Yogyakarta (ANTARA) - Nawacita merupakan sembilan prioritas pembangunan lima tahun. Dulu, sembilan prioritas itu menjadi bagian dari visi Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam kampanye Pilpres 2014.

Meski demikian, pada periode kedua kepemimpinan Joko Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia, Nawacita masih dijadikan pedoman pembangunan. Memang,  gaung Nawacita  pada periode 2019-2024  tidak lagi nyaring  jika dibandingkan dengan periode 2014-2019.

Presiden Joko Widodo menunjukkan ke khalayak bahwa Nawacita masih ada. Salah satu buktinya adalah ketika melakukan kunjungan kerja ke Saumlaki, Maluku, pada 1-2 September 2022.

Saumlaki  merupakan ibu kota dari Kabupaten Kepulauan Tanimbar di Provinsi Maluku. Memiliki luas sekitar 124,1 kilometer persegi, kabupaten ini masih tergolong baru, karena diresmikan setelah terpisah dari Kabupaten Maluku Tenggara pada tahun 2002. Posisi Saumlaki ini tepatnya berada di Pulau Yamdena.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan Kepulauan Tanimbar adalah kabupaten yang berlokasi paling selatan di Provinsi Maluku, berbatasan dengan perairan Australia.

Posisi Saumlaki ini termasuk strategis karena berada di perbatasan antara Indonesia dan Australia. Lebih tepatnya lagi berdekatan dengan bagian utara (Northern Territory)  Australia dengan Ibu Kota Darwin. Jarak tempuh Saumlaki - Darwin lebih pendek ketimbang Saumlaki- Jakarta.

Sebagai kawasan perbatasan, Saumlaki dan Kabupaten Kepulauan Tanimbar memperoleh perhatian dari pemerintah pusat. Pembangunan perbatasan ini tercakup dalam Nawacita.

Pembangunan perbatasan termuat dalam poin ketiga Nawacita. Poin ketiga dari Nawacita adalah membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.

Artinya sentralisasi diubah menjadi desentralisasi. Sentralisasi yang terpusat di perkotaan mesti disebar ke seluruh pelosok Indonesia (desentralisasi). Sejauh ini desentralisasi tidak bisa sepenuhnya dibebankan kepada pemerintah daerah.

Satu hal yang pasti adalah pembangunan daerah tertinggal tidak mungkin berhasil tanpa dukungan dan kerja keras para pemangku kepentingan.

Poin pembangunan perbatasan menjadi bagian dari sembilan prioritas Nawacita yang mengilhami dan masuk menjadi bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

RPJMN inilah yang menjadi penuntun kebijakan pemerintah sehingga menjadi fondasi pembangunan yang kuat pada masa mendatang. Harapannya Nawacita bukan sekadar janji, namun benar-benar menjadi petunjuk ke mana pembangunan akan dituju atau diarahkan.

Tidak hanya dalam bidang ekonomi, visi Nawacita juga menyangkut prioritas pembangunan dalam bidang yang lain, seperti kebudayaan, pendidikan, dan pertahanan keamanan.

Itulah sebabnya saat berkunjung ke Saumlaki, Presiden Joko Widodo menegaskan lagi makna pembangunan di perbatasan. Setidaknya Presiden mengapresiasi bahwa potensi pangan juga telah banyak terserap untuk memenuhi kebutuhan lokal. Artinya ada kemajuan, di antaranya konsumsi masyarakat bisa terpenuhi, sekaligus menyangkut pemenuhan gizi anak-anak di daerah itu.

Dalam kesempatan itu Presiden juga meninjau optimalisasi sistem penyediaan air minum (SPAM) Wermomolin di Kabupaten Kepulauan Tanimbar. SPAM ini menggambarkan bahwa kebutuhan air bersih dapat terpenuhi.

Belum lagi,  tekad untuk segera mewujudkan Blok Masela. Jika Blok Masela beroperasi setidaknya yang mendapatkan keuntungan besar nanti adalah masyarakat di Kepulauan Tanimbar. Pengoperasian Blok Masela akan baik untuk perputaran uang di daerah, untuk produk domestik regional bruto (PDRB) di Kabupaten Kepulauan Tanimbar dan juga Provinsi Maluku.

Akses Transportasi

Kunjungan Presiden Jokowi ke Saumlaki juga menunjukkan kemudahan menuju ke daerah perbatasan itu. Akses transportasi kian terbuka berkat keberadaan Bandara Mathilda Batlayeri di Saumlaki.

Perjalanan Presiden Jokowi dari Bandara Timika menuju Bandara Mathilda Batlayeri menggunakan pesawat BAE RJ 85. Pesawat buatan British Aerospace pada 1993 itu dioperasikan oleh Pelita Air Service yang merupakan anak perusahaan PT Pertamina (Persero).

Pesawat tersebut memiliki empat mesin di kedua sayapnya dan mampu take off di landasan pacu berukuran pendek sekitar 1.500 meter.

BAE 146-200 atau RJ-85 merupakan pesawat berukuran kecil. Dalam versi komersial pesawat itu bisa mengangkut 90-100 penumpang. Sementara untuk keperluan VVIP daya angkutnya hanya 30 penumpang. Daya jelajah pesawat ini mampu menempuh jarak kurang dari 2.500 kilometer.

Sejatinya Bandara Mathilda Batlayeri bisa didarati pesawat lebih besar karena mempunyai landasan pacu lebih panjang. Saat ini landasan pacu di bandara itu sepanjang 2.300 meter, lebar 45 meter, apron berukuran 200 meter x 75 meter. Selain itu, saat ini sedang dalam pekerjaan peningkatan daya dukung landasan ( over lay). Sekali lagi, dari segi kesiapannya Bandara Mathilda Batlayeri Saumlaki sudah layak didarati pesawat berbadan lebar.

Kepala Bandara Mathilda Batlayeri Akhmad Romi mengemukakan dua maskapai telah menyatakan berminat untuk mendarat di Bandara Mathilda Batlayeri Saumlaki dengan menggunakan pesawat berbadan lebar atau tipe Boeing.

Soal infrastruktur telah tersedia dan memadai, tinggal bagaimana menjaga harga tiket tidak terlalu mahal. Apalagi jika ada maskapai yang melanggar ketentuan harga.

Baru-baru ini Akhmad Romi menyatakan telah melaporkan manajemen maskapai penerbangan Wings Air, terkait dugaan pelanggaran tarif batas atas kenaikan harga tiket yang melebihi ketentuan untuk penerbangan pada rute Ambon tujuan Saumlaki.

Bilamana harga tiket pesawat terlalu mahal, dikhawatirkan masyarakat enggan menggunakan moda transportasi udara tersebut. Padahal akses transportasi udara memudahkan masyarakat di perbatasan untuk berpergian ke luar daerah. Keterbukaan akses inilah menandakan Nawacita diwujudkan.
 

Copyright © ANTARA 2022