Jakarta (ANTARA) - Juru Bicara Indonesia untuk G20, Siti Nadia Tarmizi mengatakan The 1st G20 Health Ministers Meeting (1st HMM) Yogyakarta 2022 melahirkan kesepakatan pembentukan Financial Intermediary Fund (FIF) dan konsep GISAID+.

"Bentuknya adalah kesepakatan terhadap adanya FIF melalui penandatanganan draf kesepakatan tentang mekanisme mengakses FIF dan kesepakatan untuk pembahasan lebih lanjut GISAID+ ," kata Siti Nadia Tarmizi yang dikonfirmasi di Jakarta, Selasa.

Nadia mengatakan pertemuan pertama para Menteri Kesehatan Forum G20 bidang kesehatan itu berlangsung di Ballroom Keraton Hotel Marriot Yogyakarta pada 20-21 Juni 2022.

Baca juga: Diplomasi Indonesia di 1st HMM Yogyakarta

Dua kesepakatan itu digagas 1st HMM dengan melibatkan para pejabat senior serta pakar, seperti Dirjen World Health Organization (WHO), Tedros Adhanom Ghebreyesus, CEO Coalition for Epidemic Preparedness Innovation (CEPI) Richard Hatchett, Sekjen Organization for Economic Co-operation and development (OECD) Mathias Cormann, Pejabat Senior Global Fund dan Pejabat Senior Global Initiative on Sharing All Influenza Data (GISAID).

"Tentunya pertemuan di Yogyakarta adalah tingkat working group, jadi sifatnya senior officer atau expert. Selanjutnya, akan membahas dari segi teknis, kemudian dibawa menjadi pembahasan di tingkat menteri kesehatan," katanya.

Pembentukan FIF merupakan antisipasi atau kesiapsiagaan untuk merespons situasi pandemi (Pandemic Preparedness and Response/PPR) di masa mendatang.

Presidensi Indonesia memimpin jalannya langkah diplomasi di tataran G20 bidang kesehatan seputar isu tata kelola dan pengaturan operasional.

Berdasarkan penilaian WHO dan World Bank, terdapat kesenjangan pembiayaan signifikan yang perlu ditangani. WHO memperkirakan kebutuhan anggaran untuk sistem kesehatan global menghadapi pandemi di masa depan berkisar 31 miliar dolar AS per tahun.

Baca juga: Dirjen WHO kenakan batik Yogyakarta yang bermakna ketenangan

Sejalan dengan perkiraan G20 high level independent, WHO memperkirakan sekitar 20 miliar dolar AS, diantaranya berasal dari sumber daya domestik. "Sehingga, terdapat kekurangan 10 miliar dolar AS setiap tahunnya,” kata Dirjen WHO Tedros Tedros Adhanom Ghebreyesus saat menghadiri 1st HMM di Yogyakarta.

Dalam pertemuan itu, Indonesia berhasil mendorong kerja sama multilateral G20 dengan menggalang pengumpulan dana FIF mencapai lebih dari 1 miliar dolar AS.

Negara yang sudah memberikan komitmen pendanaan FIF, di antaranya Indonesia 50 juta dolar AS, Singapura 10 juta dolar AS, Amerika Serikat 450 juta dolar AS, Uni Eropa 450 juta dolar AS, Jerman 52,7 juta dolar AS, dan Wellcome Trust 12.3 juta dolar AS.

Terkait kesepakatan GISAID+, Indonesia sedang menempuh diplomasi untuk menambah varian virus, selain influenza, yang dilaporkan dari setiap negara di dunia dalam upaya berbagi data informasi virus berpotensi memicu pandemi.

GISAID+ diharapkan bisa menjadi wadah diskusi antarpeneliti agar dicapai kesepakatan bersama terkait langkah mitigasi yang tepat di seluruh negara.

"Yang membedakan GSAID saat ini dengan GISAID+, ada pada perluasan jenis virus yang dilaporkan. Bukan hanya satu saja, influenza, tapi untuk semua jenis bakteri atau virus yang non-influenza juga dilaporkan dalam platform itu," kata Nadia.

Baca juga: WHO dorong investasi G20 tanggulangi Tuberkulosis

Baca juga: Kemenkes: Konsep GSAID+ tingkatkan respons negara hadapi pandemi


Siti Nadia Tarmizi yang juga Sekretaris Ditjen Kesehatan Masyarakat Kemenkes RI mengatakan seluruh kesepakatan tersebut memerlukan dukungan sampai ke tingkat kepala negara.

Pembahasan terkait mekanisme akses FIF dan GISAID+, kata Nadia, kembali didiskusikan melalui Forum Health Working Group (HWG) 2 dan 3 tingkat Menteri Kesehatan dan Menteri Keuangan G20 sekitar September 2022.

"Untuk Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 direncanakan digelar di Bali November 2022 untuk mencapai kesepakatan pimpinan dunia," katanya.

Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2022