Jakarta (ANTARA News) - Berbagai kalangan mempersoalkan kehadiran "Pay TV Service" (TV berlangganan) asing, karena dinilai belum memenuhi persyaratan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permen Kominfo), sehingga mereka meminta pemerintah meninjau ulang ijin yang telah diberikan kepada Astro Malaysia. "Pemerintah harusnya konsisten dalam menerapkan aturan. Jangan sampai kita mengorbankan harga diri bangsa, dengan mengatasnamakan investasi asing sehingga peraturan di-costumize," kata Anggota Komisi I DPR-RI Drs Deddy Djamaludin Malik, di Jakarta, Minggu. Dijelaskannya, penyelenggaraan TV berlangganan yang melakukan kerjasama dengan pihak asing, berlaku persyaratan yang harus dipenuhi sesuai UU Penyiaran No 32 tahun 2002, antara lain satelit asing harus mendapatkan ijin landing right (hak labuh). "Salah satu syarat landing right bagi satelit asing yang masuk ke Indonesia adalah prinsip reciprocal, jika satelit asing dapat masuk ke Indonesia maka negara asal juga harus membuka diri untuk satelit kita, nah ini tidak dilakukan karena Malaysia kan menjaga harga diri bangsa," katanya. Selain itu, ia juga mensinyalir ada beberapa fakta yang disembunyikan yang seharusnya diketahui publik. "Misalnya soal kepemilikan asing, yang tadinya asing memiliki saham 51 persen perusahaan itu, kini menjadi 20 persen. Kok penjelasannya kepada publik tidak transparan?", ujar Dedy. Oleh karena itu, katanya, ia akan meminta DPR-RI untuk memanggil Menkominfo dan juga perusahaan penyelenggara TV berlangganan asing, untuk menjelaskan duduk persoalan dalam masalah perijinan ini. Rencana pemanggilan oleh DPR-RI tersebut ditanggapi positif oleh Koordinator Komite Pengawas Informatika, Achmad Kholid. "DPR memang harus menegakkan harga diri bangsa, jangan sampai kasus investasi asing di bidang pertambangan juga terjadi di bidang informatika." katanya. Achmad Kholid mengatakan, DPR harus berani memanggil Menkominfo dan Astro Malaysia, untuk menjelaskan kecurigaan masyarakat, mengapa Astro Malaysia sudah berani melakukan aktifitasnya di Indonesia, sedangkan ijin yang dilakukan belum lengkap. "Begitu juga pemerintah, kok peraturan yang dibuat ditabrak sendiri oleh pemerintah," katanya. Sebelumnya Ketua Asosiasi Satelit Indonesia (ASSI) Tonda Priyanto juga menilai pemerintah cq Menkominfo Sofyan Djalil tidak konsisten dalam menerapkan Peraturan Menteri Kominfo Nomor13/P/ M.Kominfo/8/2005 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi yang Menggunakan Satelit. Sesuai pasal 6 Peratutan Menteri tersebut penyelenggaraan telekomunikasi yang menggunakan satelit terkait dengan hak labuh akan diberikan penyelenggara telekomunikasi atau lembaga penyiaran berlangganan dalam rangka bekerjasama dengan penyelenggara telekomunikasi asing. Hak labuh diberikan dengan dua syarat, yaitu satelit asing tersebut telah menyelesaikan koordinasi satelit dan tidak menimbulkan interferensi yang merugikan (harmful interference) dengan satelit Indonesia maupun stasiun radio yang telah berizin. Selain itu juga disebutkan terbukanya kesempatan yang sama bagi penyelenggara satelit Indonesia untuk berkompetisi dan beroperasi di negara asal penyelenggara satelit asing tersebut. Namun, menurut Tonda, ketentuan negara lain berbeda, sehingga menyulitkan pemain lokal yang ingin masuk ke negara lain, meskipun mereka mudah masuk ke Indonesia.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006