Jakarta (ANTARA) - Menjelajahi hutan di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten, adalah pengalaman tak terlupakan bagi tim ANTARA dalam Ekspedisi Badak Jawa yang berlangsung sejak 8 hingga 27 Mei 2022.

Selama lebih dari dua minggu, Tim ANTARA mendokumentasikan ekosistem serta mencari hewan langka di Indonesia dan dunia yaitu badak jawa (Rhinocheros Sondaicus). Berdasarkan International Union for Conservation of Nature (IUCN) badak jawa ditetapkan satu langkah menuju kepunahan.

Tim ANTARA terdiri dari empat orang yang mewakili redaksi yakni teks, foto, dan video. ANTARA dibantu oleh tim Monitoring Badak Jawa (MBJ) Balai Taman Nasional Ujung Kulon dan masyarakat lokal.

Semua orang yang terlibat memiliki nafas yang sama, menyuarakan kehidupan badak jawa yang selama ini terancam punah dan bertahan dalam kesunyian.

Namun sebelum melakukan eksplorasi, tim harus melewati sejumlah titik pemberhentian dan tentunya rintangan sebelum memulai ekspedisi pencarian jejak badak jawa.

Perjalanan dimulai dari Pelabuan Lagon Pakis, menyeberang melewati Teluk Baraja/Pantai Laban, menyusuri Karang Ranjang, menyusuri pantai di Cibandawoh, dan tiba di Cikeusik yang merupakan lokasi base induk Ekspedisi Badak Jawa.

Baca juga: Melacak jejak badak jawa, sesulit mencegah kepunahan (1)

Baca juga: Kala badak menghiasi gunung-gunung di Jawa Barat

Pencarian

Pencarian badak jawa dilakukan dengan tiga metode, pertama menyusuri sungai, pemantauan lewat rumah pohon (ranggon), dan pemasangan kamera jebak. Pencarian lewat susur sungai menggunakan dua perahu: karet dan ponton.

Perahu ponton ini merupakan alat transportasi seadanya yang terbuat dari styrofoam bekas pembungkus lemari pendingin (kulkas). Para petugas dari Monitoring Badak Jawa biasanya menggunakan ponton untuk menyeberangi sungai jika sedang terjadi arus pasang.
Perahu ponton yang ditumpangi tim Ekspedisi Badak Jawa Kantor Berita Antara, di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten. (ANTARAFOTO/Muhammad Adimaja)


Namun saat Ekspedisi Badak Jawa, ponton difungsikan sebagai media transportasi saat menyusuri sungai Cikeusik. Penyusuran sungai dilakukan dua kali setiap harinya yakni pukul 04.00-09.00 WIB dan 15.00-20.00 WIB. Waktu-waktu tersebut dipilih karena badak jawa biasanya banyak beraktivitas pada pagi dan sore hari.

Sementara pemantauan rumah pohon/ranggon dilakukan di wilayah Citadahan yang jaraknya dari base induk Cikeusik memakan waktu tiga jam lebih.

Awalnya petugas Monitoring Badak Jawa akan membangun rumah pohon di sekitar Cikeusik, tetapi dari penelusuran di sana tak ditemukan tanda-tanda kubangan, kotoran, maupun jejak baru.

Pemilihan lokasi kemudian mengarah ke Citadahan yang jaraknya sekitar enam kilometer dari base induk Cikeusik. Untuk menuju Citadahan, tim harus kembali menyusuri bibir pantai.

Berbeda saat susur pantai di Cibandawoh, kali ini pasir pantainya lembek sehingga sangat menguras energi. Selain itu, banyak sampah yang terbawa arus hingga terdampar di sepanjang garis pantai Citadahan hingga Sanghyang Sirah.

Setibanya di muara Citadahan, perjalanan dilanjutkan dengan masuk ke dalam areal hutan tropis sekitar dua kilometer. Jalur ke titik lokasi yang akan dibangun rumah pohon berupa lumpur dan sesekali harus menyeberangi kubangan sedalam lutut orang dewasa.

Pemasangan rumah pohon dilakukan secara mendadak, tapi bagi porter yang merangkap sebagai petugas Monitoring Badak Jawa, pembangunannya hanya memerlukan waktu tiga jam saja.

Rumah pohon terbuat dari bambu yang mudah dijumpai di dalam hutan. Untuk menyamarkan, rumah pohon tersebut ditutupi oleh dedaunan lebar. Ketinggian rumah pohon sekitar 10 meter di atas tanah, hal itu agar hewan liar tidak merasa terganggu.

Pemantauan dilakukan di areal yang terdapat kubangan. Saat itu, tim menemukan kubangan baru yang usianya tak lebih dari satu minggu.

Selain itu, titik pendirian rumah pohon merupakan jalur strategis perlintasan satwa. Ada sejumlah jalur yang masing-masing memiliki fungsi yakni ke arah rumpon (areal pakan badak), menuju sungai kecil, dan jalur menuju utara yang juga terdapat kubangan. Pemasangan juga harus memperhatikan arah mata angin, agar aroma tubuh manusia tidak tercium.

Saat memantau lewat ranggon, tim tak boleh bersuara keras-keras, tak boleh ada asap rokok, dan tak diperkenankan memasak di atas rumah pohon. Pasalnya, penciuman badak jawa sangat sensitif. Apabila mereka mencium aroma asing, maka badak jawa akan mencari jalur lain untuk dilewati.

Baca juga: Mengenal badak jawa, sang unicorn Ujung Kulon

Baca juga: Populasi badak jawa dan elang jawa bertambah


Susur sungai

Tim ANTARA dibagi ke dalam dua grup; dua orang menyusuri sungai dan dua orang menginap di rumah pohon. Metode penyusuran sungai digunakan untuk mencari badak jawa yang tengah berendam.

Kebiasaan berendam menjadi salah satu perilaku badak jawa selain berkubang, hal tersebut dilakukan untuk membersihkan lumpur yang telah mengering serta menyesuaikan panas tubuh.

Pada pekan pertama, susur sungai dilakukan di sungai Cikeusik yang waktu tempuhnya memakan waktu sekitar dua jam lebih. Semakin dalam penyusuran, tim disuguhkan oleh aktivitas satwa-satwa seperti kancil, ayam hutan, monyet ekor panjang, biawak, hingga surili.
Muara Cikeusik di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten. (ANTARA/Asep Firmansyah)


Jejak badak jawa saat turun dan naik ke permukaan pun tercetak dengan jelas di bibir sungai. Namun sayang, tim tak menemukan adanya badak jawa yang tengah berendam hingga sepekan penelusuran.

Perjalanan saat susur sungai pun harus melewati berbagai rintangan. Yang paling membuat kesal adalah banyaknya sisa-sisa pohon bambu yang tumbang dan menutupi jalur sungai.

Butuh waktu yang tak sebentar untuk menyingkirkan bambu. Selain itu, suara yang dihasilkan saat menyingkirkannya terdengar sangat keras memecah keheningan. Dikhawatirkan badak jawa mendengar suara tersebut dan mengira bahwa itu adalah ancaman sehingga mereka segera kembali ke permukaan.

Sempat terjadi siklon tropis di Indonesia dan dampaknya terasa di Jawa bagian selatan. Ketinggian air sungai meningkat secara tiba-tiba, akibat luapan ombak serta hujan deras.

Perahu ponton hampir saja terbawa arus, dan sebagian tim yang menginap di base induk Cikeusik juga harus mengungsi ke daratan yang lebih tinggi, mengantisipasi luapan sungai.

Sepekan tak ada tanda-tanda di Cikeusik, susur sungai akhirnya dialihkan ke muara Citadahan. Berbeda dengan topografi Cikeusik, muara Citadahan lebih lebar dan panjang. Hewannya pun semakin beragam, terkadang dijumpai banteng yang tengah melintasi sungai.

Sama halnya seperti di Cikeusik, banyak cetakan kaki badak jawa yang turun dan naik ke permukaan. Sepekan penelusuran, tim ANTARA kembali dihinggapi nasib apes, badak jawa masih enggan menjumpai kami hingga penelusuran sungai dinyatakan berakhir.
Bekas jejak kaki badak jawa yang turun ke sungai di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten. (ANTARAFOTO/ Muhammad Adimaja)



Baca juga: Guling-guling di kubangan dan status konservasi badak jawa

Baca juga: Merawat Ujung Kulon, merawat kehidupan


Rumah Pohon

Pencarian badak jawa di rumah pohon memang tak terlalu menguras tenaga saat melakukan susur sungai, namun rasa jenuh menjadi teman setia. Tak banyak aktivitas yang dilakukan, hanya menunggu untuk waktu yang tak dapat diperkirakan.

Kamera disiagakan persis menuju arah kubangan, berharap badak jawa melewati jalur arah rumah pohon dan syukur-syukur kembali berkubang. Suara jangkrik dan katak menjadi irama yang dijumpai setiap malamnya. Tim bersiaga saat waktu memasuki sore hari, tak boleh ada aktivitas apapun yang dilakukan termasuk mengobrol.

Tim hanya menggunakan semiotika gestur tubuh untuk berkomunikasi antara satu dengan yang lain. Pemantauan dilakukan semalaman hingga pukul 09.00 WIB. Setelah itu, tim harus kembali ke pantai untuk memasak.

​​​​Berbeda dengan penelusuran sungai, tim rumah pohon sempat mendengar suara-suara hentakan kaki yang diduga berasal dari badak jawa sekitar pukul 20.00 WIB. Tim siaga dengan kamera masing-masing, sementara anggota tim Monitoring Badak Jawa siap dengan lampu senter.

Kondisi hutan yang gelap gulita sangat membatasi pandangan mata. Meski ada lampu senter tapi tidak boleh sembarang diarahkan karena akan membuat badak jawa terkejut lantas lari.
Rumah Pohon di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten. (ANTARA/Asep Firmansyah)


Jam demi jam dilewati, tetapi badak masih enggan memunculkan batang hidungnya ke hadapan tim. Sepanjang malam tim hanya dilingkupi ketidakberuntungan.

Hari-hari berikutnya kembali dilalui dengan kebosanan, tak ada lagi tanda badak jawa, termasuk mamalia lainnya hingga penelusuran di rumah pohon dinyatakan berakhir.

Paling menyebalkan saat menunggu di rumah pohon adalah banyaknya kutu babi. Gigitannya sangat gatal, bahkan losion nyamuk maupun balsam tak mampu menahan rasa gatal.

Mandi adalah satu-satunya cara untuk menghilangkan rasa gatal. Tetapi dalam pencarian badak jawa, tim tak boleh mandi menggunakan sabun dan sampo, kecuali saat mandi di muara. Karena sabun dan sampo mengeluarkan aroma yang kuat bagi badak.

Pertemuan yang terduga

Rasa lelah, frustasi, dan emosi yang tak stabil mewarnai diri tak hanya tim ANTARA begitu pula para porter. 14 hari mencari lewat susur sungai dan rumah pohon tak membuahkan hasil sedikitpun. Hanya jejak, kotoran, dan kubangan saja yang terekam kamera.

Berbagai macam metode pencarian telah dicoba, masuk ke wilayah lebih dalam telah dilalui, tapi hasilnya hanya kekecewaan di hati. Perdebatan antara satu dengan yang lainnya menjadi pemandangan yang kerap dijumpai. Saat itu tim berpikir untuk kembali pulang dengan tangan hampa dan kaki telanjang.

Namun memasuki hari ke-15, pewarta foto ANTARA, Muhammad Adimaja, bertemu dengan grup Monitoring Badak Jawa (MBJ) lainnya saat berada di wilayah penggembalaan banteng Cibunar. Pria yang akrab disapa Cumi itu mendapat kesempatan untuk mengikuti aktivitas rutin MBJ.

Ia ikut masuk ke areal hutan yang semakin dalam untuk ikut pemantauan kamera jebak. Setelah dua hari mengikuti aktivitas MBJ, Cumi dihadapkan nasib yang cukup beruntung karena menemukan jejak badak jawa yang diduga merupakan individu baru.

"21-20 centi, masih kecil ini," ujar cumi mencontohkan ungkapan salah satu petugas Monitoring Badak Jawa (MBJ).

Menurut petugas MBJ, ukuran jejak kaki 21-20 cm adalah jejak kaki badak jawa yang masih kecil. Usianya diperkirakan kurang lebih enam bulan.

Namun untuk memastikan bahwa jejak itu berasal dari individu badak baru harus dilakukan secara sahih. Ia bersama petugas kemudian mengecek kamera jebak yang terpasang di jalur yang dilintasi badak tersebut, tapi sayang dua kamera jebak tak merekam aktivitasnya.

Kamera pertama terjatuh akibat talinya putus digigit hewan pengerat dan kamera kedua dibuang oleh pemburu.

Kendati tidak dapat melihat langsung, penemuan jejak kaki kecil itu menjadi kabar bahagia akan konservasi badak jawa di Ujung Kulon. Badak Jawa hidup dengan nyaman di balik tutupan hutan, meski ancaman terus menyelimuti mereka.

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2022