Jakarta, 6/5 (ANTARA) Pengamat hukum pidana dari Universitas Trisakti Dr. Andi M. Hamzah menilai, Mabes Polri yang saat ini sedang menangani masalah kasus sedot pulsa, lebih diarahkan kepada kasus hukum perdata, karena yang dirugikan adalah masyarakat pengguna seluler yang tertipu promosi.

     "Jika masalah itu ke ranah Pidana, orang ataupun pihak-pihak yang selama ini merasa dirugikan karena penyedotan pulsa itu tidak akan pernah mendapat ganti rugi atas kerugian yang dideritanya," ujar Andi, kepada pers di Jakarta, Minggu pekan lalu.

     Andi alumnus FH Universitas Unhas ini dimintai komentarnya terkait adanya keinginan pelaku penyedotan pulsa akan dibawa ke ranah pidana.

     Dikatakan, kalau dibawa ke ranah Perdata, pihak yang menderita kerugian akibat ulah perusahaan content provider bisa mendapatkan ganti rugi atas kerugian yang dideritanya, sementara jika dimasukkan ke unsur pidana, pelaksanaanya akan kurang optimal karena sebagian besar masyarakat curiga bahwa jika dibawa ke ranah pidana hukumannya tidak akan optimal.

     Polri dalam kasus itu, kata Andi, akan menerapkan beberapa pasal KUHP dan Pasal dalam UU No 11 Tahun 20008 tentang Informasi Transaksi elektronik/ITE dan UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

     Pada ketentuan umum UU soal konsumen, menyangkut promosi disebutkan, Promosi adalah kegiatan pengenalan atau penyebarluasan informasi suatu barang dan/atau jasa untuk menarik minat beli konsumen terhadap barang dan/atau jasa yang akan dan sedang diperdagangkan. "Kasus sedot pulsa awalnya, mempromosikan sesuatu barang dengan janji tertentu. Itu sebagai ranah UU Perlindungan konsumen," tegas Andi.

     Oleh karena itu, kata Andi, sebaiknya para korban pelaku sedot pulsa jangan hanya menunggu poses pidananya saja. "Lakukan juga gugatan perdata ke si pelaku tersebut dengan menyertakan beberapa pasal di dalam UU No 8/2008 tentang perlindungan konsumen itu.  Karena dengan begitu nantinya si Korban juga bisa mendapatkan ganti rugi atas kerugian yang dideritanya. Salah satu Pasal 60 UU Perlindungan Konsumen, menyangkut sanksi Administratif, disebutkan, Badan penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar soal promosi dan lainnya, dapat dikenakan berupa penetapan ganti rugi. "Nah kerugian atau denda itu harus diberikan kepada pihak korban," katanya.
   
     Para korban harus terimakasih kepada Polri yang sudah menangkap, tinggal mengajukan saja gugatannya. "Tuntut saja ke pelakunya, jika perlu ke perusahannya," katanya.
   
     Ia mengatakan, tuntutan ke perusahaan content providernya pun bisa sepanjang terdapat bukti-bukti yang cukup. Dan apa alat yang dapat dijadikan bukti oleh korban itu tidak bisa disamaratakan, karena para korban nantinya yang akan mengetahui bukti apa yang sekiranya dapat digunakan untuk membuktikan dirinya telah dirugikan atau telah disedot pulsanya.

     "Jadi buktinya itu pasti akan beda-beda setiap korban yang satu dengan yang lainnya. Atau dalam istilah lain tidak ada sebuah persamaan untuk membuktikan kerugian yang diderita korban yang satu dengan yang lain. Dan hal seperti itu saya tahu sudah pernah dilakukan oleh orang lain di luar kasus sedot pulsa. Sedang terkait rumors kasus ini dipolitisir, saya kurang begitu yakin benar atau tidaknya, tapi yang pasti setiap masyarakat berhak mengajukan gugatan perdata langsung tanpa harus menunggu proses hukum pidana yang sedang dijalankan pihak kepolisian," imbuhnya.

     Sebelumnya, diberitakan, modus yang sering digunakan para pelaku penipuan sedot pulsa diduga bekerja sama dengan para pemilik konter ponsel. Pasalnya, para pelaku ini cenderung hanya ingin menyedot pulsa untuk kemudian dijual kembali. Cara atau modus yang dilakukan pun beragam, mulai dari mengirim pesan singkat melalui nomor biasa atau melalui jasa pelayanan SMS premium atau konten.

     "Besar kemungkinan dengan cara menyedot pulsa seperti itu mereka kerja sama dengan konter ponsel. Selama penelusuran kami, setelah mereka menipu, pulsa yang didapat dijual kembali ke penjual pulsa," ungkap Kasubdit Cyber Crime Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Hermawan.

     Dia melanjutkan, modus penipuan yang mampu menyedot pulsa korban itu dilakukan dengan cara mengirimkan pesan singkat melalui nomor GSM atau CDMA secara acak. Isi pesan singkat itu biasanya bertuliskan pengumuman pemenang dengan hadiah tertentu.

     "Tetapi, untuk dapat hadiah itu dia harus klik misalnya *123 dan seterusnya. Kalau dia klik itu, korban pasti kaget pulsanya tiba-tiba berkurang banyak," katanya.

     Senada dengan Andi, Sekretaris lembaga Bantuan Hukum Universitas Sahid Mohamad Yusuf mengatakan, jika kasus sedot pulsa dibawa ke ranah pidana, agak sulit membuktikan siapa pelaku sesungguhnya, apakah orang per orang ataukah suatu kebijakan perusahaan content provider. "Ini yang nampaknya sedang dilakukan penyidikan oleh polisi," katanya.

     Namun demikian, Muhamad menilai akan lebih tepat jika masalah itu diajukan gugatan perdata oleh para korban, sehingga akan dapat penggantian atas kerugian yang dideritanya, seranya menambahkan, pada Pasal 63 UU Perlindungan Konsumen menyebutkan, terdapat denda tambahan, yakni perampasan barang tertentu, pembayaran ganti rugi sampai pada pencabutan ijin usaha.

Pewarta: Adityawarman
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2012