Penegakan hukum tanpa pandang bulu ini penting demi mengembalikan kepercayaan publik terhadap Polri.
Jakarta (ANTARA) - Sejak beberapa waktu terakhir ini institusi Bhayangkara mendapat sorotan tajam dari publik. Pandangan negatif, isu miring, serta pro dan kontra mewarnai pemberitaan seputar lembaga kepolisian.

Munculnya kasus dugaan pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hubatarat atau Brigadir J pada awal Juli 2022 membuat gempar masyarakat.

Pada awal kasus, Kombes Polisi Budhi Herdi Susianto, yang pada saat itu menjabat sebagai Kapolres Jakarta Selatan, mengungkapkan peristiwa kematian Brigadir J. Kala itu, masyarakat mencium adanya sejumlah kejanggalan dari kasus itu.

Sebagai contoh, Brigadir J diketahui meninggal dunia pada Jumat (8-7) sore namun baru diekspose atau dilaporkan pada Senin (11-7-2022). Hal tersebut lantas menimbulkan pertanyaan dari masyarakat alasan polisi menunggu hingga beberapa hari setelah ajudan Ferdy Sambo tersebut tewas.

Tidak hanya itu, publik juga dibuat heran dengan kronologi kematian Brigadir J yang disampaikan mantan Kapolres Jakarta Selatan itu. Saat jumpa pers bersama awak media massa, Kombes Budhi menyampaikan bahwa Brigadir J tewas setelah baku tembak dengan rekannya yang juga ajudan Ferdy Sambo, yakni Bharada Richard Eliezer atau Bharada E.

Bahkan kasus tersebut mendapat perhatian langsung dari Presiden Joko Widodo. Kepala Negara kemudian minta Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo bergerak cepat dengan membentuk tim khusus guna mengungkap kasus tersebut.

Tidak sendirian, Kapolri juga menggandeng dua institusi lainnya di luar Polri yakni Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Tujuannya, agar pengungkapan kasus berjalan transparan dan segera menemukan titik terang.

Pengamat kepolisian Bambang Rukminto mengatakan ketidakpercayaan publik pada Polri tidak bisa hanya dilihat dari satu kasus atau kondisi saat ini saja.

Sebab, apa yang dirasakan masyarakat tidak terjadi begitu saja, melainkan imbas dari rentetan sejumlah sikap atau cara polisi dalam menegakkan hukum di Tanah Air. Adanya kasus dugaan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J menjadi semacam titik luapan kekecewaan masyarakat pada Polri.

Masyarakat yang selama ini merasa cukup kecewa seakan bertambah yakin bahwa penegakan hukum oleh Polri ibarat tajam ke bawah namun tumpul ke atas dengan munculnya kasus Ferdy Sambo.

Kendati demikian, kepercayaan publik tadi mulai tampak terbangun setelah Kapolri mengambil sikap tegas dengan menetapkan lima tersangka serta beberapa perwira tinggi, menengah dan pertama yang terlibat dalam kasus kematian Brigadir J.

Publik bahkan tidak sungkan untuk memberikan apresiasi dan dukungan langsung kepada Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo agar mengungkap kasus dan tidak tebang pilih.

Meski telah menunjukkan sikap tegasnya, Kapolri awalnya masih terlihat sedikit ragu-ragu dalam menangani kasus tersebut. Dalam pandangannya, ada semacam tarik ulur kepentingan sehingga Jenderal Sigit sedikit ragu-ragu.

Bambang menduga Kapolri saat itu mungkin masih tersandera oleh kepentingan pragmatis, misalnya, karena kedekatan dengan FS.

Dalam hal ini, Polri didorong dan disarankan agar tegak lurus pada visi misi, objektif, responsibilitas, dan transparansi berkeadilan. Apabila hal tersebut diterapkan oleh jajaran Polri maka diyakini tingkat kepercayaan masyarakat akan kembali tumbuh.

Kecepatan dan ketepatan

Perkembangan kasus dugaan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J makin menunjukkan  titik terang. Total ada lima tersangka yang ditetapkan oleh polisi yakni Bharada Richard Eliezer, Bripka Ricky Rizal, Kuwat Maruf, Ferdy Sambo, dan terakhir Putri Candrawathi yang merupakan istri Ferdy Sambo.

Untuk pasal yang dikenakan pada lima tersangka yaitu 340 subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 juncto Pasal 56 KUHP.

Penetapan kelima tersangka merupakan bagian dari proses yang harus dan wajib dilalui oleh Polri. Akan tetapi, itu saja tidak cukup. Sebab, masyarakat juga menuntut Polri cepat dan tepat.

Polri dinilai sudah tepat dengan menetapkan lima tersangka serta menyeret sejumlah perwira pertama, menengah, dan tinggi karena diduga terlibat dalam upaya obstruction of justice atau menghalangi penyidikan.

Para perwira pertama, menengah, maupun tinggi yang diduga terlibat juga harus menjalani pemeriksaan atau sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Akan tetapi, itu saja dinilai belum cukup karena Polri juga didesak masyarakat agar cepat dalam menuntaskan atau menyelesaikan kasus dugaan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J.

Masyarakat mendesak Polri agar cepat menuntaskan kasus ini. Bukan hanya ketepatan tapi juga kecepatan.

Apabila Polri bisa mengimbangi kecepatan dan ketepatan tadi maka tingkat kepercayaan publik pada institusi Bhayangkara akan terus naik. Dengan demikian muruah Polri tetap terjaga meskipun sempat menurun akibat sejumlah kasus di tataran internal.

Di lain sisi, apabila kecepatan dan ketepatan tidak dilakukan oleh Polri maka dikhawatirkan menimbulkan apriori yang tinggi kepada polisi. Masyarakat bisa saja berpandangan penuntasan kasus tersebut hanya sebatas "seremonial" dan pada akhirnya yang bersalah mendapatkan hukuman yang ringan.

Di tengah badai masalah yang sedang melanda Polri, institusi negara tersebut tetap dibutuhkan masyarakat. Pekerjaan mendesak yang mesti dituntaskan ialah bagaimana menciptakan kepolisian yang lebih baik dan bisa dipercaya.

Salah satu solusi yang bisa digunakan dalam membangun citra baik polisi ialah pada saat pemilihan atau penentuan calon Kapolri. Orang nomor satu di tubuh Polri harus betul-betul kredibel, kompeten, dan memiliki integritas tinggi.

Selain itu, pemerintah juga harus memikirkan bagaimana menghadirkan sebuah sistem pendukung agar Kapolri bekerja sesuai dengan apa yang diharapkan publik yakni kompeten, kredibel dan berintegritas. Artinya, harus ada semacam sistem yang bisa memastikan mereka bertindak dalam jalur yang benar.

Khusus kasus yang sedang terjadi di internal kepolisian saat ini, Kapolri Jenderal Listyo Sigit diyakini akan bersikap profesional dan bisa menyelesaikannya dengan cara yang transparan. Sebab, Kapolri akan dihadapkan dengan dorongan besar oleh masyarakat agar kasus kematian Brigadir J bisa dituntaskan dengan adil dan menjadi momentum reformasi Polri.

Tantangannya, bagaimana Kapolri jadi seorang pemimpin yang bisa mengoordinasikan jajarannya sehingga memulihkan kepercayaan masyarakat.

Kapolri juga didorong harus betul-betul berani memproses setiap personel yang bermasalah atau terlibat. Bila hal itu dibiarkan, maka sama Jenderal Listyo Sigit membiarkan atau mengorbankan institusi.

Penegakan hukum yang dilakukan Kapolri diakui akan, atau setidaknya, berpotensi menimbulkan resistensi  terutama bagi pihak-pihak yang jadi tersangka dalam sebuah kasus. Hal itu bisa memicu perlawanan. Akan tetapi, yang perlu digarisbawahi ialah Kapolri telah diberikan kewenangan oleh negara sehingga tidak perlu ragu dalam menindak tegas anggotanya.

Dengan kata lain, negara tidak boleh sampai kalah dengan personel-personel yang melakukan kesalahan tersebut. Apalagi, Presiden, DPR, masyarakat, dan berbagai pihak juga telah menyuarakan dukungannya kepada Kapolri.

Melihat dari apa yang sudah dilakukan, Kapolri Jenderal Listyo Sigit sudah menunjukkan keberaniannya menghukum sejumlah polisi yang bermasalah. Penegakan hukum tanpa pandang bulu ini penting demi mengembalikan kepercayaan publik terhadap Polri.

 


Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2022