Jakarta (ANTARA) - Tanggal 12 Juli 2022 Indonesia memperingati Hari Koperasi Nasional (Harkopnas) ke-75 dan sebagaimana beberapa tahun terakhir masih ditandai dengan upaya memperkuat koperasi melalui perundang-undangan dan regulasi.

Undang-Undang Perkoperasian Nomor 25 Tahun 1992 yang telah berusia 30 tahun memang dianggap kurang relevan dengan perkembangan dunia usaha yang terjadi begitu pesat, baik pada ranah bisnis keuangan maupun sektor riil.

Penyusunan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkoperasian dan penyempurnaannya ditargetkan dapat diselesaikan pada Oktober 2022 agar segera dibahas di DPR pada 2023. Draf RUU ini merupakan pengganti dari UU Perkoperasian Nomor 17 Tahun 2012 yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian sampai saat ini dinyatakan masih tetap berlaku untuk sementara waktu, sampai ditetapkan undang-undang yang baru.

Namun seiring perkembangan zaman UU ini memerlukan penyempurnaan agar tetap relevan bagi upaya membangun koperasi yang kental dengan marwah ke-Indonesiaan, koperasi yang sesuai dengan cita-cita Bung Hatta dalam membangun perekonomian rakyat, dan koperasi yang betul-betul dapat memberikan kesejahteraan pada anggota dan masyarakat luas.

RUU Perkoperasian sebetulnya telah ada di DPR sejak akhir 2019, namun masih tertunda dengan status carry over (pengalihan pembahasan). Mestinya dengan status itu, pemerintah hanya membahas hal yang belum disepakati saja. Tapi status itu sudah berakhir, pembahasan pun dimulai dari nol lagi.

Isu-isu menarik merupakan reaksi atas apa yang terjadi pada dunia perkoperasian Tanah Air saat ini. Kejadian 8 koperasi gagal yang diklaim telah membuat kerugian senilai Rp 26 triliun yang sempat heboh tahun ini juga menjadi pokok bahasan menarik. Upaya preventif agar kejadian ini tidak berulang, menjadi kajian terkait fungsi pengawasan koperasi harus dilakukan.

Keberadaan LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) khusus koperasi dan adanya aturan sanksi pidana atas praktek yang merugikan koperasi turut menjadi bahasan penting. Tentu saja semua pembahasan diletakkan pada prinsip dan nilai koperasi yang sebenar-benarnya.

Penguatan koperasi sebagai lembaga keuangan juga menyoal tentang kepailitan koperasi. Koperasi sebagai lembaga keuangan seharusnya seperti perbankan dan asuransi ketika menghadapi permasalahan kepailitan harus diselesaikan dengan mekanisme baku sebagai lembaga keuangan.

Koperasi harusnya tidak bisa dengan mudah masuk proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) kecuali lembaga otoritas, sebagaimana yang diatur oleh UU PKPU. Lebih dalam lagi permasalahan koperasi harus diselesaikan dengan mekanisme koperasi di mana anggota adalah pemilik, pengguna, dan pengendali koperasi.

Baca juga: Omnibus Law disarankan muat aturan terkait LPS Koperasi


Pengawasan Koperasi

Isu pengawasan masih menjadi isu yang sangat menarik untuk dikaji, ada yang ingin membawa pengawasan koperasi ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Untuk menentukan siapa yang berhak mengawasi koperasi, maka semua pihak harus melihat prinsip, nilai, dan jati diri koperasi.

Jika ditinjau lebih dalam tentang koperasi, koperasi menjadikan anggota sebagai subjek paling penting. Anggota adalah pendiri sehingga dengan sendirinya mereka adalah pemilik (owner) dan pengendali (controller). Namun mereka juga adalah pengguna (user atau customer).

 Oleh karenanya menguatkan koperasi haruslah menguatkan mekanisme kontrol antara ketiga komponen yang melekat pada anggota.

Para penggiat koperasi tentu setuju koperasi diperkuat dengan pengawasan internal dan harus seiring dengan upaya menguatkan pengawasan KemenKopUKM serta turunannya pada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.

Penguatan kelembagaan melalui pengawasan yang kuat dari anggota. Sejak masuk anggota telah diberikan pendidikan berkoperasi yang baik sehingga mereka tahu betul hak dan kewajiban.

Anggota dapat memberikan masukan kapan saja, melalui mekanisme yang sah yang diciptakan oleh koperasi. Pengawas koperasi juga merupakan kepanjangan tangan yang dapat memberikan masukan kepada pengurus tentang aspirasinya.

Sebagai lembaga keuangan koperasi memang berbeda dengan perbankan yang kepemilikannya hanya dimiliki oleh beberapa orang/pihak.

Koperasi yang maju bahkan harusnya dimiliki oleh ratusan ribu atau bahkan jutaan orang. Semakin banyak orang bergabung menjadi anggota koperasi maka koperasi akan semakin mudah untuk memperkuat basis kapitalnya.

Sesuai dengan prinsip otonomi pada koperasi maka pengawasan kelembagaan dan unit usahanya harus menjadi tanggung jawab anggotanya. Namun untuk menilai kesehatan dan melakukan pengawasan KemenkopUKM dan turunannya dapat mengawasi sesuai dengan regulasi yang ada.

Berbicara tentang penguatan koperasi melalui perundang-undangan, saat ini paling tidak ada 3 RUU yang sedang dibahas yakni RUU Perkoperasian, RUU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK), dan RUU tentang pembaruan UU Lembaga Keuangan Mikro (LKM).

Ketiga RUU ini setelah disahkan idealnya tidak boleh saling bertubrukan satu-sama lain, oleh karena terkait dengan kepentingannya untuk memajukan koperasi harus ada latar belakang dan definisi yang sama terhadap koperasi.

RUU PPSK yang sedang dirumuskan oleh Komisi XI DPR RI didedikasikan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang inklusif. RUU ini didesain mirip konsep Omnibus Law dengan mengintegrasikan kurang lebih 16 UU di sektor keuangan.

RUU PPSK yang berupaya meningkatkan pendalaman, efisiensi, inklusi, serta meningkatkan kepercayaan pasar di sektor keuangan dalam meningkatkan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan sustainable menuju Indonesia yang sejahtera, maju, dan bermartabat ini jangan sampai justru mematikan peran koperasi sebagai salah satu pelaku pada industri keuangan non-bank yang berbasis anggota.

RUU PPSK diklaim mampu meningkatkan efisiensi sektor keuangan. Pertama, perluasan jangkauan, produk, dan basis investor.

Kedua, mempromosikan investasi jangka panjang. Ketiga, meningkatkan kompetisi untuk mendukung efisiensi. Keempat, memperkuat mitigasi risiko. Dan kelima, meningkatkan perlindungan investor dan konsumen.

Penekanan pada 5 aspek ini tentu berbeda antara kelembagaan koperasi dengan non-koperasi seperti perbankan misalnya.

Oleh karena itu pengawasan koperasi menjadi tidak relevan jika dibawa pada konsep pengawasan OJK. Koperasi yang dimiliki oleh anggota sudah cukup dengan membentuk mekanisme pengawasan internal melalui pembentukan pengawas pada Rapat Anggota Tahunan (RAT).

Baca juga: Teten utamakan revisi UU Perkoperasian untuk tangani 8 KSP bermasalah


Keuangan Mikro

Pada 20 Juni 2022 penulis mendapat undangan sebagai salah satu pemateri pada kegiatan Uji Sahih RUU tentang perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 2013 tentang LKM yang merupakan kegiatan kerja sama Komite IV DPD RI dengan Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Untirta Banten.

Beberapa kajian dalam diskusi saat itu menyebutkan LKM perlu berinovasi menghadapi perkembangan zaman dan ketatnya persaingan industri keuangan. Salah satu LKM yang disimpulkan perlu berinovasi adalah koperasi.

Dalam kesempatan ini penulis menilai koperasi dapat menjadi sebuah pilihan penyelamat ekonomi depan karena ada sistem gotong-royong antar anggota jika dibangun serius dengan ekosistem yang memadai.

Koperasi harus kembali pada marwah koperasi yang sebenarnya. Koperasi harus dijaga dari kepentingan-kepentingan segelintir orang yang ingin memanfaatkan koperasi untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu.

Koperasi akan gagal dan hancur jika terdapat kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok yang mendominasi dan keluar dari tujuan awal berdirinya koperasi.

Khususnya terhadap tinjauan RUU LKM akan sangat riskan menurunkan ketentuan permodalan pemerintah daerah dari 60 persen menjadi 25 persen. Kondisi ini akan memancing masuknya kepentingan-kepentingan yang tidak lagi berpihak pada kepentingan untuk membangun ekonomi masyarakat.

Penulis berpendapat untuk menciptakan berkembangnya akses keuangan bagi masyarakat luas maka hanya perlu dibangun industri perbankan yang sehat di satu sisi dan koperasi yang kuat di sisi yang lain.

Pemerintah provinsi saat ini telah memiliki Bank Pembangunan Daerah, pemerintah kabupaten/kota juga telah mendirikan bank-bank perkreditan rakyat, sementara di desa-desa juga telah banyak berdiri Bumdes yang bergerak pada sektor simpan pinjam.

Dengan adanya UU LKM sebenarnya koperasi dibuat bimbang apakah memilih harus memilih diawasi oleh OJK atau diawasi oleh KemenkopUKM.

Namun jika merujuk pada UU LKM bahwa ada koperasi yang boleh melayani non-anggota dan bisa diawasi oleh OJK, sebetulnya ini akan membuat kerancuan terhadap pengertian koperasi yang sebenarnya. Koperasi yang sebenarnya dipahami bahwa anggota adalah pemilik, pengguna dan pengendali.

Koperasi harus menciptakan ekosistem tersendiri dalam bentuk kepengawasannya, koperasi saat ini harus tercipta sebagai bentuk closed loop economic yang berputar-putar untuk membangun ekonomi anggota. Melalui perumusan perundangan yang tepat dan tidak tumpang-tindih koperasi harus semakin kuat.

Ke depan diperlukan sinergi perundang-undangan untuk membangun ekosistem koperasi yang kuat di Indonesia, dengan demikian RUU PPSK yang antara lain akan mengatur koperasi dan lembaga keuangan mikro harus tidak boleh bertentangan dengan RUU Perkoperasian.


*Kamaruddin Batubara, SE, ME
Presiden Direktur Koperasi BMI Grup, Penerima Anugerah Satya Lancana Wira Karya Presiden RI 2018, Penulis Buku Model BMI Syariah, dan Anggota Tim Pokja RUU Perkoperasian KemenkopUKM RI

Copyright © ANTARA 2022