kita mendorong public trust repository
Jakarta (ANTARA) - Pandemi COVID-19 yang melanda lebih dari dua tahun ini membuat tiap negara menciptakan kebijakan penanganan yang beragam. Hal itu tentu saja menuntut pelaku perjalanan luar negeri harus menyesuaikan diri mengikuti protokol kesehatan otoritas di negara tujuan.

Tentunya, kita dapat melihat adanya karakteristik penanganan COVID-19 yang jauh berbeda di tiap-tiap negara. Masing-masing ada yang memperketat, maupun melonggarkan protokol kesehatan.

Contohnya seperti yang dialami di negara maju Hong Kong, China. Seorang diaspora Indonesia Vera Carolin Indaryoko, yang menetap di negara tersebut, kerap melalui penanganan COVID-19 yang berbeda di negara tujuan rute penerbangannya saat bertugas sebagai pramugari salah satu maskapai internasional.

Misalnya, saat Vera diharuskan bertugas di rute penerbangan dari Hong Kong ke China daratan, di mana wilayah tersebut menerapkan kebijakan Zero COVID-19 Policy. Sebelum bertugas, Vera dianjurkan untuk tidak bertugas kemanapun selama 14 hari.

Ia menjelaskan, yang masih ketat itu cuma saat terbang ke China daratan sehingga jika akan beroperasi ke sana, kru pesawat harus bebas tugas selama 14 hari dan biasanya cuma boleh menjalankan rute Hong Kong ke China daratan.

Sementara untuk pendatang menuju Hong Kong, baik pengunjung maupun penduduk diharuskan untuk menunjukkan hasil tes PCR 48 jam sebelum penerbangan, menunjukkan surat vaksin, dan karantina di hotel yang sudah ditunjuk dengan biaya sendiri.

Bahkan sebelumnya, masa karantina untuk masuk wilayah Hong Kong untuk pengunjung dan penduduk dilakukan 14-21 hari. Setelah masa karantina, pelaku perjalanan wajib mengunggah data kesehatan, dan menggunakan aplikasi ponsel Leave Home Safe untuk memasuki tempat umum guna skrining otomatis.

Baca juga: Satgas: WNI keluar negeri wajib sudah vaksinasi booster
Baca juga: Kapuskes TNI sebut mayoritas pasien COVID-19 Wisma Atlet adalah PPLN

Aturan Benua Eropa 

Hal itu dirasa ia sangat berbeda, ketika beroperasi ke rute penerbangan luar negeri seperti ke negara-negara di benua Eropa, maupun negara Amerika Serikat (AS) dalam waktu 2-3 bulan ke belakang.

Di sana itu menurutnya, agak longgar karena sudah tidak wajib pakai masker, bahkan di dalam pesawat.

Negara tersebut hanya mewajibkan pendatang telah divaksinasi lengkap dan bebas tes PCR. Apabila pendatang tidak menjalani vaksinasi, tes antigen pun sudah memungkinkan, kata dia.

Jika Hong Kong memperketat protokol kesehatannya hingga kini, lain halnya dengan AS yang melonggarkan protokol kesehatan COVID-19 bagi warganya.

Diaspora Indonesia di AS, Deasy Taylor menceritakan bahwa di negara tersebut mulai bulan November 2021 sudah tidak mewajibkan penggunaan masker baik di dalam dan luar ruangan, moda transportasi umum, kecuali diwajibkan di fasilitas kesehatan .

Selain itu, pengunjung tidak perlu lagi untuk menunjukkan kartu vaksinasi COVID-19 untuk masuk ke tempat umum. Tidak ada pembatasan wilayah, maupun tes massal jika ditemukan kasus konfirmasi. Namun dianjurkan untuk melakukan tes mandiri dan karantina mandiri jika merasakan gejala atau orang terdekat terkena COVID-19, kata perempuan yang bekerja sebagai perawat itu.

Kebijakan di AS juga mengatur bagi yang sudah vaksinasi penguat atau booster, dapat beraktivitas setelah lima hari karantina walau masih positif. Sementara yang belum mendapatkan vaksin penguat, harus mengkarantina diri selama seminggu.

Di samping itu, Deasy juga mengaku merasakan kemudahan untuk mengurus dokumen kesehatan, mengikuti kebijakan pelaku perjalanan luar negeri saat pulang ke Indonesia beberapa waktu lalu.

Baca juga: Kebijakan pada PPLN cukup untuk cegah varian baru COVID-19
Baca juga: Menparekraf imbau wisman tetap jaga prokes di destinasi wisata

Indonesia cukup longgar 

Menurutnya, kebijakan untuk pelaku perjalanan luar negeri yang akan memasuki Indonesia saat ini cukup longgar dengan protokol kesehatan yang tidak rumit, ditambah lagi ia merasakan kemudahan saat menggunakan aplikasi PeduliLindungi di tempat umum.

Bermacam-macam kebijakan protokol kesehatan di tiap negara dibuat bertujuan untuk capaian pemulihan kesehatan, juga ekonomi. Pada akhirnya, perbedaan penanganan COVID-19 mencuatkan prioritas utama di tingkat tinggi, yakni harmonisasi standar protokol kesehatan.

Dalam Presidensi G20 Indonesia yang menjadi momentum untuk memperkuat arsitektur kesehatan, isu tersebut menegaskan bahwa mobilisasi manusia di seluruh dunia diliputi risiko kesehatan, terutama di masa pandemi COVID-19.

Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Welcoming Remarks High Level International Seminar  Strengthening Global Health Architecture, pada 17 Februari 2022 menekankan harmonisasi standar protokol kesehatan global tersebut, akan mencakup harmonisasi pedoman kesehatan global, serta konektivitas sistem informasi kesehatan antarnegara yang berbeda untuk perjalanan internasional.

Harmonisasi dokumen informasi terkait COVID-19, atau standar protokol kesehatan sangat penting untuk mempromosikan mobilitas global dan mempercepat pemulihan ekonomi.

Juru Bicara G20 Kementerian Kesehatan RI Siti Nadia Tarmidzi mengatakan saat ini pemerintah Indonesia mulai melonggarkan pembatasan perjalanan, sambil menerapkan langkah-langkah mitigasi risiko kesehatan, termasuk protokol kesehatan.

Harmonisasi dilakukan melalui pendekatan berbasis risiko sambil mempertimbangkan faktor-faktor lain seperti epidemiologi penyakit dan kapasitas sistem kesehatan.

Beberapa aspek penting dalam harmonisasi standar protokol kesehatan tersebut meliputi aspek politik dan hukum, kapasitas dan keterjangkauan negara, masalah etika, teknis, kemampuan beradaptasi dengan situasi yang berubah cepat, dan penggunaan teknologi.

Negara-negara G20 akan diundang untuk berpartisipasi dalam proyek percontohan di Global Public Trust Repository. Proyek tersebut membutuhkan anggota G20 untuk membagikan kunci-publik dan akan disimpan dalam platform repositori sehingga memungkinkan untuk sistem memverifikasi asal-usul sertifikat.

Dokumen terkait COVID-19 dari warga negara di negara G20 akan dikenali melalui kode QR di sertifikat pada saat kedatangan dan keberangkatan dengan tetap melindungi privasi dan keamanan data.

Terpisah, Nadia dalam sebuah wawancara daring menyebut prioritas dalam harmonisasi standar protokol kesehatan adalah rekognisi, atau upaya mengenal berbagai macam sertifikat vaksin dari seluruh negara. Tidak hanya vaksin COVID-19, namun juga untuk vaksin vaksin penyakit lainnya, melalui Health Working Group.

Rekognisi tersebut, kata Nadia, sudah ada konsensusnya pada tingkat negara-negara Asia Tenggara dengan menggunakan unique identifier, sehingga dapat terbaca di seluruh negara.

"Kita mendorong public trust repository untuk kemudian sebagai badan, dimana nanti bisa mengatur rekognisi sertifikat vaksin dari berbagai negara bisa digunakan pada pelaku perjalanan, betul-betul bisa digunakan pada seorang pelaku perjalanan tanpa harus mengganti ganti sistem informasi atau aplikasinya," kata dia.

QR Code berstandar internasional kini tengah dikembangkan melalui tes virtual dari Federated Public Trust Directory pada Mei 2022, dan tengah dilakukan sosialisasi pada pimpinan G20.

Selanjutnya pada Juni-Juli 2022 akan dilakukan uji coba koneksi virtual dan pengesahan di tingkat Menteri Kesehatan G20. Diharapkan terjadi kesepakatan QR Code tersebut pada Agustus-Oktober 2-22.

Jika telah disepakati, mekanisme tersebut mulai diterapkan di negara-negara Asia Tenggara, kemudian negara G20 dan Uni Eropa.

Dengan mekanisme Federated Public Trust Directory, jaringan yang berbeda diselaraskan menggunakan kode QR tunggal yang aman untuk memverifikasi sertifikat vaksin atau dokumen kesehatan yang akan difasilitasi WHO.

QR Code berstandar internasional tersebut masih dalam tahap penjajakan pada 100 negara. Indonesia sebagai pemegang Presidensi G20 turut mendukung dan mendampingi negara-negara G20 dalam implementasinya.

Harmonisasi protokol kesehatan antarnegara tentu bertujuan agar mobilisasi pelaku perjalanan luar negeri dapat dimungkinkan, meski suatu negara memberlakukan kebijakan tertentu hingga penguncian wilayah, agar roda ekonomi global tetap bergerak.

Baca juga: Pemerintah tak wajibkan tunjukkan negatif COVID-19 masuk Indonesia

Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2022