Karena gambut itu sejatinya tidak boleh kering. Harus basah terus
Palembang (ANTARA) - Hasil penelitian yang dilakukan salah seorang periset di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan mengungkapkan nilai kerugian kebakaran lahan gambut mencapai Rp269 juta per hektare.

Kepala Bidang Perlindungan Konservasi SDM Ekosistem Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan Safrul Yunardy mengatakan penelitian yang dilakukannya itu juga menunjukkan bahwa masyarakat menjadi pihak yang paling dirugikan hingga mencapai 59 persen, kemudian perusahaan 27 persen dan pemerintah 14 persen.

“Dari riset terbaru saya ini setidaknya kerugian akibat kebakaran di areal gambut itu dapat dihitung. Dengan begitu dapat menjadi rujukan dalam menentukan saksi hukum,” kata Safrul di Palembang, Kamis.

Ia mengatakan tak hanya kerugian dari sisi nominal, karhutla di areal gambut juga menyebabkan kerusakan lingkungan terutama dengan berkurangnya cadangan karbon di dalam tanah.

Ini karena lahan gambut itu 99,94 persen berada di bawah permukaan tanah dan hanya 0,06 persen di atas permukaan tanah. Dalam 13 jam, berdasarkan hasil risetnya didapati sebanyak 1.500 hektare terbakar padahal awalnya hanya ada empat hotspot.

Atas dasar perhitungan ini maka sejatinya, karhutla itu tak boleh terjadi karena kerugian yang diderita demikian luar biasa, baik bagi masyarakat maupun lingkungan.

Baca juga: 67 persen wilayah Sumsel masuk kerawanan tinggi karhutla

Baca juga: KLHK: Luas areal karhutla menurun signifikan dalam enam tahun


Bahkan, ia menyatakan bahwa keberhasilan dalam mencegah karhutla itu samah hal dengan keberhasilan dalam mencegah masyarakat untuk menjadi miskin.

Oleh karena itu, persoalan karhutla ini tak bisa dipandang sebelah mata dan harus menjadi tanggung jawab semua pihak, apalagi Sumsel memiliki sekitar 1 juta hektare areal gambut.

“Sumsel persoalan di lahan gambutnya itu. Berbeda dengan kebakaran di lahan mineral yang mana arah api itu ke samping, ke atas atau patah. Tapi di lahan gambut memang benar-benar beda karena kebakaran terjadi di bawah permukaan tanah sehingga arah api tidak bisa dibaca,” kata dia.

Hal ini menjadi tantangan sendiri terutama di daerah yang ‘langganan’ mengalami karhutla setiap tahunnya.

“Mengapa ini selalu terjadi berulang, ya karena gambut itu sejatinya tidak boleh kering. Harus basah terus,” ujar dia.

Air di dalam kawasan gambut jika dibiarkan saja maka dalam waktu tujuh hari akan kembali ke sungai, namun dengan dibuatkan sistem kanalisasi maka membuat air tertahan di lokasi yang dikehendaki.

“Kami mengamati sendiri pada sebuah lokasi terbakar pada 2019. Karena tidak dilakukan pembasahan pasca terbakar, terjadi kebakaran lagi di tempat yang sama,” kata dia.

Hingga kini Sumsel masih belum lepas dari intaian kebakaran hutan dan lahan setelah sempat mengalami kejadian hebat pada 2015 yang menghanguskan setidaknya 700 ribu hektare.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Sumatera Selatan telah menetapkan status siaga karhutla pada 9 April-November 2022.

Baca juga: Sumsel pastikan rencana perlindungan gambut masuk dalam RPJMD

Baca juga: Peneliti ICRAF munculkan model bisnis untuk desa gambut Sumsel

Pewarta: Dolly Rosana
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2022