Kadin menghitung industri berskala besar dan sedang tidak akan terlalu terdampak karena menggunakan BBM non subsidi, tetapi untuk skala UMKM tentu akan langsung menyesuaikan sehingga perlu insentif..
Jakarta (ANTARA) -
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Arsjad Rasjid mengutarakan harapannya agar pemerintah menyiapkan strategi yang tepat dalam rangka mengendalikan inflasi usai harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dinaikkan.
 
Arsjad dalam keterangan resmi di Jakarta, Minggu, mengemukakan bahwa kondisi perekonomian global, termasuk Indonesia sedang dalam masa pemulihan dan trennya terus membaik serta mengarah pada pertumbuhan. Namun, masih banyak tantangan yang harus dihadapi, seperti risiko resesi global, inflasi energi dan pangan, dikarenakan perang Rusia dan Ukraina.
 
“Kondisi ini yang membuat kita juga harus memiliki strategi, termasuk dalam persoalan fiskal. Dalam kondisi pemulihan dan ancaman resesi global, ruang fiskal kita membutuhkan keleluasaan untuk bergerak lincah menjaga keseimbangan keuangan negara dan dorongan agar ekonomi tetap tumbuh," ujar Arsjad.
 
Saat ini, ia mengingatkan bahwa subsidi menghabiskan sekitar 25 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2022, yang merupakan angka yang sangat besar. Tetapi persoalannya, sekitar 70 persen subsidi BBM dinikmati oleh kelompok yang mampu.
 
Kondisi tersebut dinilai memperlihatkan subsidi BBM tidak tepat sasaran, padahal tujuan utama dari alokasi subsidi adalah untuk menjaga stabilitas harga dan daya beli masyarakat pada golongan pra-sejahtera.
 
Dengan demikian, Arsjad menilai masyarakat miskin dan rentan memerlukan bantuan yang lebih tepat, sehingga langkah pemerintah mengalokasikan 25 persen dana APBN dengan bantuan sosial (bansos) atau bantuan langsung tunai (BLT) sudah tepat agar Indonesia bisa keluar dari jeratan subsidi BBM yang buruk untuk lingkungan.
Baca juga: Pemerintah berharap penurunan subsidi BBM bikin ekonomi RI lebih kuat
 
Dari sudut dunia usaha, dirinya mengaku kenaikan BBM akan menimbulkan kenaikan harga di beberapa sektor, terutama transportasi dan logistik. Akibat biaya logistik yang naik, barang dan jasa juga akan terkerek naik terutama di UMKM yang memiliki ketergantungan tinggi akan BBM.

“Namun tidak ada cara lain untuk menanggung konsekuensi ini bersama. Kadin menghitung industri berskala besar dan sedang tidak akan terlalu terdampak karena menggunakan BBM non subsidi, tetapi untuk skala UMKM tentu akan langsung menyesuaikan sehingga perlu insentif seperti subsidi bunga KUR, insentif pajak hingga permodalan,” tegasnya.

Di sisi lain, ia menyarankan agar pemerintah menaikkan upah minimum tahun 2023 sejalan dengan inflasi yang melonjak, serta mempersiapkan rencana panjang lantaran ketergantungan pada BBM subsidi harus dilepas secara perlahan karena dunia global sudah mulai bergerak menuju energi baru dan terbarukan yang lebih baik untuk keberlangsungan lingkungan dan dunia usaha.

Indonesia memiliki kekayaan alam yang bisa dijadikan sumber energi baru terbarukan seperti geotermal, angin, surya, hidro, dan beberapa sumber mineral seperti nikel, sudah seharusnya berada di garda terdepan untuk proses transisi energi terbarukan.
 
Dengan begitu, sambung dia, jangan sampai APBN terus tergerus untuk subsidi energi fosil yang sudah ditinggalkan negara-negara maju. APBN untuk sektor energi harus digunakan melihat ke masa depan dengan membangun ekosistem ekonomi hijau seperti industri kendaraan listrik serta ekonomi digital dengan membangun infrastruktur digital.
 
"Tentunya transisi ini harus didukung dengan kebijakan fiskal lainnya seperti insentif dan pengurangan pajak pada pelaku usaha di bidang energi terbarukan agar transisi energi bisa dipercepat,” ucap Arsjad.
 

Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2022