operasi dan produksi komponen sehingga waktu pengiriman menjadi sangat tidak pasti. Di beberapa negara, bahkan banyak perusahaan tak bisa berproduksi karena masalah tenaga kerja di mana lockdown membuat orang terbiasa kerja dari rumah.

Ketika barang siap dipasarkan, timbul masalah logistik ketika banyak pelabuhan tidak bisa difungsikan normal, termasuk lockdown di China yang membuat banyak barang tak bisa dikirimkan padahal perusahaan induknya di luar negeri dan konsumen global menantikan barang-barang itu tersedia di pasar.

Di negara-negara maju seperti AS, Inggris dan Jepang, gangguan rantai pasokan bahkan bukan hanya diakibatkan oleh operasi pelabuhan yang terhambat atau kargo yang telat membongkar muatan, tapi juga oleh kekurangan sopir truk yang mengangkut barang ke tujuan akhir.

Penyebabnya macam-macam, termasuk profesi sopir truk tak lagi menjadi pilihan manusia era super-digital ini.

Ini memang hanya satu faktor di balik tersumbatnya logistik global, tapi situasi ini membuat jumlah barang yang tersedia di pasar tak seimbang dengan jumlah uang yang sudah disiapkan untuk membeli barang.

Padahal selama pandemi bank sentral Amerika dan hampir semua bank sentral di seluruh dunia mencetak uang triliunan dolar AS untuk menambal konsekuensi dari berhentinya kegiatan usaha akibat langkah-langkah terkait pandemi.

Situasi ini menciptakan ketidakseimbangan antara permintaan dan pasokan yang membuat harga-harga naik dan pada akhirnya memicu kenaikan inflasi.

Di AS, Inggris dan Jerman, inflasi mencapai rekor tertinggi dalam 40 tahun terakhir, di Amerika Latin mencapai tertinggi dalam 15 tahun, sedangkan di sub-sahara Afrika inflasi tahun ini mencapai 12,2 persen, di Belanda naik tiga kali lipat menjadi 9,2 persen, Australia berlipat ganda menjadi 5,3 persen, dan di Indonesia mencapai tertinggi sejak 2017.

Baca juga: Survei ungkap 67 persen warga AS gunakan tabungan hadapi inflasi


Terancam resesi global

Tren ini mencemaskan karena menggerogoti kemampuan nasional sampai kawasan-kawasan seperti Asia Selatan dilanda krisis akut yang membuat Sri Lanka dilanda krisis hebat yang memaksa utang luar negerinya dinyatakan gagal bayar.

Di Pakistan, PM Imran Khan mundur karena mosi tidak percaya menyusul gejolak harga yang tak terkendali yang seperti Sri Lanka juga sebagian dipicu oleh posisi utang luar negeri yang tidak seimbang dengan output ekonomi nasional.

Krisis rantai pasokan juga diperparah oleh perang di Ukraina yang membuat harga pangan membumbung tinggi karena Rusia memblokade keluarnya produk pangan dunia dari Ukraina lewat Laut Hitam.

Perang itu juga memicu krisis energi, bukan saja karena Barat mengembargo minyak dan gas Rusia, tapi juga karena saat bersamaan produsen-produsen minyak di luar Rusia enggan meningkatkan produksi.

Alhasil, permintaan yang seketika tinggi setelah ekonomi bergairah lagi setelah pandemi mereda, tidak diimbangi oleh tersedianya barang di pasar, termasuk pangan dan produk energi. Kalaupun ada, harganya sudah naik kelewat besar.

Entah karena dampak pandemi atau perang di Ukraina, tapi situasi ini sekilas seperti disengaja sehingga orang-orang seperti Nomi Prins menyebutnya sebagai distorsi harga. Apalagi setelah pandemi mereda, ada keinginan besar dari sektor bisnis untuk menutupi rugi karena usaha terhenti selama pandemi.

Pada sektor energi misalnya, harga minyak yang tinggi pasti menguntungkan perusahaan minyak raksasa, termasuk investor-investornya.

Tak heran Presiden AS Joe Biden mengkritik kenyataan ini dengan mendesak raksasa-raksasa minyak dunia agar tak hanya memikirkan untung. "Don’t just reward yourself," kata Biden dalam wawancara dengan AP baru-baru ini.

Gabungan pandemi, perang Ukraina dan perilaku tamak sebagian kecil manusia tapi menguasai bagian terbesar hajat hidup orang kebanyakan, menjadikan kenaikan harga menjadi sangat sulit dikendalikan.

Akibatnya pula bank-bank sentral seluruh dunia semakin intensif memerangi inflasi untuk mendinginkan keadaan ini dengan cara menaikkan suku bunga.

Ini ironi karena ketika pandemi mereda semestinya dunia membutuhkan insentif yang membuat sektor usaha bergerak di bawah suku bunga rendah, bukan malah menaikkan suku bunga.

Tapi apa daya, tren inflasi tinggi membuat dunia terancam masuk jurang resesi global. Ini skenario mengerikan sekaligus ironi karena pandemi yang mereda seharusnya membuat perekonomian tidak lagi sesulit semasa puncak keganasan pandemi.

Gambaran ini menunjukkan perekonomian dunia sudah amat rumit sehingga tak bisa lagi hanya didekati oleh formula standard sekalipun kolaborasi global tetap rumus dasar mencegah situasi menjadi lebih buruk, selain pengelolaan utang luar negeri dan impor yang baik.

Baca juga: Argentina naikkan suku bunga 300 basis poin karena inflasi melonjak
Baca juga: Indef: RI perlu tingkatkan kerja sama diplomasi global atasi inflasi

Copyright © ANTARA 2022