Secara struktur biaya, industri menara yang bersifat capital intensive (padat modal) juga memiliki pengeluaran yang relatif tetap
Jakarta (ANTARA) - Analis pasar modal dari Mandiri Sekuritas Henry Tedja menyakini bisnis perusahaan menara telekomunikasi PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (Mitratel) tetap moncer meski inflasi dan suku bunga acuan Bank Indonesia naik akibat penyesuaian harga BBM.
 
Menurutnya, Mitratel memiliki kontrak jangka panjang dengan perusahaan telekomunikasi yang mempunyai neraca keuangan yang kuat, terutama setelah dilakukan konsolidasi menara Telkomsel.

"Secara struktur biaya, industri menara yang bersifat capital intensive (padat modal) juga memiliki pengeluaran yang relatif tetap. Hal ini tercermin dari pendapatan sebelum bunga, pajak depresiasi dan amortisasi (EBITDA) margin perusahaan menara yang cukup tinggi pada kisaran 80 persen termasuk Mitratel," kata Henry dalam keterangan di Jakarta, Rabu.

"Kami melihat dampak kenaikan harga BBM terhadap kinerja perusahaan relatif terbatas,” imbuhnya.

Henry mengingatkan kenaikan harga BBM bisa berpengaruh terhadap valuasi atau harga saham perusahaan karena valuasi perusahaan menara, seperti Mitratel cenderung berbanding terbalik dengan inflasi atau suku bunga. Hal ini karena relatif tingginya leverage yang dimiliki oleh perusahaan menara.

Meski demikian, posisi Mitratel yang merupakan anak usaha PT Telkom Indonesia (Persero) cukup baik mengingat tingkat leverage di bawah rata-rata industri.

“Akibatnya, kenaikan inflasi atau suku bunga akan memiliki pengaruh bagi saham industri menara telekomunikasi,” jelas Henry.

Henry memperkirakan dalam jangka pendek, tingginya inflasi dan kenaikan suku bunga akan memberi sentimen bagi Mitratel. Namun, dia memprediksi outlook perusahaan tetap positif dalam jangka menengah, terlebih setelah perusahaan mengakuisisi 6.000 menara milik Telkomsel.

Menurutnya, aksi korporasi emiten dengan kode saham MTEL itu mampu mendukung pertumbuhan pendapatan dan EBITDA perusahaan dalam jangka menengah.

"Kami masih merekomendasikan buy untuk saham Mitratel dengan target harga Rp950 per saham,” kata Henry.

Pada penutupan perdagangan hari ini, Rabu (7/9) harga saham MTEL berada pada angka Rp770 per lembar atau melemah 2,53 persen bila dibandingkan harga kemarin yang sempat menyentuh Rp790 per lembar saham. Sedangkan dalam sepekan terakhir harga saham MTEL stagnan dan tiga bulan terakhir telah naik 4,76 persen.

Henry menuturkan akuisisi yang dilakukan Mitratel terhadap 6.000 menara milik Telkomsel bisa berdampak positif bagi kinerja perusahaan mengingat menara tersebut memiliki lokasi dan nilai strategis.

Akuisisi itu juga lebih cepat dari target awal yang dicanangkan, sehingga memungkinkan perusahaan untuk melakukan cross-selling lebih cepat atas menara-menara tersebut kepada perusahaan telekomunikasi lainnya, seperti Indosat Ooredoo Hutchison, XL Axiata, dan Smartfren.

“Hal ini tentunya akan meningkatkan outlook pertumbuhan pendapatan dan EBITDA Mitratel dalam dua tahun mendatang,” ungkap Henry.

Lebih lanjut ia memproyeksikan Mitratel berpeluang membukukan pertumbuhan pendapatan dan EBITDA 11-13 persen secara tahunan (YoY). Dia menilai akuisisi menara milik Telkomsel akan lebih berdampak positif bagi bisnis Mitratel pada tahun depan dibandingkan tahun ini mengingat akuisisi baru terjadi pada kuartal III 2022.

“Kami melihat adanya ruang bagi market untuk melakukan revisi target revenue dan EBITDA MTEL untuk tahun 2023 dengan adanya akuisisi 6.000 menara ini,” pungkas Henry.

Baca juga: Konsolidasi menara Telkom beri berkah bagi perusahaan penyedia menara
Baca juga: Samindo Resources raih laba 7,8 juta dolar AS di semester I 2022
Baca juga: Mitratel akuisisi lagi 6.000 menara Telkomsel senilai Rp10,28 triliun

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2022