Surabaya, (ANTARA News) - Pakar lingkungan hidup dari ITS Surabaya, Prof Dr Ir Joni Hermana menyatakan 125 ton limbah industri mencemari Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas dalam sehari. "Hasil uji baku mutu air memang masih di bawah ambang batas, tapi dampaknya dalam jangka panjang justru akan memungkinkan kasus Minamata terjadi di Indonesia," katanya di Surabaya, Selasa (28/3). Ia mengemukakan hal itu dalam lokakarya "Kesiapan Darurat Bencana Industri/Lingkungan" yang menampilkan pembicara lain, Deputi Bakornas Penanggulangan Bencana dan Pengungsi (PBP) Drs Tabrani MM, Rene Nijenhuis (Joint UNEP/OCHA Enviroment Unit Geneva, Swiss), Ruth Coutto (UNEP APELL, Paris, Prancis), dan I Ketut Muliartha (Deputi III Menteri LH). Menurut dosen Jurusan Teknik Lingkungan FTSP ITS Surabaya itu, data dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Deprindag) tahun 2004 mencatat di Jatim ada 653.859 industri dengan menyumbang pendapatan 26 persen bagi APBD. "Dari ratusan ribu industri itu memang hanya ada 14.602 atau 2,23 persen untuk industri besar, tapi jumlah 2,23 persen itu justru menyumbang hampir 90 persen kadar pencemaran, kendati mayoritas masih di bawah ambang batas baku mutu (BOD/COD)," katanya. Bahkan, jumlah industri yang mengaliri DAS Brantas pun hanya 1.054 pabrik yang 40 pabrik diantaranya berpotensi mencemari DAS Brantas dengan limbah sebanyak 125 ton per hari. "Puluhan pabrik itu tersebar di Surabaya, Malang, Pasuruan, Sidoarjo, Gresik, dan Mojokerto. Karena itu potensi bencana industri itu ada, tapi memang tidak terlihat dalam jangka pendek," katanya. Data serupa juga dilansir LSM Ecoton. "Ada 330 ton per hari limbah cair di sepanjang DAS Brantas dari industri dan limbah domestik (permukiman, rumah sakit dan hotel). Untuk industri ada 483 industri mencemari sungai Brantas dengan potensi limbah 125 ton per hari," kata direktur Ecoton, Prigi Arisandi. Pulihkan limbah Dalam lokakarya yang digelar Pusat Studi Bencana (PSB) ITS Surabaya itu, Asisten Deputi III KLH (Urusan Pemulihan Kualitas Lingkungan Hidup) I Ketut Muliartha menyatakan, KLH tidak berbicara dalam aspek hukum untuk kasus pencemaran lingkungan hidup. "Ada banyak aspek dalam kasus pencemaran lingkungan hidup dan kami berbicara dalam aspek pemulihan lingkungan yang terkontaminasi limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun), karena itu kami sekarang mengajak 11 perusahaan untuk memulihkan kualitas lingkungan yang tercemar," katanya. Menurut dia, pihaknya membina 11 industri untuk memulihkan kualitas lingkungan hidup di pabrik itu dengan delapan tahapan yang bersifat teknologi yakni laporan, persiapan administrasi, isolasi, clean-up, pengurukan, re-vegetasi, pemantauan, dan sertifikasi. Ke-11 perusahaan yang diajak adalah PT Dongwoo Env Indonesia di Cikarang, Bekasi, Jawa Barat (sludge mengandung logam berat); PT Indorama Syntetics Tbk di Purwakarta, Jawa Barat (therminal 66 HTM/fluida boiler); PT Pertamina (EP) DOH SBS di Betun, Prabumulih, Sumatera Selatan (crude oil pasca blow out sumur minyak); dan PT Yamaha IMM di Pulogadung, Jakarta Timur (painting sludge). Selain itu, PT APEL di Pulau Galang Baru, Batam, Kepri (material organic mengandung logam berat); Pulau Biawak di Indramayu, Jawa Barat (crude oil); Kepulauan Seribu (crude oil/tar ball); Pesisir Pantai Kota Balikpapan (crude oil/tar ball); PT Krama Yudha Kesuma Motors di Jakarta (painting sludge dan WTP sludge); PT Energizer di Bogor (limbah batere reject); dan PT Ranji Karya Sakti di Balikpapan (drill cutting). "Untuk Jatim memang belum ada yang kami tangani, tapi hal itu bukan berarti tidak ada, sebab kami memiliki keterbatasan tenaga dan kami memilih laporan yang masuk, bahkan mayoritas dari 11 industri yang kami tangani juga masih memasuki tahap empat (tahap pengangkatan media yang terkontaminasi limbah B3) dari delapan tahapan pemulihan," katanya. Dalam lokakarya itu juga sempat mencuat tanya jawab terkait 466 industri yang sudah dinilai KLH pada 2004-2005 yakni 72 industri kategori hitam, 150 industri kategori merah, 221 industri kategori biru, 23 industri kategori hijau, dan industri kategori emas yang nihil, karena industri kategori hitam dan merah dinilai potensial menimbulkan bencana.(*)

Copyright © ANTARA 2006