Jakarta (ANTARA) - Peneliti Center of Food, Energi, and Sustainable Development Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Dhenny Yuartha Junifta menyarankan agar kebijakan fiskal dijalankan dengan lebih disiplin oleh pemerintah.

“Alokasikan subsidi untuk subsidi, jangan kemudian subsidi dijadikan untuk kompensasi. Karena itu yang kemudian membuat anggaran negara bengkak karena tidak transparan dan tidak tepat sasaran,” katanya dalam diskusi daring Indef yang dipantau di Jakarta, Kamis.

Dengan mengalokasikan subsidi untuk kompensasi bagi penyaluran Bahan Bakar Minyak (BBM) yang dilakukan PT Pertamina, ia menganggap alokasi anggaran berpotensi menjadi lebih tidak transparan dan tidak tepat sasaran.

“Karena dengan mudah masyarakat kelas atas bisa menikmati kompensasi itu. Karena di tengah goncangan, masyarakat kelas atas juga secara rasional akan memilih BBM lebih murah karena punya kebutuhan lain,” ucapnya.

Ia menilai menaikkan harga BBM menjadi salah satu cara untuk menerapkan kebijakan fiskal yang lebih disiplin, tetapi di sisi lain, pemerintah juga bisa menunda pembangunan proyek-proyek yang besar.

“Karena sekarang ada gejolak, jadi mungkin pembangunan proyek-proyek yang besar bisa ditunda,” katanya.

Ia memperkirakan setiap kenaikan harga BBM senilai 1 persen, Indeks Harga Konsumen (IHK) akan turut naik 0,12 persen.

Sementara itu, setiap 1 persen inflasi, daya beli masyarakat akan menurun sebesar 0,08 persen.

“Alokasi subsidi BBM yang tadinya diperkirakan bisa tembus Rp500 triliun, itu bisa digeser untuk menambah BLT (Bantuan Langsung Tunai) dan menambah cakupannya sehingga masyarakat menerima setidaknya Rp1 juta per bulan,” katanya.

Baca juga: Indef: Target pertumbuhan 5,3 persen pada 2023 tunjukkan kekhawatiran

Baca juga: Pengamat: Kenaikan harga BBM untuk "menyehatkan" fiskal negara


Pewarta: Sanya Dinda Susanti
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2022