Jakarta (ANTARA) - Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan perbaikan basis pajak bisa menjadi salah satu upaya untuk meningkatkan tax ratio.

“Tax ratio kita lebih rendah dibandingkan banyak negara. Solusinya, perbaiki basis pajak,” katanya saat dihubungi Antara di Jakarta, Kamis.

Fajry berpendapat tax ratio bukanlah sebuah ukuran kinerja penerimaan pajak yang baik karena tak bisa dibandingkan begitu saja dengan negara lain.

Baca juga: Menkeu : Sistem pajak global harus tampung suara negara berkembang

Berdasarkan laporan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), negara dengan sektor pertanian yang tinggi seperti Indonesia akan memiliki tax ratio yang lebih rendah. Begitupula dengan negara yang pelaku ekonominya sebagian besar UMKM seperti Indonesia.

“Pendapatan per kapita yang rendah juga mendorong kinerja penerimaan PPh Orang Pribadi yang rendah,” ujarnya.

Sebagai solusi, lanjutnya, pemerintah harus memperbaiki basis pajak dengan mengupayakan pendapatan per kapita bangsa naik yang otomatis membuat kinerja PPh Orang Pribadi juga naik.

“Mendorong para pengusaha naik kelas dari UMKM menjadi pengusaha kelas besar. Dengan begitu setoran pajaknya akan meningkat,” tutur dia.

Kendati demikian, lanjutnya, reformasi administrasi juga penting. Pemerintah harus menemukan solusi agar praktik penghindaran pajak dapat dicegah, terutama untuk perusahaan karena sebagian besar penerimaan pajak bergantung pada PPh badan.

Selain itu, belanja perpajakan perlu dikurangi seperti fasilitas perpajakan yang tidak efektif perlu bisa dihapus termasuk rezim PPh Final yang sudah tak relevan juga perlu dihapus.

Baca juga: Nilai transaksi pembayaran pajak di Tokopedia naik tiga kali lipat

Pada peringatan Hari Pajak yang jatuh pada Kamis, Fajry berpendapat kinerja otoritas pajak dalam dua tahun terakhir sudah sangat baik dan memuaskan meski menghadapi tantangan besar berupa pandemi COVID-19.

Saat pandemi, ucapnya, otoritas pajak banyak memberikan insentif untuk meringankan mereka yang terdampak pandemi COVID-19 dan mencegah dampak pandemi menjadi lebih buruk.

Ia pun mencontohkan insentif PPh badan yang banyak menyelamatkan perusahaan dari kebangkrutan dan banyak karyawan yang selamat dari putus kerja.

Dalam masa pandemi, otoritas pajak juga berhasil melakukan digitalisasi administrasi. Terbukti, tingkat kepatuhan formal yang meningkat dalam masa pandemi. Sosialisasi melalui saran digital juga berhasil menarik wajib pajak untuk patuh.

“Terakhir, strategi sosialisasi melalui platform digital berhasil menarik WP untuk ikut program PPS,” sebutnya.

Ia juga mengapresiasi kinerja bagus dari otoritas pajak yang terlihat dari kinerja penerimaan. Meski terpukul akibat pandemi di tahun 2020, kinerja pajak kembali bangkit di tahun 2021 dan bahkan memecahkan rekor.

Kemudian di tahun 2022, kinerja penerimaan kembali melanjutkan kinerja baiknya. Per Mei 2022, kinerja penerimaan pajak tumbuh 53,58 persen.

Baca juga: Sri Mulyani terus lakukan transformasi digital untuk keuangan negara

Selain juga reformasi perpajakan melalui UU HPP (Harmonisasi Peraturan Perpajakan) yang dinilainya terbukti mampu mendorong penerimaan. Penerimaan PPN diprediksi akan mampu mendorong penerimaan sekitar Rp37 triliun. Sedangkan program PPS yang telah berlangsung telah menghasilkan penerimaan Rp61 triliun.

Kendati demikian, ia menuturkan Direktorat Jenderal Pajak masih memiliki pekerjaan rumah. Seperti core tax system yang diharapkan selesai tahun 2023. Lalu implementasi UU HPP agar bisa berjalan dengan baik serta digitalisasi perpajakan yang memiliki tantangan tersendiri bagi DJP.

“Setelah ada kesepakatan global Pillar 1 dan Pillar 2, otoritas pajak ditantang untuk dapat mengimplementasikannya dengan baik. Tentu itu bukanlah hal yang mudah, perlu asistensi dari OECD,” jelas dia.

Pewarta: Kuntum Khaira Riswan
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2022