Jika di masa depan terdapat vaksin atau pandemi baru, sistem ini dapat tetap digunakan untuk saling berbagi data kesehatan antarnegara
Jakarta (ANTARA) - Kalau kita mengingat masa-masa sebelum pandemi COVID-19, saat itu terasa begitu bebas. Tidak ada kewajiban memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, atau melakukan tes COVID-19 sebelum bepergian.

Ketika itu setiap orang bebas bepergian ke mana saja, termasuk ke luar negeri tanpa rasa takut tertular penyakit.

Sampai suatu saat pandemi COVID-19 melanda, penyakit yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2 ini menyebar dengan cepat ke seluruh dunia sejak kemunculan pertamanya di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat Tiongkok.

Penyebaran virus ini ke seluruh dunia tidak dapat dihindari meskipun telah diberlakukan penguncian (lockdown) wilayah di berbagai negara.

Pergerakan manusia dan barang dari satu negara ke negara lain tidak dapat berhenti sehingga virus mematikan itu terus menyebar dengan cepat, bahkan hingga lintas negara.

Pada saat awal terjadinya pandemi COVID-19, setiap negara berusaha mengatasi penyebaran penyakit tersebut dengan caranya sendiri-sendiri.

Para produsen vaksin juga berlomba-lomba menemukan vaksin yang paling efektif mencegah penularan COVID-19. Seiring berjalannya waktu, semua pihak menyadari bahwa mengatasi pandemi tidak bisa dilakukan sendiri, namun butuh kerja sama global.

Kesadaran itu pula yang membuat negara-negara anggota G20 harus mengambil sikap.
Presidensi G20 Indonesia 2022 melalui Health Working Group salah satunya membahas tema harmonisasi standar protokol kesehatan global.

Tema ini menjadi penting karena perbedaan standar protokol kesehatan di berbagai negara telah menyebabkan sulitnya pergerakan manusia antarnegara.

Baca juga: Harmonisasi standar prokes perkuat sistem ketahanan kesehatan global

Pengakuan sertifikat vaksin

Chief of Digital Transformation Office Kementerian Kesehatan Setiaji mencontohkan pada masa-masa awal COVID-19, salah satu vaksin COVID-19 yang diberikan kepada penduduk Indonesia ditolak keabsahannya oleh negara lain.

Di sinilah pengakuan atau harmonisasi menjadi penting karena selain memudahkan mobilisasi dari satu negara ke negara lain, juga dapat menciptakan suatu standar protokol kesehatan yang diakui secara global.

Aplikasi PeduliLindungi yang di Indonesia digunakan sebagai platform untuk mendata vaksin yang sudah diterima masyarakat diharapkan dapat diakui oleh seluruh negara anggota G20 dan negara-negara di kawasan ASEAN.

Hal ini sudah menjadi perhatian di Forum G20 dan ASEAN agar terdapat mekanisme universal untuk memverifikasi sertifikat vaksin COVID-19.

Para pemimpin di bidang kesehatan Forum G20 dan ASEAN pada akhirnya sepakat membahas pentingnya ada semacam mekanisme yang secara universal bisa memverifikasi sertifikat antarnegara G20.

Baca juga: Menkes: Penyelarasan standar prokes global dapat dimulai negara G20

Sistem verifikasi sertifikat vaksin ini serupa dengan QRIS yang diterapkan di Indonesia. Melalui QRIS, masyarakat yang memiliki rekening bank atau dompet digital apapun dapat melakukan pembayaran dengan satu QR code yang universal.

Saat ini mekanisme verifikasi universal ini sudah diinisiasi melalui QR code WHO. Dalam agenda pertemuan pertama Health Working Group di Yogyakarta pada 20-21 Juni 2022, perangkat dan sistem ini diuji coba untuk memverifikasi sertifikat vaksin para delegasi G20 yang hadir.

Pembahasan mengenai penerapan QR code WHO ini masih menjadi perdebatan di tengah Forum HWG karena negara-negara yang turut serta dalam sistem ini akan diminta menyerahkan public key atau kunci enkripsi yang diperlukan untuk mengakses data dari negara tersebut. Pro kontra pun mengemuka terkait pihak yang akan mengelola data kunci enkripsi ini.

"Kalau misalnya dikelola Indonesia, nanti enggak percaya negara-negara lain. Kalau dikelola oleh negara yang lain, negara lain yang enggak percaya, makanya ini harus ditaruh di tempat yang netral," tutur Setiaji.

Karena itu, adanya suatu standar global sangat diharapkan. Jika di masa depan terdapat vaksin atau pandemi baru, sistem ini dapat tetap digunakan untuk saling berbagi data kesehatan antarnegara.

Berbagi data penelitian

Pentingnya harmonisasi standar kesehatan global ini tidak hanya terbatas pada sertifikat vaksin saja, namun juga diperlukan untuk saling berbagi data penelitian.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan pada saat pandemi COVID-19 terjadi, para peneliti dari berbagai negara mengumpulkan data genome sequencing virus SARS-CoV-2 ke GISAID.

Data ini telah membantu banyak peneliti dari seluruh dunia untuk menciptakan vaksin-vaksin yang efektif untuk mencegah penularan COVID-19.

"Ada yang namanya GISAID, semua scientist percaya, masukin datanya ke GISAID sehingga orang bisa lihat, kalau enggak salah dua minggu sesudah Wuhan outbreak terjadi, langsung itu genome sequence-nya dari virus-nya dimasukkan ke GISAID. Amerika bisa lihat, penelitinya bikin vaksin Moderna, ada peneliti di Jerman bisa lihat, bikin vaksin BioNTech Pfizer," ujar Budi dalam konferensi pers 2nd HWG Meeting.

Semangat berkolaborasi antarnegara itu tentu saja diharapkan bisa diformalkan melalui sebuah platform untuk saling berbagi data-data patogen di seluruh dunia. Kolaborasi menjadi kata kunci untuk menyelesaikan masalah kesehatan dunia.

Di Indonesia sendiri, pemerintah tengah mendorong platform Indonesia Health Services (IHS) bernama Satu Sehat untuk mengintegrasikan berbagai data kesehatan penduduk Indonesia melalui kolaborasi seluruh pemangku kepentingan di bidang kesehatan.

Kini saatnya Indonesia yang memegang Presidensi G20 2022 menjadi negara yang mampu mengajak negara-negara anggota G20 bahkan seluruh dunia untuk mau berkolaborasi melalui harmonisasi standar kesehatan global.

Semangat kebersamaan ini menjadi suatu langkah penting agar dunia siap menghadapi persoalan kesehatan global, termasuk jika ada pandemi berikutnya.
​​​
 

Editor: Arief Mujayatno
Copyright © ANTARA 2022