Jakarta (ANTARA) - Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati menilai partai politik (parpol) perlu menolak tegas memberikan ruang kepada eks koruptor untuk mencalonkan diri sebagai peserta Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024.

“Bagi saya, sekarang kuncinya ada di partai politik yang harus tegas tidak memberi ruang bagi eks narapidana koruptor untuk maju di Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024," kata Neni, saat dikonfirmasi di Jakarta, Rabu.

Menurut dia, para elite pimpinan partai politik harus menyadari bahwa korupsi merupakan bahaya laten yang akan mengancam kondisi demokrasi Indonesia ke depan sehingga jangan sampai mereka ikut serta melanggengkan kaderisasi partai politik yang buruk dan merugikan pemilih.

Baca juga: DEEP: Perlu dibentuk badan peradilan khusus ciptakan keadilan pemilu

Hal yang Neni sampaikan tersebut merupakan tanggapannya atas kemunculan narasi eks narapidana tindak pidana korupsi yang diperbolehkan maju menjadi calon legislatif (caleg) di Pileg 2024.

Narasi itu muncul dari pembahasan mengenai ketentuan yang dimuat dalam Pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).

Dalam pasal itu, disebutkan bahwa persyaratan bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.

Baca juga: DEEP: Terobosan sanksi hukum penting untuk berantas politik uang

“Diksi tersebut menunjukkan bahwa tidak tercantum secara eksplisit larangan narapidana korupsi untuk menjadi calon legislatif. Jadi, memang sejak awal, ekosistem politik kita tidak mendukung inovasi untuk memberantas koruptor dengan aturan yang tegas dan jelas," ujar Neni.

Di samping itu, tambah dia, dari pengalaman penyelenggaraan Pemilu 2019, Komisi Pemilihan Umum (KPU) memiliki komitmen kuat untuk melarang mantan koruptor menjadi caleg di Pileg 2019 dengan mencantumkan secara jelas di peraturan KPU mengenai pencalonan.

Akan tetapi, peraturan tersebut dibatalkan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Mahkamah Agung (MA).

Neni menyampaikan pula mengenai aturan kesempatan bagi eks narapidana korupsi untuk menjadi peserta pilkada dan UU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Dia menjelaskan aturan dalam UU Pilkada melarang seseorang yang berlatar belakang mantan narapidana dengan ancaman hukuman di atas lima tahun untuk mengikuti Pilkada.

Baca juga: DEEP ajak seluruh masyarakat bersinergi kawal Pemilu 2024 berkualitas

Jika ingin mencalonkan diri sebagai kepala daerah, kata Neni, mantan narapidana harus menunggu jeda lima tahun setelah dibebaskan sebelum mereka mendaftarkan diri di Pilkada.

Oleh karena itu, menurut Neni, partai politik merupakan pihak yang dapat mengatasi persoalan pencalonan eks narapidana korupsi di pileg ataupun pilkada. Dia meyakini partai politik tidak kekurangan kader yang berkualitas dan berintegritas untuk dicalonkan sebagai caleg, bahkan kepala daerah.

Selain itu, Neni mendorong kelompok masyarakat sipil agar mengawal dan mengawasi para caleg yang berasal dari eks narapidana tindak pidana korupsi. Ia  mendorong KPU untuk mengumumkan sejak awal kepada publik secara terbuka mengenai pencalonan dalam Pileg 2024 ataupun Pilkada 2024 agar masyarakat mendapatkan informasi yang komprehensif.

Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2022